(Lukas 5: 27-32)
Di dalam bagian ini Lukas menuliskan pertentangan dengan orang Farisi yang makin lama makin besar. Lukas coba bagikan di dalam tulisannya bagaimana Kristus menolong orang, mengasihi orang, membagikan berkat begitu limpah dan orang Farisi selalu kritik hanya karena hal-hal remeh yang mereka anggap sebagai hal yang besar. Ini semua adalah satu pengajaran yang perlu kita pikirkan sekarang. Saudara mempunyai pengertian mengenai mana yang esensial dan mana yang tidak, ini akan membuat Saudara bijaksana. Orang yang tahu mana yang utama dan tidak, itu adalah orang bijaksana. Orang yang tidak bijak akan membuat yang kurang utama menjadi paling penting, yang paling penting jadi dilupakan. Orang Farisi sebenarnya adalah orang-orang yang begitu gigih di dalam mempertahankan kesucian. Waktu pemimpin-pemimpin dari dinasti Hasmonean, keturunan Yudas Makabeus, mereka mulai kompromi, mulai ikat janji politik dengan orang Makedonia, mulai terima relasi kerja sama dengan orang Roma, ini membuat orang Farisi marah. Mereka mengatakan “mari kembali ke ajaran Alkitab, kita mesti berdiri sendiri tidak kerja sama dengan bangsa mana pun”. Maka mereka memisahkan diri, lalu mereka menjadi gerakan yang memurnikan, menguduskan kembali umat Tuhan. Tapi ada satu masa di mana mereka menjadi parta politik, ini partai politik punya pengaruh besar kepada masyarakat. Lalu ada partai lain yaitu Saduki, karena Saduki punya pengaruh begitu besar kepada golongan elit. Yang satu masyarakat awam, satunya golongan elit. Jadi orang Farisi grass root, orang Saduki orang-orang intelektual, orang penting.

Ketika mereka menjadi partai, mereka anti satu sama lain, mereka berantem, mereka berkelahi, setiap pertemuan pasti berdebat antara Farisi dan Saduki. Kita harus mengerti mengapa, kalau tidak kita akan menjadi orang yang melakukan tanpa tahu mengapa, lalu membakukan. Setelah dibuat menjadi baku, kita mulai menghakimi siapa yang tidak ikut cara ini adalah bidat, inilah orang Farisi. Maka mereka menjadi ketat di dalam tindakan luar, di dalam kebiasaan beribadah dan mereka menghakimi orang berdasarkan kebiasaan mereka. Maka waktu Tuhan Yesus lihat orang pemungut cukai ini, lalu Dia selamatkan, Dia mengatakan “ikutlah Aku”, pemimpin kelompok Farisi begitu marah, lalu dia tolak, dia protes “ini seharusnya tidak terjadi, karena orang suci seperti kita tidak boleh bergaul dengan orang berdosa seperti mereka”. Ini yang menjadi keberatan mereka dan mereka selalu memakai standar yang begitu sempit untuk menghakimi orang lain. Hati-hati, kita tidak mau menjadi orang seperti itu, ketika Kekristenan kita hanya tindakan luar yang kosong, tindakan luar yang kita bakukan, ini menjadi Kekristenan yang sangat bahaya. Itu semuanya ditolak oleh Tuhan Yesus, maka ada hal-hal yang Kristus kerjakan sengaja untuk memprovokasi mereka. Ini satu tafsiran yang menarik dari Herman Ridderbos, dia membahas Yohanes dan mengatakan beberapa hal Kristus kerjakan untuk provokasi mereka, sengaja. Misalnya orang lumpuh disembuhkan, Yesus mengatakan “ambil tempat tidurmu dan berjalan”, di hari Sabat. Maka pada bagian ini pun orang Farisi menjadi objek sindiran dari Lukas dengan menggambarkan peristiwa ini dengan jelas. Di dalam ayat 27 dikatakan “Yesus pergi keluar, Ia melihat seorang pemungut cukai yang bernama Lewi sedang duduk di rumah cukai. Yesus berkata kepadanya ikutlah Aku”. Salah satu ciri dari Lukas adalah menggambarkan Yesus waktu mengajak murid memakai momen kejutan luar biasa. Lukas langsung sorot momen mengejutkan di mana Yesus tiba-tiba datang dan mengatakan “ikutlah Aku”, tidak ada perkataan pendahuluan. Dan sekarang Yesus lakukan hal yang sama, sedang berjalan di depan rumah, ada seorang pemungut cukai sedang hitung uang di tempatnya dia, Yesus berpaling tanpa basa-basi langsung mengatakan “ikutlah Aku”. Ini menunjukan otoritas Yesus.

Bisakah manusia biasa mengatakan ini? Itu sebabnya Saudara harus hati-hati dengan orang yang mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaruh, punya kemampuan untuk menjadi pemimpin, punya kemampuan untuk mengatakan “ikut saya” tapi tidak pernah punya concern kepada orang yang disuruh ikut, ini adalah pemimpin yang bahaya. Tuhan Yesus mengatakan kepada Lewi “ikutlah Aku”, kalau kita tanya “apa hakMu ya Tuhan suruh Lewi mengikuti Engkau?”, Tuhan mengatakan “karena Aku akan mati di kayu salib untuk dia”. Sekarang orang mengatakan “ikutlah aku”, orang tanya “apa hakmu menyuruh aku ikut kamu?”, apakah orang itu berani mengatakan “karena aku akan korbankan nyawaku sekalipun untuk memberkati kamu”, karena itu baru pemimpin sejati. Itu sebabnya jangan sembarang bilang “ayo ikut, aku adalah pemimpinmu, saya adalah yang akan memberikan pengaruh” tapi makin dipengaruhi makin membuat hidup orang rusak. Terlalu banyak orang yang punya kemampuan seperti itu tapi tidak punya pengertian yang dalam tentang apa itu hidup yang limpah di dalam Tuhan. Maka Yesus di sini memberikan peringatan “ikutlah Aku” sambil mengatakan “selain Aku jangan ikut, hanya Aku yang berhak mengatakan ikutlah Aku”. Kristus mengatakan itu dengan otoritas besar karena selain mengatakan “ikutlah Aku”, Dia juga mengatakan “Aku akan mati di kayu salib bagimu. Aku rela memberkati hidupmu sedemikian sampai rela hidupKu hancur demi memberkati hidupmu. Aku mengatakan ikutlah Aku, tapi ketika Aku mengatakan tinggalkan semua, Aku lebih dulu sudah meninggalkan kemuliaan Sorga. Ketika Aku mengatakan ikut Aku di jalan yang sulit, Aku terlebih dahulu sudah berjalan ke Kalvari ke Bukit Golgota dan ke kayu salib dan mati di sana”. Inilah teladan ideal bagi semua orang. Tidak ada nabi bisa mengatakan seperti ini, tidak ada pemimpin agama bisa mengatakan seperti ini, tidak ada orang-orang besar sepanjang sejarah boleh mengatakan “ikutlah aku” seketat Yesus.

Waktu Yesus mengatakan “ikutlah Aku”, ayat 28 mengatakan “berdirilah Lewi, meninggalkan segala sesuatu lalu mengikut Dia”. Ini respon yang indah sekali, satu respon yang mengatakan “kalau Tuhan menyatakan ikut, saya harus ikut. Kalau Tuhan mengatakan apa, saya harus lakukan itu”. Dan inilah iman yang Tuhan tuntut. Orang Farisi mengikuti tradisi tapi tidak peka waktu mendengarkan suara Tuhan. Orang Lewi peka dengar suara Tuhan, langsung dia bertindak berdasarkan apa yang Tuhan katakan kepada dia. Inilah contoh bagi kita. Tuhan mengatakan di Perjanjian Lama “Aku tidak menghendaki korban bakaranmu lebih dari pada engkau mendengarkan suaraKu. Aku ingin engkau dengar suaraKu lalu engkau kerjakan semua karena dengar suaraKu”. Mengapa berikan korban? Karena Tuhan berfirman untuk berikan korban. Mengapa hidup kudus? Karena Tuhan berfirman hiduplah kudus. Mengapa engkau kerjakan apa yang engkau kerjakan dalam hidup? Karena Tuhan mengatakan kerjakan ini. Inilah kerohanian sejati. Kerohanian sejati tidak terdiri dari kegiatan mengekang diri dari hal jahat saja. Saudara tidak bisa menjadi kudus dengan tidak berdosa lagi. Kudus tidak sama dengan tidak berdosa saja, kudus berarti tundukan diri kepada otoritas yang sejati. Di dalam Roma 6 dikatakan “engkau sudah dimerdekakan dari dosa supaya engkau sekarang tunduk kepada Yesus Kristus, tunduk kepada Allah”. Jadi kemerdekaan itu bukan tanpa pemimpin di atas, kemerdekaan berarti “saya tahu otoritas sejati dan saya tunduk kepada otoritas itu”. Yesus mengatakan “jangan mau diperhamba dosa, kalau Anak datang, Anak akan bebaskan engkau, tapi bebaskan engkau supaya engkau tunduk kepada Anak”. Demikian juga dalam Roma 6, Tuhan bebaskan engkau dari dosa supaya engkau tunduk kepada Tuhan. Dan waktu engkau sudah tunduk kepada Tuhan, di sinilah kebebasan yang sejati. Itu juga yang dibagikan dalam Lukas 5 ini, dikatakan bahwa engkau harus tunduk, tinggalkan semua lalu ikut. Maka orang Lewi ini menjadi orang yang dikuduskan, bukan karena dia tinggalkan dosa saja, tapi sekarang dia tahu kepada siapa dia harus tunduk. Ini menjadi pertanyaan untuk kita semua, kita tahu tidak kepada siapa harus tunduk? Apakah kita tahu harus hormati siapa? Apakah kita tahu otoritas mana yang harus kita taati? Selama tidak ada otoritas kita maunya diri yang menjadi penguasa, kekacauan akan terus terjadi di dalam hidup, Maka Yesus mengatakan “ikutlah Aku”, Lewi tinggalkan segala sesuatu lalu dia ikut Yesus. Mengapa dia berani ikut Yesus? Karena Yesus adalah Pemimpin yang rela korbankan nyawa demi kebahagiaan orang yang mengikuti Dia. Yesus adalah Pemimpin yang rela meninggalkan kemuliaan sorgawi demi pengikutNya dimuliakan. Yesus adalah Pemimpin yang rela mematikan diriNya supaya orang mati bisa dihidupkan. Maka kalau mengikuti Yesus jauh lebih indah dari apa pun.

Saudara jangan salah konsep, orang berpikir Kekristenan itu berarti membosankan, menakutkan, dingin, kosong, tidak ada happy sama sekali. Jadi orang Kristen terus berpikir “saya tidak boleh senang-senang, saya tidak boleh menikmati”, bukan tidak boleh menikmati, tapi salah menikmati. Maka Tuhan sedang mengajak mari ada dalam kenikmatan yang sejati, yaitu ada di dalam ketaatan kepada Tuhan. Hidup di dalam Tuhan itu limpahnya bukan main, sebab di dalam Alkitab pun Tuhan sudah menciptakan segala sesuatu untuk ditundukan kepada manusia. Kalau semua diciptakan untuk ditundukan kepada manusia, bukankah ini berarti manusia boleh menikmati semuanya? Di dalam Taman Eden Tuhan mengatakan “semua pohon di dalam taman ini boleh kamu makan buahnya, cuma satu yang tidak boleh”, apakah ini kekangan yang terlalu berat? Tuhan tidak bilang “semua pohon di taman ini dilarang, cuma satu yang boleh”. Tapi Tuhan mengatakan “semua yang limpah boleh kamu nikmati”, Tuhan mau kita hidup di dalam hal yang limpah, kenikmatan yang sejati. Tapi bodohnya kita lebih pilih semua tindakan yang kosong, yang palsu, yang akhirnya membuat hidup makin lama makin kering. Mengapa banyak orang hidup depresi? Karena tidak bertemu kenikmatan sejati. Pak Stephen Tong pernah mengatakan “mengapa engkau berdosa, mengapa engkau melakukan semua jenis kecemaran yang begitu besar, mengapa engkau bergaul secara seks bebas, mengapa engkau bergaul dengan homoseks, mengapa engkau menjadi pendosa yang besar? Karena tidak bisa lihat bahwa Tuhan sebenarnya menawarkan sesuatu yang jauh lebih limpah”, ini yang ditawarkan. Yesus mengatakan “ikutlah Aku”, Lewi tinggalkan semua. Mari kita belajar dari Lewi, sebab ketika kita mengikut Tuhan, Tuhan tidak akan membiarkan kita hidup di dalam cara yang sempit, depresi, kosong, sama seperti yang kita kerjakan kalau kita berada di dalam dunia.

Itu sebabnya ketika Kristus didatangi seorang anak muda, lalu anak muda ini mengatakan “apa yang harus aku perbuat untuk beroleh hidup yang kekal?”, Yesus mengatakan “kamu sudah tahu di dalam Alkitab bilang apa, lakukanlah”, anak muda ini mengatakan “dari aku kecil aku sudah lakukan”, ini orang hebat, dari kecil sudah taat Firman. Lalu Tuhan mengatakan “satu lagi kekuranganmu, jual semua harta milikmu berikan kepada orang miskin, dan ikutlah Aku”. Saudara kalau dengar rangkaian kalimat ini, tema utamanya di mana? “ikutlah Aku”, tapi orang yang banyak uang ingatnya “jual harta”, itu yang diingat. “Ikutlah Aku” itu tema utamanya, “kamu ikut Aku, dari pada kamu tidak tahu hikmat bijaksana hidup kekal, ikut Aku dan kamu akan lihat” come and see. Belajar dari Guru yang paling agung, belajar dari kebenaran itu sendiri. Tapi ada syarat, tinggalkan semuanya dan ikut Aku. Dia lupa tema utamanya, yang dia ingat hanya hal yang berat. Sama dengan banyak orang Kristen “ayo tinggalkan dosa”, “tinggalkan dosa? Berat sekali, jadi tidak bisa having fun lagi”. Engkau selama ini sedang tidak having fun, engkau sedang membodohi diri dengan tindakan yang engkau pikir adalah kesenangan. Orang Lewi ini punya kerohanian begitu bagus, karena ketika Tuhan mengatakan “ikut Aku”, dia mengatakan “sekarang aku akan mengikut Engkau”. Ini semua adalah pelajaran untuk kita renungkan baik-baik, saya rohanikah? Saya rohani bukan karena saya punya tindakan mirip orang rohani, tapi ketika Tuhan berfirman saya berani mengatakan “iya”. Maka ketika orang muda ini Tuhan katakan “tinggalkan hartamu dan ikutlah Aku”, dia sedih karena hartanya banyak, lalu dia pergi. Setelah lihat orang itu pergi, Petrus langsung tanya “Guru, tadi Engkau bilang orang itu harus tinggalkan semua, dia tidak mau. Tapi saya mau, saya sudah tinggalkan semua, tinggalkan ladang, tinggalkan pekerjaan, apa yang aku dapat?”. Saudara menduga mungkin Tuhan Yesus akan marah kalau ditanya seperti ini, tapi tidak, Yesus menjawab “engkau akan dapat”. Yesus sedang mengatakan kenikmatan yang akan engkau dapat, kelimpahan hidup waktu mengikut Tuhan itu berkali-kali lipat dari apa yang engkau tinggalkan. Tuhan kita tidak pernah kejam, Tuhan kita tidak pernah mau hidup kita lebih sengsara, lebih menderita kalau ikut Dia. Mungkin kelihatan menderita oleh dunia, tapi kenikmatan rohani yang Tuhan berikan begitu luar biasa, sehingga ketika Saudara memutuskan “ya Tuhan, aku ikut Engkau”, seumur hidup Saudara tidak mungkin menyesal. Banyak orang menyesal karena tunda-tunda ikut Tuhan, tapi orang yang melangkah dengan Tuhan tahu bahwa Sang Pemelihara yang sekarang diikuti jauh lebih berharga dari apa pun yang ditinggalkan di belakang. Yang ditinggalkan di belakang sekarang sudah lewat, sedangkan yang berada di depan jauh lebih berharga dari itu. Tuhan terus pelihara hidup, Tuhan beri kelimpahan dengan cara yang sangat luar biasa, sehingga kita bisa mengatakan “memang benar Tuhan berikan kelimpahan begitu banyak, lebih dari apa yang saya kejar waktu saya mengejar sesuatu di luar Tuhan”. Maka Lewi sudah mengerti hal ini, “untuk apa saya berkutat dengan uang-uang ini, ini tidak penting. Aku mau ikut Tuhan menikmati pimpinan Tuhan dan ini tidak bisa diperoleh siapa pun”.

Inilah yang harus kita pelajari ketika mengatakan “iya”, Tuhan tidak meminta kita menjadi orang yang susah, menderita, hancur dan kosong hidupnya. Harta bisa membuat orang hidup kosong, kemewahan bisa membuat orang hancur hidup. Tapi mengikuti Tuhan tidak mungkin mendapatkan hal-hal seperti itu. Itu sebabnya siapa mengikuti Tuhan, lebih stabil dari siapa pun. Demikian juga ketika Saudara mempertimbangkan mau ikut Yesus atau cara yang lama? Kalau Saudara berpikir agak mirip-mirip, Saudara pasti kecewa. Tapi kalau Saudara tahu ikut Yesus jauh lebih baik, jauh lebih penting dari sebelumnya, Saudara akan ikut dengan kemantapan hati. Orang Lewi ini ikut dengan kemantapan hati “saya ikut dengan iman, karena saya tahu Kristus akan memimpin jalan, membentuk aku menjadi manusia yang jauh lebih baik dari pada apa yang bisa aku alami di dalam kehidupan yang lama”. Setelah dia mengikut Yesus, langsung dia membuat perayaan, di ayat 29 dikatakan Lewi mengadakan suatu perjamuan besar untuk Dia di rumahnya, dan tidak semua diundang, hanya Yesus, murid-murid dan teman-teman pemungut cukai. Ketika mereka berkumpul, Yesus tetap mau bergaul dan makan bersama. Bagi orang Yahudi makan bersama itu sakral, Saudara hanya boleh makan di dalam level yang sama. Dan juga di dalam budaya Yunani, mereka punya meja yang bentuknya seperti U dan cara duduk pun menentukan cara mereka menghargai makanan, tidak sembarangan. Maka ada bagian khusus untuk tuan rumah, tuan rumah, orang penting mesti duduk paling ujung di dekat garis, yang kurang penting di belakang, di sisinya adalah tamu biasa. Maka Saudara makan dengan siapa itu penting sekali. Orang penting jangan makan dengan orang tidak penting, dan yang paling penting orang suci tidak boleh gabung makan dengan orang hina. Yang lebih luar biasa penting orang Yahudi tidak boleh makan dengan orang kafir. Inilah yang orang-orang Farisi kira-kira katakan “mengapa Gurumu makan dengan pemungut cukai, orang berdosa ini. Mengapa Yesus makan dengan orang-orang seperti ini? Ini tidak benar”. Tetapi Yesus menjawab “bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Bukan orang benar yang perlu Aku, tetapi orang berdosa. Supaya mereka bertobat’. Maka Yesus sengaja turun ke dunia untuk ambil dunia naikan ke sorga. Tuhan turun ke dalam dunia untuk ambil orang berdosa supaya suci. Jadi inilah yang Kristus lakukan, Dia turun, Dia bergabung tetapi tidak terkontaminasi. Dia menarik bukan tertarik, konsep ini tidak dimengerti oleh orang Farisi. Orang Farisi cuma tahu “aku suci, ini dosa. Yang suci mesti menghindar yang berdosa mesti dijauhi, tidak ada kaitan. Karena kalau aku sentuh orang berdosa, aku terkontaminasi. Kalau aku dekat-dekat orang berdosa, aku tercemar. Ini semua mental bukan Kristen, ini mental Farisi. Kalau Saudara menghindarkan diri dari dunia, itu mental Farisi bukan mental Kristen. Kristen dengan berani mengatakan “saya beriman kepada Tuhan, saya mau menjangkau dunia, saya mau berinteraksi dengan dunia”. tapi jangan lupa Kristus berinteraksi dengan dunia, setelah itu Dia tarik dunia, bukan Dia yang ditarik oleh dunia. Jadi kalau Saudara tidak menawarkan alternatif hidup yang radikal berubah, berbeda, tidak mungkin menjadi berkat. Tuhan bergaul dengan pemungut cukai, Dia tidak jadi pemungut cukai, Dia tidak kemudian mendirikan rumah cukai di sebelahnya rumah Matius. Jadi Dia tidak takut bersentuhan dengan orang berdosa karena Dia tahu Dia akan tarik mereka keluar. Dan orang yang dipenuhi Roh Kudus, dipimpin Tuhan Yesus harus belajar punya kemampuan ini. Dekat dengan orang bukan untuk mengikut orang itu, tapi untuk mengatakan ‘ikutlah aku”. Yesus tidak pernah mengatakan “Lewi mau kemana? Ikut dong”, Dia mengatakan “ikutlah Aku, kamu yang ikut Aku”. Maka gereja harus punya identitas, karena tidak ada orang yang menghargai orang dengan identitas tidak jelas.

Biarlah kita belajar seperti Kristus yang turun ke dalam dunia, tapi kemudian tarik orang naik ke atas. Turun ke dalam ke dunia kemudian memberikan pengaruh yang menarik orang, lain dengan Farisi. Farisi takut bersentuhan dengan orang berdosa, akhirnya mereka tidak pernah menjadi berkat. Ini namanya spiritual elitis, orang spiritual elitis selalu merasa “kami lebih hebat, jangan dekat-dekat kami. Ini kelompok suci, itu kelompok hina”, itu gaya Farisi. Dan gaya Farisi tidak pernah menjadi berkat bagi siapa pun. Dan Saudara pun tidak boleh mengikuti gaya hidup Farisi dalam hidup Kristen. Biarlah kita meneladani orang Lewi dan juga meneladani Kristus. Meneladani Lewi di dalam berespon kepada Kristus dengan segera mengatakan ‘iya Tuhan, saya mau ikut”. Dan meneladani Kristus di dalam menjangkau orang lain yang belum mengenal kebenaran Tuhan. Kiranya Tuhan memimpin dan memberkati kita untuk punya hidup yang limpah di dalam Tuhan Yesus.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)