Matius itu bukan sedang menekankan betapa dinginnya Kristus. Akan tetapi Matius itu menekankan respons sang perempuan itu. Perempuan itu memberikan respons yang tepatkepada Tuhan. Sama seperti centurion ini kalau di dalam penafsiran yang kedua tadi, yang mana tone-nya misalnya negatif, “haruskah Aku datang kepadamu dan menyembuhkannya?” Penekanannya bukan di dalam tone yang seperti ini, tetapi respons yang diberikan centurion ini kepada Kristus. Apa jawabnya? Ada di ayat 8, “Jawab perwira itu kepada-Nya, ‘Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.’” Apa respons yang tepat? Hanya mengatakan, “Aku tidak layak, aku tidak layak Tuhan.” Katakan saja sepatah kata dia akan sembuh. Aku tidak layak terima kamu di rumahku, tidak. Katakan saja sepatah kata, dia akan sembuh. Ini luar biasa. Mengapa, Saudara? Karena kata-kata “aku tidak layak” itu cuma muncul di dalam perkataan Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis adalah orang yang sangat penting. Orang-orang dari seluruh Yerusalem dan Israel itu datang kepada Yohanes Pembaptis di padang gurun. Tuhan Yesus bilang lebih besar daripada semua yang dilahirkan itu satu perempuan. Yohanes Pembaptis itu sangat dicari, mungkin pengkhotbah besar zaman itu, tapi apa yang dikatakannya? “Membuka tali kasut pun aku tidak layak.” Dan sekarang kalimat kedua yang muncul bukan dari orang Israel, bukan dari orang Yahudi, tetapi dari seorang yang dikategorikan najis. Dari seorang centurion mengatakan, “Aku tidak layak Tuhan, aku tidak layak.” Pada bagian ini menjadi satu bagian yang penting untuk kita ketahui untuk berespons dengan tepat. Kita tahu kita tidak layak, tapi Tuhan mau pakai. Di situ kita akan selalu mengisi hati kita dengan satu ucapan syukur. Perhatikan bagian ini, orang yang merasa diri tidak layak itu akan banyak melihat anugerah Tuhan, akan banyak melihat perbuatan tangan Tuhan, dan akan banyak bersyukur. Tapi sebaliknya, orang yang rasa layak, namanya sudah rasa layak begitu ya, akan banyak keluhan, akan banyak complain. “Tuhan saya sudah lakukan ini itu, mengapa begini begitu?” “Kenapa sih saya dari seluruh orang, kenapa saya? Maksudnya apa?” Ini karena merasa diri layak. Orang yang rasa tidak layak itu adalah orang yang selalu melihat anugerah yang Tuhan beri dan pekerjaan tangan Tuhan.

Di dalam konteks pelayan kita, saya tahu banyak momen yang membuat orang grogi, misalnya Saudara pertama kali jadi liturgis itu gemetaran. Kenapa? Padahal persiapannya sudah rapi sekali, tapi tetap gemetaran, gugup panggung. Sudah ke-100 kali rasa enteng, itu sikap yang berbahaya. Karena kita mengentengkan mimbar Tuhan. Sama seperti doa, misalnya kalau hamba Tuhan mau panggil doa tiba-tiba banyak yang menunduk. “Bapak ini maju ke depan.” Waduh, bisa gemetaran. Tapi kalau sudah biasa, sudah jadi ahli ya. Doanya sudah ada pola, “Bapa, kami mengucap syukur,….” Karya keselamatan semua disebut dalam doa. Terus perendahan diri, sudah ada polanya. Ini yang menakutkan, Saudara. Kita berdoa sudah pakai template default gitu. Itu sesuatu hal yang menakutkan, karena apa? Karena mungkin tergoda untuk rasa layak sedikit saja, kita rasa seperti seorang ahli. Kita rasa bisa karena kita kerja. Saya tidak bicara kita tidak perlu kerja untuk rasa tidak layak itu. Kita melihat semua Tuhan beri itu di dalam anugerah. Jadi ini adalah respons yang diberikan kepada Tuhan yang seharusnya. Kita menuhankan Tuhan, tetapi ironinya justru kita belajar dari seorang yang bukan orang Yahudi. Dia seorang gentile, dia orang yang dianggap kafir, dia orang yang dianggap tidak suci. Orang yang datang ke rumah orang seperti ini, ini dikategorikan najis. Dan kalau kita baca misalnya di dalam Kisah Rasul 10. Ada percakapan Petrus dan Kornelius. Petrus mengatakan, kamu sendiri tahu betapa kerasnya tradisi orang-orang Yahudi yaitu kita sama sekali tidak boleh masuk ke dalam rumah orang non-Yahudi, karena itu akan menajiskan kami. Tetapi karena Tuhan sudah menyatakannya berarti Petrus juga dikoreksi, sehingga sekarang aku datang kepadamu. Jadi kita bisa dalam tradisi yang semakin dipegang semakin menghancurkan orang, semakin radikal yang tidak ada belas kasihan.

Mengapa mereka bisa ekstrim begini? Jawabannya sederhana, karena di dalam seluruh sejarah orang Israel mulai dari Hakim-hakim, Raja-raja, masuk lagi setelah pembuangan, kitab Ezra, Nehemia, kita mengamati ada satu hal yang sama terus, apa? Kawin campur. Bukan menentang ras, tapi sebenarnya ini sedang bicara iman. Karena demikian ekstrim, maka di dalam zaman Second Temple Judaism, orang-orang Israel jadi sangat “antik”. Taurat itu diterjemahkan sampai ekstrim, seperti tidak boleh jalan berapa langkah. Di dalam konteks modern boleh tidak pencet lift? Jadi tunggu sampai orang pencet lift karena kalau pencet lift, ini termasuk kerja. Kalau sudah begitu, mereka semakin taat sekaligus semakin jauh dari firman, inilah ciri-ciri orang radikal. Orang radikal pikir itu benar, makin dihidupi makin hancur hidupnya, dan menghancurkan orang lain juga karena dia akan jadi penghakim. Misalnya, Petrus ke rumah Kornelius, nanti akan ada orang-orang Israel yang lain, “Ini bagaimana sih? Masa kayak gini aja tidak tahu? Kamu harus jaga kesucian, kita masih dijajah sama Roma. Kita ‘kan mengharapkan Mesias datang.” Petrus pernah tergoda tidak? Pernah, waktu dia ketemu sama Paulus. Dia lagi sama-sama orang menjauhkan diri terus tiba-tiba datang Paulus menegur, “Kamu lakukan ini, munafik ya.” Jadi tiba-tiba menjauhkan diri waktu orang Israel datang. Di dalam bagian ini, kita boleh melihat tidak ada yang imun, tetapi marilah sekali lagi kita melihat satu bagian yang adalah merenungkan mengenai ketidaklayakan. “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan dalam rumahku, katakan saja sepatah kata maka hambaku itu akan sembuh.”

Sekarang kita akan berbicara mengenai perkataan. Waktu Tuhan Yesus sembuhkan orang, itu kuasanya mengalir dari mana, Saudara? Dari sentuhan? Dari air ludah? Orang buta itu dicolek, lalu sembuh? Yang membuat Yesus itu bisa menyembuhkan itu apa? Jawabannya: perkataan-Nya. Perkataan ini mengandung kuasa. Seperti ada perempuan yang pendarahan sekian tahun, menyentuh jubah-Nya Tuhan Yesus, dia tahu ada “kuasa” yang mengalir dari situ. Tetapi secara esensi, bukan tubuh, bukan bajunya, bukan sentuhannya, tetapi diri-Nya, firman-Nya, perkataan-Nya, itu yang berkuasa. Kadang kita sebagai orang percaya merasa sepertinya doa hamba Tuhan lebih berkuasa, betul tidak? Doa sendiri rasanya agak kurang kuasanya atau bagaimana. Coba kita renungkan sedikit, misalnya ada yang kerasukan setan lalu cari hamba Tuhan untuk mendoakan. Saya dan Pdt. Harly ini kalau di GRII Pusat itu ada yang berhubungan dengan agak “mistik”, maka Pdt. Ivan Kristiono langsung ngomong, “Hubungi Jack atau Harly.” Semua uusan pengusiran setan, mereka “ahlinya”, tentunya ini candaan. Jadi biasanya kitalah yang akan datang. Tapi sebetulnya, esensinya adalah semua orang di dalam Tuhan itu diberikan kuasa karena kuasa itu bukan dari orang ini, tetapi dari kuasa nama Yesus sendiri. Jadi dalam nama Yesus itu ada kuasa, itulah yang powerful.

Dan kalau kita renungkan, kekristenan menjadi agak aneh, karena di beberapa tempat, yang dilihat ada kuasa apa? Anggurnya ada kuasa, rotinya, minyaknya bisa sembuhkan orang sakit. Ada satu orang teman yang akhirnya di GRII, dia ketakutan naik pesawat. Ambil minyak itu, dioles sedikit di pesawat itu sebelum berangkat. Lama-lama ini jadi sinkretisme. Mungkin nanti mau naik mobil ke luar kota, kasih minyak sedikit. Sehingga minyaklah yang jadi tuhan-nya. Padahal Tuhan yang adalah Tuhan harus dituhankan, bukan minyak. Minyak itu hanya jadi media. Justru yang menyadari bagian ini orang yang dikategorikan non-Yahudi, orang yang dikategorikan najis, orang yang dikategorikan tidak kudus, tetapi imannya besar.

« 7 of 9 »