(Lukas 7: 11-17)
Bagian ini melanjutkan bagian yang penting tentang Kristus yang melayani dengan cara yang mirip dengan cara Elisa melayani. Maka yang dikerjakan Yesus di pasal 7 sangat mencerminkan yang dikerjakan oleh Elisa. Dan itu sebabnya tanpa melihat apa yang penting dalam pelayanan Elisa bagi Israel, kita akan sulit memahami apa yang dimaksudkan Lukas dalam pasal 7: 1-17. Jadi kita harus melihat kembali apa yang Tuhan kerjakan bagi Israel melalui Elisa. Kita sudah bahas dalam 2 minggu lalu Elisa melanjutkan pelayanan Elia tapi dalam cara yang lebih kecil, Elia menyatakan tanda bagi seluruh bangsa, sedangkan Elisa mengerjakan mujizat dengan penuh belas kasihan bagi kaum yang terpinggirkan. Elia kerja dengan memberikan peringatan kepada banyak orang sekaligus raja Israel pada waktu itu, Elisa memberikan tanda tidak lagi secara besar kepada seluruh orang dan tidak lagi secara besar kepada raja di hadapan seluruh bangsa, tetapi melakukannya dengan cara tersembunyi bagi kaum pilihan Tuhan yang minoritas. Itu sebabnya Tuhan mengatakan kepada Elia “meskipun seluruh bangsa ini mau membunuh kamu, raja dan istrinya tidak mau sembah Tuhan, tapi Aku masih sisakan 7.000 orang yang mulutnya tidak pernah sembah baal. 7.000 Orang dibandingkan seluruh rakyat di Israel Utara, itu adalah perbedaan yang terlalu jauh, 7.000 terlalu kecil jika dibandingkan dengan seluruh bangsa, tapi Tuhan mengatakan “7.000 akan Aku sisakan”, inilah 7.000 yang akhirnya mendapatkan kesempatan terus dipelihara oleh Tuhan imannya, dan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang dilayani langsung oleh Elisa. Jadi Elisa mempunyai mujizat yang 2x lipat Elia, tapi mempunyai pengaruh yang tidak lagi besar seperti Elia di dalam pameran mujizatnya, tapi yang hanya menyentuh orang pinggiran, orang-orang kecil, orang-orang yang disebut sebagai kaum remnant atau sisa ini. Lalu Elia dan Elisa juga mengerjakan hal yang sangat luar biasa, baik Elia maupun Elisa membangkitkan orang mati. Dan yang dikerjakan Yesus di sini mesti kita lihat dalam pengertian yang bisa kita lihat waktu Elia dan Elisa membangkitkan orang mati. Elia dan Elisa mengerjakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya, orang mati dibangkitkan oleh doa dan pelayanan seorang nabi, itu adalah sesuatu yang baru.

Dalam pelayanannya, Elia ditolong oleh seorang janda, dia bisa tinggal di sini, diselamatkan oleh Tuhan dari murka orang Israel dan dia tetap terpelihara dari kekeringan. Lalu setelah itu anak janda itu mati, Elia begitu sedih karena janda ini sudah menolong dia. Kemudian dia berdoa “Tuhan, masakan Engkau mau timpakan kesulitan ini kepada janda ini? Tolong bangkitkan anak ini”, dengan permohonan yang begitu sangat akhirnya Tuhan dengarkan, dan anak itu bangun kembali. Alkitab mengatakan dia memakai tanda-tanda seperti bersin, setelah bersin anak ini bangkit kembali. Dan pekerjaan ini dilakukan kembali oleh Elisa. Itu sebabnya pelayanan Elia diadopsi oleh Elisa. Dan yang dikerjakan oleh Elisa tidak kalah dari yang dikerjakan oleh Elia. Elia membangkitkan anak seorang janda, Elisa pun bangkitkan anak dari pasangan suami istri yang belum punya anak. Pasangan suami istri ini sering ajak Elisa menumpang di rumah mereka, akhirnya istrinya usul untuk membuat ruangan khusus bagi Elisa, jadi mereka tidak perlu ajak-ajak lagi, pokoknya kapan pun dia datang, sudah ada tempat khusus untuk dia. Maka mereka membuatkan tempat dan Elisa tinggal di situ. Lalu Elisa bertanya “ibu, kamu baik sekali, mau minta apa?”, ibu itu mengatakan “saya belum punya anak, apakah mungkin kalau saya mempunyai seorang anak?”, Elisa mengatakan “tahun depan engkau akan menggendong seorang anak”. Nabi ini beriman sekali, dia tidak mengatakan “tunggu ya saya mau berdoa dulu”, tapi langsung mengatakan “tahun depan, Tuhan sudah ijinkan kamu mempunyai seorang anak”. Akhirnya ibu itu mempunyai seorang anak, tetapi ketika bertahun-tahun anak itu bertumbuh, mendadak sakit kepala lalu mati. Ibu ini sedih sekali, dan Elisa kaget mendengar berita ini. Ibu itu datang kepada Elisa dan mengatakan “tuan, mengapa beri sesuatu lalu ambil lagi? Mengapa berikan pengharapan lalu diambil kembali?”, di sini ada tangisan yang begitu sedih baik dalam pelayanan Elisa maupun Elia dari seorang ibu yang kehilangan anaknya. Saya membaca buku dari Nicholas Wolterstroff, waktu anaknya meninggal, dia menulis dengan sangat-sangat penuh kesedihan. Dia mengatakan tidak ada orang tua yang harus mengubur anaknya, seharusnya anaknya yang mengubur orang tua. “Harusnya anakku yang tutup mataku dan tutup petiku, bukan aku yang tutup mata anakku dan tutup petinya”, anaknya baru berumur 20an tahun dan meninggal karena kecelakaan ketika hiking. Ini membuat dia sedih dan mengatakan “saya mendapatkan 2 hal, yang pertama saya tidak tahu kalau saya bisa merasakan sedih dan goncang seperti ini. Saya tahu kalau kehilangan anak saya, saya pasti hancur, tapi baru tahu kalau kehancuran yang akan saya alami sekuat ini”, lalu dia mengatakan hal yang kedua “tapi saya baru tahu kalau ternyata Tuhan bisa memberikan penghiburan dan topangan dalam cara yang saya tidak mengerti. Dua hal ini saya tidak mengerti kecuali saya alami sendiri”.

Kematian merupakan sesuatu yang sangat menyedihkan, dan ini merupakan efek dosa. Jangan pikir kematian sebagai sesuatu yang menakutkan karena kita sendiri hadapi, itu memang menakutkan. Tapi hal yang lebih merusak dari kematian adalah kematian memastikan relasi yang tadinya harus begitu baik menjadi begitu rusak. Waktu manusia jatuh dalam dosa, relasi dengan Tuhan langsung rusak. Tuhan mengatakan “pada hari kamu memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, pastilah kamu mati”. Jadi kata ini menggambarkan bahwa kematian akan menjadi jembatan yang tidak bisa diseberangi untuk mengganggu relasi antara Tuhan dan manusia. Setelah manusia jatuh dalam dosa, relasi Tuhan dengan manusia menjadi rusak, dan kematian menjadi puncaknya. Relasi antara manusia rusak, dan kematian menjadi pemisah kekal di dalam keadaan tidak ada keselamatan. Itu sebabnya kematian menjadi suatu yang sangat mengerikan karena ini adalah antitesis dari relasi yang harusnya terjalin dengan begitu baik. Tuhan mau ada relasi antara manusia dan Tuhan, tapi dirusak oleh kematian. Tuhan mau ada relasi antar manusia, juga dirusak oleh kematian. Ini cara kedua untuk melihat kematian. Jadi hari ini kita belajar menyoroti kematian dari sisi orang yang ditinggalkan bukan dari sisi orang yang mati, baik janda yang ditolong oleh Elia maupun ibu dan suaminya yang ditolong oleh Elisa, dua-duanya mendapatkan pertolongan anaknya bangkit bukan demi anak tapi demi mereka yang kehilangan. Maka ini perspektif yang harus kita tarik mundur waktu kita kembali membahas Taman Eden. Tuhan mengatakan “pasti mati”, ini bukan berarti Tuhan membenci Adam lalu hajar Adam sampai dia mati karena bencinya. Tapi Tuhan memberikan peringatan, ketika engkau melanggar, Tuhan tidak mungkin mempertahankan relasi dekat yang awal, tapi Tuhan akan menjauh. Dan ini akan membuat kematian menjadi pemisah kekal antara Tuhan dan Adam selama Adam masih hidup di dunia ini. Dan kalau dia tidak diperdamaikan dengan Tuhan, kematiannya akan menjadi seruan pernyataan final bahwa dia dan Tuhan terpisah selamanya. Relasi kita dengan Tuhan akan hancur selamanya kalau selama hidup kita tidak kembali kepada Tuhan, sampai kita mati setelah itu selesai. Tidak ada kesempatan karena kematian memberikan satu materai, satu segel tentang keadaan kita di dalam kekekalan. Apakah kembali relasi dengan Tuhan atau akhirnya menjadi jauh, jatuh dan selama-lamanya terhilang dari Tuhan? Inilah hal yang harus kita ingat, ada kematian yang menjadi seruan final tentang dimana status kita di hadapan Tuhan. Itu sebabnya jangan main-main dengan hidup, harus pikir dengan baik-baik “apa yang mau saya imani di sini, apa yang mau saya yakini disini, harus punya satu keteguhan untuk memastikan relasiku dengan Tuhan berjalan dengan sangat baik”. Bagaimana relasi dengan Tuhan bisa dipelihara? Alkitab mengatakan kalau kita di dalam Kristus. Mengapa di dalam Kristus? Karena hanya Dialah yang dikasihi oleh Bapa. Saudara mau dikasihi oleh Bapa, Alkitab mengatakan Kristuslah yang paling dikasihi. Tuhan mengatakan “engkau menjadi satu dengan AnakKu, supaya kasih yang Aku berikan kepada AnakKu itu juga kasih yang akan Aku berikan kepada engkau”. Jadi kematian akan memastikan relasi kita dengan Tuhan apakah kekal terpisah selamanya atau berada dalam Dia dan kasihNya sampai selama-lamanya. Maka inilah yang harus kita takuti dari kematian. Kematian yang menjadi tanda rusaknya relasi, tanda terputusnya relasi sampai seterusnya dengan Tuhan.

Kita tidak kasihan kepada yang mati, apalagi kalau dia mati di dalam Tuhan. Dia mati di luar Tuhan, kita mengatakan “apa boleh buat, sudah lewat, mau gimana? Waktu masih hidup tidak mau dengar, sekarang sudah mati tidak ada kesempatan”. Tapi orang yang masih hidup, inilah yang perlu belas kasihan kita, perlu support, maka kita datang, kita tidak berdiri di depan peti lalu mendoakan “Tuhan, lapangkanlah jalan arwah ini ke sorga karena jalan ke sorga itu penuh dengan liku-liku, ada terowongan yang diujungnya ada cahaya dan seringkali cahaya itu membuat silau, jadi tolong Tuhan berikan kaca mata kepada rohnya sehingga waktu dia jalan cari sorga, dia tidak disilaukan oleh cahaya sorgawi tapi bisa masuk dengan tepat”, tidak perlu doakan dia, dia sudah lewat kesempatannya. Kalau dia sudah di dalam Kristus, berbahagialah, kalau tidak, apa boleh buat. Tapi yang masih hidup, ini yang menjadi concern.

Kembali dalam bacaan kita, biasanya akan ada peratap lalu mereka akan menangis, sehingga rombongan ini menjadi rombongan yang riuh dengan tangisan, sehingga ketika anak muda yang mati ini dibawa, ributnya pasti bukan main. Jadi 2 kelompok, kelompok yang ribut karena tangisan bertemu dengan kelompok yang penuh dengan sorak-sorai karena ada Kristus. Waktu 2 kelompok ini bertemu, Tuhan Yesus tergerak dengan tangisan si janda, Dia tidak tergerak dengan tangisan orang lain yang pura-pura, meskipun tangisan mereka lebih keras. Biasanya orang yang pura-pura nangisnya luar biasa, tapi Tuhan tidak peduli tangisan itu, yang Dia lihat adalah si janda yang mungkin dengan kekuatan yang sudah habis terus teteskan air mata. Yesus dekati janda itu kemudian katakan “jangan menangis”. Ini kita liht begitu miripnya dengan yang dikerjakan Elia dan Elisa, kasihan kepada janda, bukan kasihan kepada anak. Dia tidak datang ke anak itu dan mengatakan “masih muda, kasihan kamu ya”, tidak perlu seperti itu, orang yang sudah mati tidak perlu dikasihani lagi karena final, waktunya sudah habis. Maka Tuhan mendekati ibunya, bukan mendekati anaknya untuk menghibur. Kita datang ke kedukaan untuk menghibur orang-orang yang kehilangan. Ini perspektif hari ini. Tuhan menghibur ibu dari anak ini lalu mendekati usungan, kemudian sentuh. Tindakan ini benar-benar melawan Taurat, karena di dalam Taurat dikatakan “jangan sentuh apa yang pernah kena mayat dan jangan sentuh mayat. Waktu kamu menyentuh mayat, kamu najis sampai matahari terbenam. Dan setelah itu kamu mencuci dirimu, baru besoknya kamu dinyatakan tahir lagi”. Maka dikatakan dalam Taurat “jangan sentuh mayat, kalau kamu sentuh mayat kamu akan najis”. Itu sebabnya orang Farisi kalau lihat iring-iringan seperti ini mereka akan menjauh, mereka berasumsi semua orang yang sedang berduka mungkin sudah sentuh mayat, kalau dia sudah sentuh mayat berarti dia cemar, dan kalau dia cemar dan orang Farisi sentuh dia, orang Farisi ikutan cemar, dan kalau mereka cemar, mereka masuk sorga, sorga jadi cemar, itu sebabnya mereka berpikiran tidak mungkin masuk sorga karena itu mereka tidak mau sentuh orang mati. Jadi mereka semua minggir, kalau mereka tidak ada kaitan apa-apa, tidak ikut dukacita, mereka minggir, tapi Yesus sengaja mendekat.

Mereka menjauhi, Yesus sengaja sentuh. Apa ini maksudnya? Apakah Tuhan Yesus sengaja memprovokasi, sudah tidak sabar untuk disalib maka Dia lawan semua supaya orang salibkan Dia? Bukan, Dia sedang mengatakan Dialah yang mengatasi segala kutuk yang mengakibatkan maut. Dia mengatasi segala kutuk, Dia sentuh, bukan Dia yang cemar, tapi yang disentuh oleh Dia yang menjadi suci. Lain dengan kita, kita menyentuh, mungkin kita yang terpengaruh, Kristus menyentuh, kesucianNya akan ditularkan kepada yang cemar. Maka apa yang disentuh oleh Kristus itu yang akan menjadi baik dan Tuhan mengatakan kepada anak muda ini “hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah”, ini memerintahkan orang mati untuk hidup kembali, apakah mudah? Tapi Tuhan Yesus mengatakan “hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah”. Maka anak muda ini bangkit dan Yesus mengembalikan anak muda ini kepada ibunya. Concern Tuhan Yesus sekali lagi bukan kepada yang mati ini tapi sang ibu. Maka yang Dia kerjakanlah adalah waktu Dia mati, Dia membuat kematian kita tidak menjadi halangan bagi kita untuk berelasi dengan Tuhan. Relasi kita dengan Tuhan dipulihkan sama seperti relasi ibu ini dengan anaknya. Itu sebabnya Kristus datang ke dalam dunia supaya relasi menjadi pulih, supaya kita tidak perlu melihat kematian sebagai pemisah final antara aku dan sesamaku dan antara aku dengan Tuhanku. Jangan pikir kalau di neraka ada relasi, relasi itu hak istimewa sorga. Sorga, relasi, kasih, Allah, kekudusan dan cinta semua bergabung dalam satu sisi. Sedangkan di neraka tidak ada kenikmatan relasi seperti ini. Itu sebabnya kematian memastikan saya tidak mungkin berelasi dengan mereka yang belum berada di dalam Kristus, dan mereka yang di dalam Kristus tidak mungkin berelasi dengan mereka yang di luar, dan mereka yang di luar Kristus tidak mungkin berelasi dengan Allah Bapa di sorga. Itu sebabnya Kristus harus datang, itu sebabnya Dia harus mati. Kalau tidak perlu mati maka mengapa Dia mesti mati? Tapi karena ini satu-satunya cara maka cara ini yang Dia tempuh untuk membuat kematian tidak lagi menjadi pengganggu final untuk relasi manusia. Maka Kristus membangkitkan anak muda sebagai satu tanda bahwa Dia akan mengerjakan yang lebih genap di dalam kematianNya di atas kayu salib. Dan kematian di atas kayu salib inilah yang membuat manusia tidak lagi perlu mencari di mana ada pengharpaan saya dipulihkan dengan Tuhan?”. Kematian Kristus akan membuat semuanya beres. Itu sebabnya ketika kita kehilangan orang yang kita kasihi di dalam Tuhan, kita mengatakan “kematian Kristus sudah memastikan kematian ini tidak akan memisahkan saya”. Paulus mengatakan di dalam Tesalonika “hiburkanlah satu dengan yang lain”, dengan kalimat seperti ini “engkau harus menghibur saudaramu yang sedang berduka karena kehilangan orang yang juga sudah percaya Kristus, dengan mengatakan “relasimu dengan Dia tidak akan habis oleh karena kematianNya. Sebab kematian Kristus sudah memastikan kematian ini akan membuat relasimu akan menjadi habis. Maka kita bisa bersuka cita, Saudara mengenal saya, saya mengenal Saudara, Saudara mengasihi saya, relasi kasih ini tidak akan habis kalau salah satu dari kita meninggal duluan. Kematian Kristus memastikan relasi kita tidak berhenti sampai kematian. Itu sebabnya meskipun pernikahan mengatakan “sampai kematian memisahkan”, tetapi perjamuan Anak Domba mengatakan “kematian memisahkan tetapi pernikahan sejati tetap akan terjadi di dalam relasi dengan Kristus dalam cinta kasih dari Allah Bapa”. Jadi sukacita yang lebih kecil diganti dengan sukacita yang lebih besar, inilah yang kita harapkan. Bagaimana ini terjadi? Hanya ketika Kristus datang dan menyerahkan diriNya. Inilah perspektif yang indah, Tuhan menebus kita bukan karena kasihan kitanya akan mati, tapi karena kasihan kitanya tidak punya relasi dengan Tuhan, kita tidak punya relasi satu dengan yang lain. Satu hal yang dunia ini sadari, manusia perlu relasi. Manusia perlu ada orang yang dia kasihi dan mengasihi dia. Tanpa ini dia mengatakan “lebih baik saya mati dari hidup”. Jadi kematian bukan dari dalam kematian itu sendiri yang membuat sengsara, kematian membuat sengsara, menurut orang abad pertengahan karena kematian membuat kita menghadap murka dan penghakiman Tuhan. Dan pada hari ini kita mengingat kematian membuat relasi yang harusnya terbina di dalam kasih menjadi hancur dan tidak bisa dilanjutkan karena terputus oleh kematian. Tapi Kristus datang membuat keindahakn relasi kasih bertahan sampai selama-lamanya, baik dari Tuhan kepada manusia, maupun dari satu orang percaya kepada orang lain. Kiranya ini boleh menguatkan kita untuk makin mengenal siapa Kristus, makin mengasihi Dia dan makin mengagumi karya penebusanNya yang memastikan bahwa kasih, relasi dan belas kasihan terus dipertahankan dan relasi kita dengan Tuhan terjamin oleh darahNya.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)