Dan waktu Yesus masuk Yerusalem, semua orang menyambut Dia, semua orang memuji, melambaikan daun palem dan berseru “hosana bagi Allah di tempat maha tinggi, hosana bagi Anak Daud. Ini tandanya sekarang kerajaan kami sudah dipulihkan”. Coba kita pikir baik-baik betapa menyenangkannya keadaan ini. Tapi Saudara jangan berpikir dari tempat Saudara yang aman dan damai. Kita kalau baca literatur apa pun mesti masuk ke dalam kisahnya. Bagaimana cara masuknya? Coba bayangkan kalau Saudara adalah orang Israel di abad pertama. Mereka sangat ingin kerajaan dipulihkan. Saya tidak tahu apa yang membuat kita tidak terlalu ingin Kerajaan Allah dipulihkan, mungkin karena hidup kita terlalu enak. Bagaimana kalau Tuhan terlalu marah dan mengatakan “Aku buat hidupmu sangat menderita dulu, supaya engkau benar-benar mengharapkan pemulihan dari Tuhan”. Israel benar-benar mengharapkan pemulihan dari Tuhan, karena mereka tidak melihat adanya jalan lain hidup mereka bisa diperbaiki. Dan ketika Yesus datang, mereka pikir “inilah saatnya, kami mendapatkan kelimpahan, kami mendapatkan jawaban, kami dapat kesempurnaan di dalam Raja yang hadir ini”. Tapi Raja itu mati, ini yang membuat mereka hancur imannya. Kalau kita belum mengalami kekecewaan sebesar ini, kita belum tahu apa yang Lukas sedang ajarkan kepada kita. Kekecewaan yang tidak lagi sanggup untuk jalani hidup seperti biasa. Adakah orang yang mengalami keadaan yang hancur seperti ini? Kadang-kadang orang yang mengalami banyak sekali sengsara, baru dia bisa mengerti bijaksana yang dibagikan oleh Kitab Suci. Tchaikovsky pernah mengatakan banyak yang mengkritik musiknya karena mereka tidak pernah mengalami sedikit pun sayatan hati yang dialami. Tchaikovsky mengatakan “kamu punya luka hati yang banyak, kamu akan mengerti musik saya”. Mungkin hal yang sama bisa kita katakan tentang Kitab Suci, kalau kamu mengerti lukanya Israel, “penderitaan kami sebagai bangsa, penderitaan kami umat Tuhan yang ditinggalkan oleh Tuhannya”, kamu akan mengerti Kitab Suci. Mari kita pahami penderitaan orang, jangan terus sibuk dengan penderitaan sendiri. Lalu ketika kita menggumulkan penderitaan orang lain, penderitaan Israel, baru kita tahu “mereka benar-benar perlu Mesias. Dan sekarang Mesias diambil dari mereka, mereka mati”. Bayangkan, mereka mengalami keraguan besar sekali, ragu apakah ini Tuhan yang benar, “apakah Tuhan menyayangi kami, apa jangan-jangan semua tradisi kami salah”. Pergumulan ini sangat menakutkan, keadaan yang gelap, keadaan yang tidak menentu lagi, “bagaimana saya tahu bahwa semua yang diceritakan nenek moyang kami itu benar? Mengapa Mesias ini mati? Tradisi kami begitu kuat tapi sekarang kami ragukan semuanya. Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami percaya”.

« 4 of 8 »