Pertanyaan sederhana, buah itu apa? Buah itu adalah hasil dari pekerjaan, dari apa yang kita lakukan untuk menggenapkan kehendak Bapa, itu akan menjadi buah. Buah-buah Roh itu hasilnya dari mana? Bagaimana bisa ada buah roh? Sukacita, damai sejahtera, kasih, penguasaan diri dan seterusnya itu dari mana datangnya? Dari orang yang melakukan kehendak Bapa. Pertanyaannya, apa kehendak Bapa? Dalam Matius 5, setelah sepuluh ucapan bahagia, kemudian diikuti dengan garam dan terang. Tidak ada pilihan jadi garam dan terang tanpa melakukan kehendak Bapa, itu cuma lip service, kalimat agak kerasnya lagi “itu omong kosong”. Soalnya cara ngomong agak lembut, tapi sebenarnya esensinya sama. Itu cuma tipu-tipuan. Oleh sebab itu kita ada di tengah-tengah antara generasi yang lewat dengan generasi yang akan datang. Kita memerankan peranan penting hari ini, suka atau tidak. Kita punya hidup akan jadi kutuk atau jadi berkat untuk generasi yang ke depan? Kalau kita menghasilkan buah ketaatan, kalau kita menghasilkan buah yang memuliakan Tuhan itu akan jadi berkat seperti yang kita bisa lihat dari lagu-lagu yang ada, dari tulisan-tulisan para teolog, tulisan-tulisan yang indah dari kehidupan para tokoh puritan, ada juga yang tidak. Kita bisa lihat banyak sekali orang-orang di sepanjang sejarah yang Tuhan sudah bangkitkan untuk jadi berkat bagi generasi yang berikutnya, sampai kita sendiri. Seperti misalnya, kita memegang Alkitab ini, siapa yang menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Indonesia? Kita tidak tahu siapa namanya, kita tidak tahu prosesnya kapan, siapa orangnya, tetapi kita dapat firman Tuhan dalam bahasa Indonesia. Orang kerja mati-matian untuk menerjemahkan dua kitab Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa Indonesia, ini bukan hal yang mudah. Tetapi ironinya, kita mungkin baca, tapi mungkin perlu lebih sungguh-sungguh. Sekali lagi, Kristus mengatakan, “Dari buahnya kamu akan kenal mereka.” Buah yang mereka kerjakan akan mengkhianati mereka pada akhirnya. Dan Kristus mengatakan, “Tidak mungkin buah yang baik dihasilkan pohon yang tidak baik dan sebaliknya.” Saya pernah punya pohon rambutan. Saudara tahu rambutan yang enak itu adalah waktu makan kayunya tidak ikut masuk ke dalam mulut, manis bagaimanapun juga kalau kulit bijinya termakan juga rasanya ada yang mengganjal di tenggorokan. Kita waktu dapat buah itu, kita tahu ini pohon yang bagus. Kalau pohonnya bagus, kita mau apakan? Kita mau cangkok semuanya. Kalau rambutan asam, sekali makan kayunya masuk semua, itu menderita, rasanya asam, dagingnya lengket-lengket. Mau diapakan rambutan ini? Cara paling gampang, karena kita rasa sayang sudah beli terus dibuang, akhirnya kita berikan ke orang. Kita cuma memberi beban kepada orang lain, itu tidak baik. Jangan beri sesuatu yang membuat orang lain bergumul dan susah. Akhirnya, kalau kita punya pohon itu, seperti mati segan hidup pun tak mau, mau dipotong tapi agak sayang, tapi dikembangkan rambutannya tidak ada guna, jadi apa? Lalu, akhirnya dibiarkan saja. Inilah yang terjadi, lalu penghakiman itu datang, buah yang baik itu akan memuliakan Tuhan, pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, yang memuliakan Tuhan. Pohon yang tidak baik di sini akan ditebang dan dimasukkan ke dalam api. Ini bukan maksudnya pohon ini ternyata masih ada gunanya, jadi kayu bakar. Kita salah jikalau menyimpulkan demikian. Dalam konteks ini bukan jadi kayu bakar. Ini sedang menyatakan bahwa pohon itu tidak ada lagi gunanya, hanya untuk dibakar saja. Sang penulis tentu tidak sedang dalam kondisi kedinginan dan membutuhkan kayu bakar ketika sedang menulis bagian ini, melainkan menyatakan pohon jenis ini pasti ditebang, dibuang ke dalam api. Dan ini menjadi suatu penekanan, dari buahnya kamu akan kenal mereka. Tetapi sekali lagi yang kita mau garisbawahi, kita tidak mungkin tahu buah yang palsu kalau kita tidak punya satu relasi yang dekat dengan Tuhan, cinta kepada Tuhan, sampai kita sudah pernah mencicipi buah yang asli itu, kita tidak mungkin tahu ini palsu. Kita bisa melihat contoh di dalam seluruh aspek hidup kita. Tetapi yang menjadi penekanan terakhir yaitu jangan kita skeptis. Jangan kita hidup seolah-olah semua baik-baik saja. Sama seperti waktu kita di dalam dunia ini, makan semua boleh, itu agak terlalu cuek. Dan itu pasti akan mengakibatkan penyakit di dalam tubuh kita. Kita tidak boleh makan semua yang kita mau makan. Anak kecil kalau ditanya maunya apa, dia menjawab maunya makan mie instan, apakah kita akan mengatakan, “Bagus, makanlah itu tiap hari, pagi, siang, sore, dan malam hari.” Itu orang tua yang jahat sekali. Kalau dia mengatakan, “Silakan makan, tidak perlu pakai lauk, tidak perlu pakai telur, makan saja Indomie tiap hari.” Kita tahu itu akan berbahaya untuk fisiknya. Kalau anaknya ketagihan makan Indomie, kita mengatakan apa? “Tidak, mie instan semua tidak boleh” atau “sekali-sekali masih boleh.” Itu pun juga kita sedang kompromi. Kita tahu itu tidak sehat tapi ada penilaian, pembenaran diri. Misalnya, “Ini sudah malam, susah mau masak yang lain”, akhirnya kita ada pembenaran sendiri. Kita tidak mengatakan makan mie itu berdosa. Tapi kalau kita konsisten makan mie instan tiap hari, itu akan merusak. Atau, kalau anak rewel, biasanya minta apa? “Kalau anak saya diam, beri saja gadget tiap hari.” Akibatnya mata anaknya pasti buta, kognitifnya tidak berfungsi dengan baik, tidak bisa komunikasi dengan orang lain, seperti alien. Kalau diberi gadget setiap hari, orang tua itu pasti tidak ada cinta kepada anak. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menghidupi satu kehidupan yang menipu diri dengan mengatakan, “Beri ini akan baik-baik saja, beri makanan ini semua akan baik-baik saja.” Ini menipu diri. Dan kita tahu dalam hal fisik, kita tidak menipu diri kita, juga demikian di dalam hal spiritual. Kalau kita tidak baca firman, kita mengatakan semua baik-baik saja, itu kita sedang menipu diri. Yakobus mengatakan orang yang baca firman tapi tidak melakukan firman itu seperti orang yang ketika berkaca, dia langsung lupa mukanya. Baru bangun tidur, rambutnya tidak karuan, mau meeting, lalu berkaca merasa diri ganteng, lalu langsung pergi, itu ‘kan tidak masuk akal. Fungsi cermin atau fungsi firman adalah untuk mengoreksi hidup orang yang membacanya. Maka kalau kita mengatakan, “Saya tidak baca firman dan semua baik-baik saja”, berarti kita sedang hidup dalam penipuan diri dan itu menakutkan. Jadi bacalah firman, cintai firman, lakukan kehendak Tuhan, lakukan perintah Tuhan, cintai Tuhan. Dan pada akhirnya kita punya satu kepekaan untuk membedakan, menguji mana yang dari Tuhan mana yang bukan. Paulus memperingatkan Timotius, “Awasi dirimu, awasi ajaranmu, bertekunlah supaya kamu pada akhirnya diselamatkan dan orang yang menerima pengajaranmu juga diselamatkan.” Biarlah kita semua merenungkan bagian ini, bisa membuat kita makin gentar, bisa membuat pikiran kita semakin terbuka untuk lebih jujur dan peka, sehingga pada akhirnya hati kita disiapkan sebagai tanah yang gembur. Dan perlu disiapkan media tanam itu, seperti ketika masa pandemi tiba-tiba banyak orang jadi ahli tanaman karena bingung mau melakukan apa. Kalau di tanah liat yang keras merah itu, mau tanam apa? Tidak bisa, menanam sesuatu media tanamnya itu harus gembur. Saudara tahu sekam, yaitu kulit beras, itu dicampur dengan tanah menjadi tanah yang gembur, supaya dia bisa bertumbuh dengan sehat, ini yang kita lakukan. Kita membahas firman, hati kita seperti tanah yang keras lalu dicangkul, digemburkan, diberi pupuk, sehingga ketika firman masuk bisa bertumbuh dan berbuah. Biarlah hidup kita boleh disempurnakan Tuhan dalam setiap tantangan, pergumulan yang kita hadapi. Kita mempersiapkan hidup kita untuk jadi berkat, berbuah bagi kemuliaan nama Tuhan.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)