Inilah sebabnya dalam Injil Lukas 23 digambarkan keadaan seperti ini. Orang Israel sudah gagal melihat siapa Raja mereka. Mereka memandang kepada Kristus dan mereka melihat kepada orang yang akan menghambat rencana mereka, orang yang akan membuat kehidupan mereka tidak sebaik apa yang mereka mau, orang yang akan membuat apa yang mereka mau tidak terjadi karena kehadiranNya. Mereka menganggap Dia sebagai penghalang, mesti mati, mesti disingkirkan, mesti dibuang. Lalu bagaimana dengan orang-orang lain? Mereka cuma bisa jadi pengikut. Imam kepala mengatakan “kami mau Barabas”, yang lain mengatakan “ya, kami juga mau Barabas”. Barabas itu pembunuh, “biar dia pembunuh, tapi dia adalah orang yang tidak menghancurkan identitas Israel. Mengapa dia mesti disingkirkan? Dia kan membunuh demi memberontak kepada orang Roma, kalau pembunuh ini membunuh demi pemberontakan, demi kesuksesan kerajaan Israel, kami akan toleransi perbuatannya”. Di sini kita melihat relativisme moral yang jelas sekali, mana baik mana buruk? Tergantung. Mencuri itu baik atau buruk? Tergantung untuk apa, kalau saya mencuri dihukum atau tidak? Tergantung kamu partai apa. Kalau saya melakukan kejahatan akan dipenjara atau tidak? “Tergantung kamu berpihak kepada siapa. Kalau engkau berpihak kepada saya, engkau bebas hukum. Kalau engkau berpihak kepada kelompokku, engkau bebas dari jamahan semua alat negara untuk menghukum”, ini sudah ada dari dulu. Barabas pembunuh, tapi dia dianggap membunuh demi Israel, dia merampok demi memberontak. Tapi yang dirampok orang Israel juga, “yang dirampok adalah orang Israel yang tidak sejati, tidak apa-apa. Dia merampok demi Israel sejati”, ini menakutkan sekali. Relativisme moral, mana baik mana jahat tidak jelas lagi, mana benar mana salah tidak jelas lagi. Yang jadi jelas ada 4 hal, pertama yaitu amarah dan emosiku, itu membuat moral menjadi relatif. “Saya sudah sangat marah, maka saya teriak Yesus mesti mati”, Pilatus mengatakan “saya tidak menemukan kesalahan apa pun”, “salibkan dia”, “coba kita bicara dulu”, “tidak perlu bicara, kami mau Dia mati”, “kalau begitu Dia akan saya hukum dengan hukuman cambuk. Setelah dicambuk, saya akan bebaskan, karena saya juga harus bebaskan tahanan”, “tidak, bebaskan Barabas, jangan bebaskan Dia”, “tapi salah Dia apa?”, “Dia bersalah, hukum mati saja”, ini orang sudah emosi. Orang sudah emosi langsung merelatifkan moral, langsung merelatifkan sense benar dan salah. Hati-hati orang Kristen tidak bisa mengatakan dirinya aman dari hal ini. Saudara tahu mana benar mana salah, mana pantas mana tidak, tapi kalau emosi sudah menguasai, Saudara dibutakan oleh emosi yang mengatakan “yang saya mau harus jadi”, “tapi yang kamu minta tidak pantas”, “pokoknya kami sudah marah. Moral jadi relatif karena emosi sudah membakar. Jadi emosi lalu Saudara mulai meremehkan semua peraturan dan kepantasan. Karena Tuhan tidak kenal alasan amarah selain amarah suci dari Tuhan sendiri. Saudara marah karena Tuhan marah, itu baik. Tapi kalau Saudara marah, Tuhan tidak akan jadikan itu alasan untuk mengurangi hukuman. “Kalau saya sudah marah, benar dan salah tidak penting lagi”, dan ini kesalahan pertama yang Lukas bukakan. Lihat mereka cuma tahu teriak-teriak, marah-marah, menyatakan emosi, “orang ini harus mati”. Tapi apa salahnya? Salah atau tidak itu tidak penting, yang penting saya sudah emosi.