Kita sudah melihat ada dua jenis pengajar sesat. Sekarang kita akan fokus kepada bagian yang kedua, yaitu yang menipu dengan bulu domba. Yang caraya mudah dilihat, seharusnya orang yang baca firman pasti sudah mengenalinya, tetapi buktinya banyak juga yang tidak membaca firman. Tapi sekarang ini yang menjadi lebih kontekstual di dalam konteks kita, saya percaya kita membaca, menggumulkan, dan merenungkan firman. Kita akan masuk hal kedua, ayat 16, “Pada akhirnya dari buahnya kamu akan kenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik? Jadi pada akhirnya hasil pekerjaan mereka itu akan mengkhianati penyamaran mereka yang kelihatannya sempurna. Sekali lagi penyamaran mereka yang kelihatan sempurna itu akan terbongkar dari perbuatan mereka yang akan mengkhianati mereka. Tapi tentu saja perlu ada kepekaan di sini, kita bukan menghakimi, bukan menggunakan hermeneutic full of sufficient, bukan mencurigai motivasi tidak benar, misalnya bukan itu. Tetapi di dalam konteks ini, kita diberikan satu acuan. Kalau ujian ada kisi-kisi, gambaran, indikasi, tindakan, perbuatan, atau buah yang kelihatannya asli tetap palsu. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam konteks Khotbah di Bukit. Sebelum saya membahas ini lebih jauh, saya ingin memberikan ilustrasi sedikit yang lebih kontekstual bagi kita. Contohnya, salah satu buah yang mudah dibedakan dari kulitnya yaitu buah alpukat. Alpukat itu kita lihat depannya bagus, mulus, tapi setelah dibelah, isinya bisa busuk. Atau kalua kita belum ada keahlian membeli durian, itu juga sulit.  Kita memilih buah durian, dicium-cium dari kiri, kanan, atas, bawah. Itu memang agak mengherankan teknik cium-mencium itu dari mana, padahal itu semua duri. Tapi jangan salah, penjual lebih ahli, dia sudah siramkan dulu wangi-wangian durian, jadi semuanya wangi. Lalu yang terakhir adalah dipotong sedikit dan diberikan untuk dicicipi, itu pun masih bisa kena tipu. Saya pernah lihat tukang jualan durian, kalau duriannya sudah dipotong itu ada rasa tidak enak hati. Dipotong sedikit untuk dicicipi sampai kita tidak bisa merasakan buah itu bagaimana rasanya. Durian kalau dimakan sedikit rasanya sudah terasa enak. Belum lagi misalnya memang mau beli yang banyak, jadi tidak sungkan sering mencicipi karena dia mau beli banyak. Yang beli sedikit tidak ada kemampuan itu. Coba kalau kita belinya satu, tapi cobanya sepuluh durian, apa enak hati? Hati kita pasti tidak enak. Yang saya lihat, buah yang sudah dibuka oleh penjual itu, sudah dicicipi oleh orang lain, nanti ada pembeli baru datang, dia seolah-olah buka durian baru, padahal bukan. Durian yang sudah dibuka, yang sudah dikategorikan tidak enak itu diambil lagi, lalu diberikan. Terus saya lihat sendiri orang itu mengatakan, “Hmm…enak, enak.” Dalam hati saya, “Apa yang sedang terjadi?” Kita bisa melihat cara membedakan buah secara fisik itu kategorinya masih sederhana. Misalnya alpukat, kalau sudah busuk mesti dibuang, meskipun rugi. Kalau durian, paling tidak kita bisa merasakan, tapi mungkin tertipu beberapa kali juga masih bisa. Tapi ada yang lebih susah adalah kalau kita tidak tahu itu benar-benar produk yang palsu dan produk yang membuat kesehatan kita terancam. Contohnya, madu. Madu itu sangat sulit untuk dibedakan, semua tulisannya sama, madu asli 100%, kita bingung. Kalau dia jujur, beri tahu saja 30%, itu masih oke, harganya murah, masih mending. Tetapi semua itu labelnya madu asli, ada yang harganya sekian puluh ribu, ada yang ratusan ribu, ada yang setengah juta, ada yang mau satu juta, jumlahnya pun mirip. Kalau kita tidak punya keahlian membedakan, kita akan bingung. Tapi kalau kita pura-pura tidak tahu juga tidak bisa, hati nurani kita itu akan terus merasa tidak enak. Tapi kalau kita mengatakan, “Sudahlah, saya tidak peduli, ini semua madu, semua sama.” Madu asli kalau dikonsumsi tiap hari akan membuat badan sehat, berikan ke anak-anak, pertumbuhannya bagus, imunnya bagus, jadi sehat. Kalau madu palsu, kita berikan tiap hari, kita sedang memberikan apa kepada anak kita, kepada diri kita? Kita sedang memberikan rasa penipuan, kita tahu itu kemungkinan besar palsu, tapi kita berikan terus dengan harapan kita menjadi sehat. Kalau kita melakukan itu terus-menerus, kita menutup mata, artinya kita sedang tidak konsisten dan tidak peduli dengan kesehatan. Ini sama halnya dengan kita menutup mata dengan ajaran yang palsu, kelihatannya asli, tutup mata saja. Pokoknya hamba Tuhan kalau sudah berdiri di mimbar, mengatakan amin, yang ngantuk-ngantuk juga tiba-tiba amin. Itu sesuatu hal yang kita lihat secara fenomena. Oleh sebab itu, membedakan yang asli, yang kelihatannya sempurna, ini susah. Sama seperti buah, tapi saya tidak tahu ini saya belum melakukan riset, tapi buah yang direkayasa secara genetik sampai tidak ada bijinya itu agak kurang natural. Dagingnya enak, lembut, manis, rasanya sempurna, ini agak mengkhawatirkan dalam hati saya. Biji tidak ada, semua tidak ada, pokoknya rasanya sempurna. Kalau begitu memang enak makannya, sebanyak apa pun rasanya masuk. Tapi apa sehat? Tidak tahu, harus cari tahu. Saya bukan ngomong ini untuk menakut-nakuti, tapi tujuannya adalah membuat kita sadar bahwa ternyata hal-hal yang sifatnya spiritual itu juga bisa menjadi ancaman. Oleh sebab itu, Kristus mengatakan di dalam Khotbah di Bukit, dalam pasal 6 ada tiga contoh yang membuat orang itu tidak bisa langsung atau sulit mengidentifikasikan ini sebagai tindakan nabi palsu. Contoh yang pertama, hal tentang bersedekah. Kita tidak bisa mengatakan, orang yang banyak bersedekah termasuk ciri-ciri nabi palsu, kita tidak bisa lakukan itu. Yang kedua, hal tentang berdoa. Kita juga tidak bisa mengatakan, orang ini terlalu banyak berdoa juga termasuk ciri-ciri nabi palsu, kita tidak boleh seperti itu. Yang ketiga, hal tentang berpuasa. Orang yang rajin puasa, bukan karena diet, tapi sepertinya sungguh-sungguh puasa, ini ekstrem. Di kalangan Reformed tidak ada yang puasa, hanya dia yang puasa, ini ciri-ciri nabi palsu, kita tidak bisa lakukan itu. Ini baru tiga contoh, nanti banyak contohnya. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan dari tiga contoh ini bahwa itu ciri-ciri nabi palsu karena kelihatannya asli. Sekarang apa yang kita butuhkan untuk menyatakan bahwa inilah yang palsu? Kita membutuhkan kepekaan. Yang kedua, kita membutuhkan cinta yang murni kepada Tuhan, sampai kita bisa tahu fenomena yang dilakukan ini adalah pencitraan, bukan cinta. Sekali lagi kalau kita tidak mencintai Tuhan, sampai kapan pun tidak akan bisa membedakan tindakan nabi palsu yang memakai bulu domba. Karena kita juga tidak cinta Tuhan, kita tidak mungkin bisa lihat, tidak kelihatan. Sederhana saja, kita tidak pernah lihat yang asli, kita tidak pernah terpukau oleh keindahan, ini kalau ngomong benda, benda yang asli kita tidak pernah tahu. Datang yang palsu, kita merasakan “sama saja”. Kalau kita senang lukisan, misalnya datang lukisan Raden Saleh yang menangkap Diponegoro sampai dibuat filmnya itu, kalau kita tidak tahu siapa Raden Saleh, kita tidak pernah lihat lukisan Pangeran Diponegoro yang ditangkap, kita tidak tahu harganya, kita juga tidak tahu keunikannya apa, mengapa digambarkan dengan cahaya yang agak rancu antara pagi atau sore hari. Kita tidak tahu detailnya, yang asli ada di depan, mungkin kita lewat begitu saja, tidak terlalu menghargai. Karena memang tidak ada relasi antara kita dengan benda lukisan itu, kita tidak bisa bedakan. Hal yang sama juga terjadi kalau kita tidak sungguh-sungguh mencintai Tuhan, kita tidak mungkin punya kepekaan untuk memahami ini asli atau palsu. Sama dengan madu tadi, kalau kita tidak ada keahlian, pada akhirnya sampai kapan pun tidak pernah bisa bedakan yang asli atau palsu. Kita perlu ada kepekaan untuk memahami yang asli dan yang palsu. Dan kepekaan hanya mungkin muncul dari cinta yang sesungguhnya kepada Tuhan. Dua minggu yang lalu kita sudah membicarakan hal mengenai orang yang menghidupi kehendak Bapa. Apa kehendak Bapa? Salah satunya digambarkan di dalam Sepuluh Ucapan Bahagia yaitu, suci hatinya, pembawa damai, miskin di hadapan Allah, lapar dan haus akan kebenaran, dinista oleh karena nama Tuhan, dan seterusnya. Orang yang sungguh-sungguh menghidupi ini, karena mereka cinta Tuhan, dan waktu hidupi ini mereka akan bisa punya kepekaan, melihat dan menilai segala sesuatunya. Sebagaimana 1 Yohanes 4 mengatakan, “Ujilah roh itu karena banyak penyesat nabi-nabi palsu itu datang”, ini berarti mereka mempunyai kepekaan. Karena pada akhirnya mereka tidak menemukan cinta yang sesungguhnya, dan apa yang dilakukan oleh nabi atau pengajar palsu itu adalah sesuatu tidak kelihatan. Tidak ada cinta kepada Tuhan, tidak akan ada hidup sungguh-sungguh untuk melakukan kekudusan hidup. Maka dari itu tema tentang hidup suci dalam BCN dan NRETC sangatlah penting. Seluruh Alkitab dari PL sampai PB menekankan satu tema yang penting sekali, yaitu hidup suci, hidup kudus. Dan orang yang tidak cinta Tuhan itu mustahil menghidupi satu kehidupan yang suci dan kudus. Sampai bagian ini, ada dua sisi yaitu, hal pertama kita diajarkan untuk memiliki kepekaan. Di sisi yang lain, ini menjadi parameter untuk kita renungkan di dalam hidup kita sendiri, apakah kita mencintai Tuhan. Kalau kita mencintai Tuhan, kita akan diberikan kepekaan untuk melihat, menilai, dan merasakan berdasarkan pimpinan firman Tuhan. 

« 3 of 6 »