(Lukas 15: 11-32 )
TuhanYesus ingin memberikan jawaban dari keberatan orang-orang Farisi dan jawabannya simple. Mereka keberatan, “mengapa Engkau makan bersama orang berdosa?”, jawabannya simple, “karena Tuhan mau panggil mereka kembali”, selesai. Tapi kalau Tuhan Yesus hanya menjawab ini “Tuhan mau panggil mereka kembali”, kekuatan yang didapat ketika ada 3 perumpamaan ini menjadi hilang. Maka orang-orang Farisi itu perlu dijawab bukan dengan cara menjelaskan, tapi dengan memberikan gambaran, sehingga baik pengertian maupun emosi mereka semua ditangkap oleh jawaban ini. Di dalam zaman modern kita hanya menekankan pemikiran, kalau ada pertanyaan, jawab dengan penjelasan. Tapi penjelasan membuat Saudara mengerti di otak saja, sedangkan penjelasan yang sifatnya seperti perumpamaan membuat hati orang berubah. Maka untuk membuat orang dekat dengan Tuhan tidak cukup hanya dengan membuat mengerti secara kalimat. Banyak orang pikir kalau pulang dari mendengar kotbah, sudah dapat kalimat kunci, dia sudah dapat berkat. Itu kosong, tidak ada gunanya. Saudara mendapat kalimat-kalimat inti, tidak berguna. Saudara harus mendapatkan interaksi atau pernyataan yang menggentarkan hati Saudara waktu dengar kotbah. Waktu dengar kotbah, bukan mendengar penyampaian pengertian, bukan mendengar proposisi atau kalimat-kalimat pengetahuan. Saudara berinteraksi atau menemukan dengan pribadi Tuhan yang menyatakan diri lewat firman, ini yang harus kita sadari.

Maka ketika ada yang keberatan, “mengapa Engkau makan dengan orang berdosa?”, Tuhan tidak mengatakan, “terserah Aku”. Dia hantam balik orang Farisi dengan 3 perumpamaan. Dan 3 perumpamaan ini makin ekskalasi sampai pada puncaknya di perumpamaan yang akan kita bahas hari ini. Di bagian pertama, Yesus mengatakan ada orang punya 100 domba 1 hilang. Perumpamaan kedua, 10 hilang 1, makin terasa hilangnya. Saudara kalau punya 100 hilang 1, mungkin tidak terasa. Tapi kalau Saudara hanya punya 10 hilang 1, makin terasa. Bayangkan kalau orang punya 2 anak, hilang 1, bagaimana tidak dicari? Ini makin lama makin tinggi. 100 domba hilang 1, terkadang tidak dicari. Tapi berapa besarnya kasihnya untuk dombanya, dia cari meskipun resikonya nanti bertarung dengan serigala. Sekarang perumpamaannya makin terekskalasi ke perumpamaan kedua. Ada seorang yang kehilangan 1 dari 10 tabungannya. Ini berarti dia dapat kerugian yang sulit dia tanggung, dia harus cari sampai dapat. Tapi usaha mencarinya tidak sebesar dari mencari yang hilang 1 dari 100 tadi. Cari uang yang jatuh di rumah, tidak mungkin sesulit itu. Cari uang 1 dirham dari 10 itu lebih ringan.Yang ketiga, seorang papa punya 2 anak. Anak dan domba lebih penting mana? Lebih penting anak, kalau domba hilang dibiarkan, tapi kalau anak hilang tidak mungkin tidak dicari. Orang tua akan cari mati-matian anaknya. Tapi dalam cerita ketiga, 2 anak hilang 1, ini sudah separuh. Papanya tidak cari, papanya tunggu anaknya pulang. Lalu ketika anaknya benar-benar pulang, sukacitanya besar bukan main. Karena tanpa dicari, anaknya pulang sendiri. Yesus sedang menggambarkan sukacita yang makin terekskalasi, makin tinggi di perumpamaan ketiga. Dan Yesus hantam balik orang Farisi, “kalau yang berdosa ini sudah kembali, mengapa engkau tidak bersukacita?”. Yesus memberikan perumpamaan yang indah, dari 3 perumpamaan ini menjadi penutup. Dan di perumpamaan ketiga ini Dia memberikan waktu yang lebih banyak untuk menjelaskan perumpamaannya. Dari yang pendek menjadi lebih panjang, sekarang paling panjang. Dan banyak kandungan di dalamnya yang membuat kita mengalami atau menjalani kisah dari keluarga ini dan mengalami betapa sulitnya ada di dalam posisi si ayah yang kehilangan anak dan menerima dia kembali.

Kita coba lihat satu per satu. Di ayat 11 dikatakan ada seorang mempunyai 2 orang anak laki-laki, yaitu yang sulung dan bungsu. Yesus memulai ceritanya dengan mengatakan ada yang punya 2 anak. Di dalam zaman sekarang punya 2 anak itu masih umum. Zaman dulu punya 2 anak itu sangat tidak umum. Tapi mengapa Yesus mengatakan 2? Yesus ingin menekankan ada sulung ada bungsu, langsung menekankan ada 2. Pengertian yang Yesus ingin langsung arahkan adalah ke anak bungsu ini. Dan di dalam pengertian budaya Yahudi, bungsu identik dengan malas dan manja. Jadi orang Yahudi percaya, mungkin menurut bukti yang mereka dapatkan, yang bungsu itu malas kerja, yang sulung lebih rajin, yang bungsu manja, yang sulung lebih mandiri. Si bungsu datang ke papanya, “pa, minta harta bagian saya”, papanya langsung bagi. Pada waktu itu kalau orang membagikan warisan sebelum dia mati, itu hal yang wajar, “sebelum mati, saya serahkan tanah ini untuk kamu, rumah ini untuk kamu”, biasa seperti itu. Yang tidak biasa adalah kisah selanjutnya, setelah hartanya dibagi-bagi, anak bungsu itu menjual seluruhnya. Jual warisan adalah hal yang sangat berdosa. Di dalam Kitab Taurat dikatakan, “tanah milikmu harus tetap kamu kuasai, jangan jual harta, tanah yang Tuhan berikan kepada nenek moyangmu”. Tanah jadi milik keluarga atau suku turun-temurun, tidak boleh berpindah ke tangan lain. Dilarang keras menjual harta apalagi bagian warisan. Anak ini sudah melakukan pelanggaran yang sangat besar, dia sangat jahat, dia mengkhianati kebiasaan yang ada pada waktu itu. Jangan membaca Alkitab dengan membawa kebiasaan modern kita ke sini, “kalau jual wajar kan. Saya menjual bagian saya karena memerlukan uang. Ini hal yang wajar”, tapi ini tidak wajar menurut mereka. Maka kita harus membaca berdasarkan budaya zaman itu.

Yang berikutnya, beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual dan pergi ke negeri yang jauh. Apa salahnya pergi ke luar negeri? Tidak ada yang salah. Tapi bagi orang Yahudi, pergi ke luar negeri itu akan dikutuk oleh orang yang tinggal Israel. Karena mereka dalam keadaan dimana orang-orang yang kembali ke Tanah Kanaan adalah orang-orang yang baik, sedangkan orang-orang yang tetap di pembuangan adalah orang-orang jahat. Ini budaya pada waktu itu. Hal yang sama terjadi pada waktu itu. Maka pada pemikiran orang Israel, yang tinggal di pembuangan adalah orang jahat, yang kembali ke Kanaan adalah orang baik. Yang kembali ke Israel ini orang suci milik Tuhan, yang tetap di Kanaan itu orang yang dibuang. Tetapi kebiasaan ini dihancurkan oleh satu kitab di Kitab Suci, yaitu Kitab Ester. Itu kisah di zaman Ahasyweros, ini adalah zaman sesudah 2 generasi raja sejak Israel pulang ke tanah mereka. Jadi orang yang pulang sudah pulang, yang tetap tinggal itu yang dihina, “kalian yang tetap di Persia, kalian jahat. Kalian Israel palsu, tidak mau berjuang mati-matian, mau enak sendiri”. Lalu mereka mengatakan, “yang tidak pulang ke Yerusalem, yang tidak pulang ke Israel, Tuhan akan kutuk”. Tapi Kitab Ester mengatakan tidak, Tuhan tetap berkati juga. Orang Yahudi susah kalau baca Alkitab, kerangka mereka banyak yang dihancurkan. Jadi mereka sudah mengerti orang Israel harus pulang, yang tetap tinggal di Persia adalah orang buangan, kalau begitu mereka dikutuk oleh Tuhan. Tapi Kitab Ester mengatakan pada zaman Raja Ahasyweros, ada seorang Israel yang bisa jadi ratu. Lalu ada seorang jahat yang memusnahkan seluruh orang Yahudi yang tinggal di situ. Tapi Tuhan memberikan pembelaan dengan menjadikan Ester sebagai ratu. Ester mengubah kebijakan, sehingga orang Yahudi bisa berperang dan menaklukan lawan. Tapi pola pandang itu tetap ada sampai pada zaman Tuhan Yesus, yaitu mereka yang tinggal di luar negeri adalah orang kafir, sama jahatnya dengan orang asing. Karena tidak mau berjuang di sini. Dan si anak bungsu ini pergi ke negara lain, pindah keluar. Saudara bisa tahu jahatnya orang ini. Dosa anak bungsu ini adalah dia pindah rumah, pindah ke luar negeri itu dihukum, orang Israel marah sekali. Jadi dosa pertama adalah si bungsu menjual harta warisan, yang kedua adalah dia pergi ke luar negeri. Di luar negeri dia berfoya-foya, berfoya-foya itu salah karena menghabiskan harta dengan cepat. Tuhan akan minta pertanggungan jawab, “dipakai untuk apa hartamu? Kamu beli apa, kamu pertanggung-jawabkan dengan baik atau tidak?”. Zaman sekarang kita sangat diganggu atau diberkati, tergantung sudut pandang Saudara, dengan cara belanja yang mudah Saudara tinggal buka laptop dan klik-klik, sudah banyak barang yang muncul, dan akhir bulan hutangnya besar sekali. Kemudahan ini jangan sampai membuat Saudara terlena. Seluruh kemudahan dari hal keuangan menuntut kemampuan kita beradaptasi di dalam bentuk self-control. Kemudahan akses dari teknologi menuntut kedewasaan di dalam self-control. Keuangan adalah tanggung jawab, Saudara dapat uang berapa, tanggung jawab sama Tuhan. Maka foya-foya bukan gaya Kristen. Jangan bandingkan diri dengan orang lain. Ada orang dapat uang banyak, itu urusan Tuhan dan dia. Tuhan mau berkati dia dengan uang, itu urusan Tuhan. Gaya hidup Kristen adalah mempertanggung-jawabkan takaran yang Tuhan percayakan. Tuhan percayakan banyak, Tuhan tuntut banyak. Tuhan percayakan lebih sedikit, tetap Tuhan tuntut tanggung jawab di dalam level yang Tuhan mau. Maka ketika orang mendengarkan cerita Tuhan Yesus, sampai bagian ini mereka sudah marah sekali. “Tuhan, kok ada anak jahat seperti ini, tolong beri tahu dia ada di mana, supaya kami pukul”, mereka sudah sangat emosi mendengar ada anak seperti ini jahatnya.

Tetapi ceritanya mulai berubah, dari memancing rasa marah, sekarang Tuhan mulai memancing rasa kasihan pendengarnya. Ini namanya pencerita yang baik. Pencerita yang baik itu bukan hanya mau selesaikan cerita, tapi dia tahu kira-kira reaksi pendengarnya akan seperti apa. Orang Israel kerja pada bangsa asing, itu sangat memalukan. Orang milik Tuhan kerja kepada orang kafir, itu tidak boleh. Ini budaya Israel dan menyangkut juga ke daerah-daerah lain. Maka kalau ada orang kerja di perusahaan kafir, malu sekali. Maka dia bekerja menjaga babi. Orang Yahudi yang dengar ini marah sekali, ada anak Israel kerja sama orang kafir dan pekerjaannya adalah menjaga babi, lebih baik dia dilempar batu sampai mati karena mempermalukan Tuhan. Tapi ini nasib anak muda itu. Lalu Yesus menceritakan, dia hanya bisa memandang babi makan. Maka pada waktu dia keadaan seperti ini, orang mulai terpisah. Ada yang masih marah, “masa orang Israel kerja jaga babi”, tapi orang lain mulai merasa, “sudahlah, jangan terlalu dimarahi, kasihan orang ini. Kamu pernah merasakan lapar? Dia kelaparan, masa mau dimarahi juga? Maka mulai ada dua, yang satu tetap mengatakan “ini orang jahat, lempar batu saja”, tapi ada satu yang mengatakan “kasihan anak lapar ini”. Yesus memenangkan orang-orang yang masih punya belas kasihan. Lalu Yesus menambah lagi ceritanya, di tengah kelaparan, dia ingat “papa saya punya pembantu yang kenyang, orang ini pembantunya lapar. Lebih baik saya pulang ke rumah papa saya. Tapi saya tidak mau jadi anaknya papa, saya tidak layak disebut anak papa. Saya minta dijadikan pembantu”, ini namanya pertobatan. Pertobatan itu berarti merasa tidak pernah layak direstorasi. Orang kalau minta ampun, jangan menuntut. Kalau menuntut, berarti belum minta ampun. Minta ampun tidak mungkin menuntut. Orang kalau mengatakan, “saya minta ampun. Tapi kamu kalau bisa jangan begitu”, itu berarti belum minta ampun. Kalau orang salah dengan pasangannya, lalu mengatakan “saya minta maaf kepadamu, saya sudah berdosa kepadamu. Tapi kalau bisa jangan begitu”, itu belum minta ampun. Maka saya pernah ingatkan kalau orang benar-benar minta ampun, saya tanya “kamu benar-benar minta ampun?”, “benar-benar”, “oke, saya mau tahu, kalau kamu benar minta ampun, jangan pernah keluar kata tetapi di dalam ampunmu”, “iya, betul pak. Anak muda ini punya pertobatan yang sejati, “jadikan saya budak karena saya tidak layak disebut anak papa”, dan dia tidak mengatakan “tapi sih papa tidak didik dengan baik, papa terlalu lunak. Ada orang bilang seperti itu ke saya, “papa saya itu salah didik anak. Setelah saya dengar seminar Pak Tong, baru saya tahu kalau papa saya salah. Saya jadi begini karena papa”, orang seperti ini ingin saya pukul. Dosa tanggung sendiri, jangan salahkan orang lain terus. Anak muda ini adalah contoh pertobatan yang baik. Dia mengatakan “saya tidak layak disebut anak”, tidak ada kata tapi. Dia datang dengan perasaan seperti ini. Dia datang kepada papanya, ternyata papanya sudah tunggu di depan. Papanya tahu anaknya akan pulang, tapi dia tidak cari, dia tunggu di depan. Dia sangat ingin anaknya pulang. Papanya mau seluruh keluarga kumpul. Ini mencerminkan hati Tuhan. Tuhan mau seluruh Israel kumpul, seluruh umat disatukan. Maka papanya terus tunggu. Ketika anak datang, papanya langsung datang dan peluk dia. Dan anak ini bukan oportunis, dia sudah siapkan “kalau saya datang saya akan mengatakan: saya sudah bersalah, saya akan mau menjadi pembantumu. Jangan jadikan anak, jadikan saya pembantu”, ini anak pertobatannya sungguh. Kalau oportunis, maka dia akan set, kalau papanya marah, dia akan minta jadi pembantu, tapi kalau papanya menerima dia, dia mau jadi anak lagi. Tapi papanya pun tidak mau menjadikan dia budak, dia tetap anaknya. “Saya mau jadi budak, pembantu papa”, ”tidak, kamu anak saya. Kita adakan pesta”. Anaknya bersikeras ingin jadi pembantu, bapanya bersikeras dia tetap menjadi anak. Kalau Saudara datang ke Tuhan, jangan bersikeras jadi anak, “Tuhan, saya anakMu, biji mataMu, berkati saya dengan Mercy-Mu”, Saudara minta mercy (pengampunan) bukan Mercy, jangan salah. Waktu pesta sudah jalan, anak sulung pulang dari kerja, “ada apa itu? Mengapa ada bunyi seruling, tari-tarian?”, “adikmu pulang”, “itu bukan adik, itu orang kafir, masa dia sudah pulang?”, “sudah”, “dan mengapa ada pesta?”, “ini perintah papamu untuk menyambut adikmu”, “papa? Kalau begitu saya marah, saya memutuskan tidak masuk ke dalam rumah”. Akhirnya dia yang di luar. Maka orang itu mengatakan kepada papanya, “anak sulungmu sudah pulang, tapi dia marah, tidak mau masuk”, “baik, akan saya temui dia”. Saudara kalau punya papa seperti ini, dan Saudara masih jahat, Saudara keterlaluan. Dan Alkitab mengatakan ini sifatnya Bapa di sorga. Kalau Bapa di sorga baik seperti ini, kita masih sembarangan, kita keterlaluan. Maka bapanya itu keluar, “anakku, mengapa tidak masuk?”, dia pakai kata anakku. Anaknya(di dalam bahasa asli) menjawab dengan “tuan”, dia langsung menganggap dirinya bukan anak, dia marah sama papanya, “tuan, saya kerja setiap hari kepada tuan, dan tuan tidak pernah kasi kambing untuk saya berpesta dengan teman-teman saya. Sekarang ada anakmu”, dia tidak bilang adik, “anakmu yang baru boroskan harta dengan pelacur, kamu malah membuat pesta”, dia marah sekali. Tapi papanya tidak mau mengikuti cara dia berkata, papanya mengatakan “anakku, saudaramu, anakku yang bungsu sudah pulang. Mengapa kamu tidak bersukacita? Harusnya kamu bersukacita, karena kamu tidak mengerti beban hatiku menantikan dia”. Ini yang Tuhan sedang katakan, mengapa orang Farisi tidak mengerti, karena tidak mengerti beban hatiNya Tuhan yang ingin semua umatNya kembali. Dan ini harus jadi beban hati kita, waktu melihat orang kembali kepada Tuhan, di situ ada sukacita besar. Kita tidak bisa membuat orang kembali kepada Tuhan. Ketika kita doakan orang, ketika kita Injili, ketika kita memberitakan firman, tidak ada tanda pertobatan, itu membuat kita sedih. Tapi ada waktu khusus dia mau datang kepada Tuhan, itu membuat kita penuh sukacita. Karena saya tahu saya akan cari dan kejar apa pun yang Tuhan percayakan, tapi sebelum saya melangkah, orang sudah datang, itu yang membuat sukacita. Dan Tuhan Yesus mengatakan kepada orang Farisi, “masa kamu tidak bersukacita kalau pemungut cukai ini cari Aku? Orang brdosa cari Tuhan, kamu harusnya bersukacita”. Dan bersukacita bersama malaikat di sorga.

Tuhan Yesus menceritakan 3 perumpamaan ini untuk menyatakan berita yang sangat agung bahwa Tuhan mengasihi orang-orang berdosa dan mau mereka kembali. Maka biarlah Saudara yang sedang hilang cepat kembali. Engkau tidak mungkin punya bapa seagung Bapa di sorga, dan Dia sedang menantikan engkau kembali. Dan ketika engkau sudah kembali, hargai setiap orang yang bertobat. Siapa yang bertobat, datang kepada Tuhan, sambut dia di dalam Tuhan. Kita sangat senang kalau orang mau benar-benar bertobat. Dan pertobatan sejati membuat kita bersukacita dengan malaikat di sorga. Kiranya Tuhan memberkati kita, mendorong kita untuk mengerti siapa Tuhan dan mengetahui isi hati Dia terhadap orang-orang berdosa yang mau bertobat.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkotbah)