Sekarang kita akan melihat dua contoh berikutnya. Pasal 6: 5, “Apabila kamu berdoa, jangan berdoa seperti orang munafik. Mereka suka ucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah ibadah, pada tikungan jalan raya supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu sesungguhnya mereka sudah dapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuk ke dalam kamarmu, tutup pintu, berdoalah kepada Bapamu yang di tempat tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi, akan balas kepadamu.” Kita melihat orang ini berdoa di tempat tersembunyi, tidak ada orang yang tahu. Siapa yang menggerakkan dia untuk berdoa? Tuhan. Sekali lagi, kalau saya tidak mengatakan, “Kalau begitu, tidak perlu datang PD, tidak perlu kumpul-kumpul, kita bisa berdoa sendiri.” Kita tidak sedang berbicara dalam konteks itu. Berdoa secara komunal itu ada waktunya, ada tempatnya, bergumul bersama itu ada ruang dan tempatnya. Tetapi sekarang kita sedang kontraskan dengan orang munafik yang berdoa memang supaya tujuannya diketahui oleh orang lain. Dia tidak mungkin akan berdoa di tempat yang tidak ada orang tahu, karena tujuan dia berdoa itu adalah pencitraan. Kalau kita mau pencitraan itu tidak susah, mencitrakan diri sebagai gereja yang berdoa, sungguh-sungguh bagus. Kita buat saja terobosan, kita doa tiap hari jam lima pagi, selama satu jam. Kalau memang mau pencitraan, kita mulai membuat orang yang tidak datang, kelihatan kurang rohani. Saya bukan mengajarkan teknik catur, tapi ini biasanya manipulasi yang dilakukan hamba Tuhan yang palsu, kira-kira begini, “Kamu jarang datang doa jam 05.00 pagi, kamu kurang berserah sama Tuhan.” Terus mulai diberi bumbu, “Kita menjalankan hari tanpa berdoa kepada Tuhan, atas keberanian apa kita menjalankan hari?” Lalu, jemaat akan merasa, “Apa boleh buat, kalau saya tidak datang rasanya agak bersalah”, terus ditanya oleh teman, “Mengapa tidak datang?” Suasananya mulai membuat kita datang. Berdoa tiap hari, tentu ada blessing in disguise juga dalam hal itu, ada orang-orang yang mungkin bertumbuh. Tetapi secara natur, yang memimpin itu sedang mencitrakan sesuatu untuk kepentingan ambisi yang bersangkutan. Kalau masih kurang, dia mengatakan, “Sepertinya butuh trademark sendiri.” Kita sudah tahu ada rally doa, misalnya doa berlutut berjam-jam, kita mau doa yang telungkup di lantai. Ini pakai “pembenaran”, katanya, “Kristus waktu berdoa juga sampai telungkup di tanah. Kristus saja begitu doanya, kita harusnya lebih lagi.” Jadi, ini bisa dilakukan secara berlebihan, dan orang-orang yang melakukan ini memang secara khusus mencitrakan diri untuk kelihatan sangat rohani. Oleh sebab itu, dalam Matius 23:14 dikatakan “Celakalah kamu orang-orang munafik”, itu mengacu kepada orang Farisi. “Karena kamu doanya panjang tetapi kamu menelan rumah janda-janda.” Jadi, di dalam doa-doa itu dimasukkan agenda pribadi juga, lalu menggerakkan jemaat sampai tergerak untuk memberikan rumahnya, mobilnya, motornya. Lalu, hamba Tuhan itu akan berkata, “Puji Tuhan! Apa yang telah Bapak/Ibu lakukan tidak pernah Tuhan lupakan.” Ini pandangan di dalam benak pikirannya, “Tapi kehidupanmu kamu tanggung sendiri”, kira-kira demikian. Ini menakutkan, ini yang membuat seorang pelukis yang namanya Van Gogh itu depresi, karena dia melihat gereja mengeksploitasi umat, sampai umatnya itu cuma makan kentang, makanya ada lukisan terkenal Potato Eater. Potato Eater ini mirip dengan fenomena pada waktu Martin Luther hatinya dibangkitkan oleh Tuhan, karena dia melihat gereja menjual surat pengampunan dosa untuk membangun katedral yang besar. Jemaatnya dieksploitasi begitu, dan mereka yang tidak membeli surat itu merasa diri agak berdosa sedikit. Mereka berpikir, “Celaka, bagaimana kalau saya mati? Nenek saya, papa saya, mama saya bagaimana? Mereka ada di purgatori.” Mungkin hamba Tuhannya mengatakan, ini bukan hanya hamba Tuhannya, memang ada beberapa bagian teks mengatakan, “Waktu koin-koin itu bunyi, menandakan ada jiwa-jiwa yang bahagia di surga.” Jadi kalau kita sayang orang tua, ringankanlah beban mereka di purgatori itu. Tapi ini hanya sekedar eksploitasi umat Tuhan, sehingga mereka pikir itu benar. Hal berpuasa juga sama, pada akhirnya semua atribut yang kelihatannya spiritual, itu hanya dipakai untuk menegaskan bahwa dia tokoh yang seharusnya dihormati. Waktu jemaat itu sudah terpukau betapa luar biasanya “orang Farisi” ini. Kita memang menyebut orang Farisi itu munafik, jadi agak susah terminologi ini, mungkin kita bisa mengatakan, “Hamba Tuhan satu ini luar biasa, doanya, persembahannya, dan bahkan puasa doa untuk jemaat.” Sekarang dia tergerak untuk mengatakan, “Tuhan berikan kepekaan kepada saya untuk mengerjakan ini dan itu mari kerjakan.” Jemaatnya terbakar, luar biasa. Misalnya dia juga berdoa untuk jemaat yang sakit, didoakan, dibesuk, semua beres hal-hal seperti itu. Waktu dia sharing, orang bisa “terbakar”. Tetapi dia bukan hamba Tuhan yang sejati, ini menakutkan. Dan umat Tuhan yang seperti ini pada akhirnya ketika tahu dia penipu, lukanya dalam. Rumahnya sudah diberikan, motornya sudah diberikan. Tidak bisa diminta lagi. “Pak, kemarin kunci motor saya tidak sengaja masuk ke kantong persembahan waktu saya memberi persembahan.” Tidak bisa berkata seperti itu ‘kan? “Surat rumah saya juga sudah masuk, jatuh di kantong persembahan”, tidak bisa. Yang sudah diberi tidak bisa diminta kembali, ada syarat dan ketentuan berlaku yang sangat kecil. Yang tersisa hanya kepahitan. Mereka di mana? Mereka tidak digembalakan lagi, mereka tidak dicari, mereka tidak diperhatikan, dan ini naturnya. Sekali lagi kita melihat ini adalah sesuatu hal yang celaka, mereka itu seperti serigala. Dan mereka berbuat seolah-olah buah yang sejati padahal palsu. Dan bukan hanya Kristus yang mengatakan ini, Ben Sira, tokoh Yahudi yang hidup sekitar abad ke-2 Masehi di zaman Hellenistik, zaman kerajaan Seleucid Empire. Dia menulis satu buku kitab Sira, Ben Sira, itu Kitab Apokrifa. Dua minggu lalu kita juga mengacu pada satu Kitab Apokrifa yang familiar dan dipahami oleh orang-orang Yahudi abad mula-mula. Di dalam bagian kitabnya tertulis, “Kamu kalau mau tahu pohon ini baik atau tidak, lihat buahnya. Kamu kalau mau tahu pemikiran orang baik atau tidak, lihat perkataannya.” Pada akhirnya perkataan, atau kalau dalam peribahasa bahasa Indonesia, “sepintar-pintarnya tupai meloncat, jatuh juga.” Ini sama, sepintar-pintarnya penipu, pasti ada celahnya juga. Sampai satu kata dia kelepasan ngomong, misalnya kelepasan ngomong, “Kamu jangan lakukan itu, nanti saya tidak bisa pensiun di sini.” Pensiun di sini ini di mana? Bukan di pedalaman ujung-ujung bumi, kalau ujung buminya seperti Swiss boleh juga. Tapi kalau ujung buminya di tempat yang gersang, infrastruktur tidak ada, dia tidak mungkin mengatakan itu. “Jangan mengatakan hal ini, nanti saya dipindah.” Atau dia bisa bilang, “Kamu jangan pertahankan jemaat ini, mereka tidak ada harapan.” Atau kalimatnya bisa muncul begini, kadang kala kita bisa lihat kalau itu jemaat yang besar suaranya, bisa mengatakan, “Kalau kita sudah diberikan tanggung jawab oleh Tuhan, kita tidak boleh lepas sembarangan.” Kalau jemaatnya kecil, “Kita tidak boleh menjadi penghalang hamba Tuhan yang lebih besar dating untuk mengembangkan jemaat Tuhan.” Hal ini bisa mengecewakan. Kalau kita dengar, kita lihat, itu pukulannya dalam, bayangkan kalau ini terjadi. Oleh sebab itu, ketika kita merenungkan bagian ini, kita memahami bahwa memang banyak penyesat itu, yang palsu itu banyak. Tugas kita bertumbuh, makin cinta Tuhan, melakukan kehendak Bapa di Surga, berbuah dengan buah yang sejati yang digerakkan oleh cinta. 

« 5 of 6 »