Himne yang dipakai di dalam Gereja Reformed Injili Indonesia banyak diambil dari buku kidung pujian, seperti buku Kidung Jemaat (GKI), Kidung Puji-Pujian Kristen (Gereja-gereja Tionghoa), Kidung pujian reformed injili (KPRI), buku pujian Perkantas, dan masih banyak lagi. Buku pujian yang berisi kompilasi himne yang agung ini muncul dari tradisi gerakan reformasi dan mulai berkembang setelah Calvin dan Luther melihat pentingnya bernyanyi berjemaat (congregational singing). Lalu seiring dengan inovasi Gutenberg yang menciptakan mesin cetaknya, gereja mulai banyak mempublikasikan literatur Kristen, baik dari Alkitab, buku filsafat, hingga buku-buku lagu pujian Kristen.
Namun kita harus mengamati sejarah dan latar belakang pemilihan lagu yang tercantum dalam buku-buku pujian ini, karena harus dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh, baik dalam sisi teologis dan juga sisi estetika keindahan musik tersebut. Mengingat bahwa himne-himne ini terciptakan oleh gerakan atau denominasi yang berbeda-beda. Seperti Lutheran (Paul gerthard, Phillp Nicolai), Calvinist (Louis Borgoueise), Methodist (Charles Wesley, Fanny Crosby), Baptis (Gloria Gaither), bahkan di dalam Gerakan Reformed Injili (Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Billy Kristanto). Perbedaan denominasi dan teologis mempengaruhi dimasukannya beberapa lagu tertentu ke dalam buku-buku pujian.
Lalu bagaimanakah lagu ini? Kita baca kata-kata aslinya dalam bahasa Inggris yang berkata, ”Pass me not, O Gentle Saviour, Hear my humble cry, While on others Thou art calling, Do not pass me by. Bukankah bagi orang Reformed lagu ini berkesan kurang ‘TULIP’? Bukankah lagu ini berkesan kita yang tidak terpanggil dan dipilih Tuhan (While on others Thou art calling), memohon agar Tuhan bisa mendengar panggilan kita (Do not pass me by)? Jika demikian mengapa lagu ini ada di dalam hampir semua buku pujian Kristen?
Fanny Crosby terinspirasikan menuliskan lagu ini ketika ia sedang melakukan PI bersama rekan-rekannya kepada para narapidana di salah satu penjara. Satu sel demi satu sel Fanny layani dengan pemberitaan Injil dan menyanyikan lagu pujian. Namun karena waktu besuk terbatas dan tidak semua sel dapat dilayani, Fanny Crosby harus menyudahi pelayanannya dan mereka dipersilakan oleh sipir menuju pintu keluar. Tetapi karena banyak yang belum terlayani, Fanny Crosby pun dengan berat hati segera bergegas. Namun tiba-tiba dari sebuah sel yang belum dilayani, terdengar suara yang begitu pilu berkata, “Tolong, jangan engkau lalui aku.”. Fanny Crosby menulis dalam surat-suratnya bahwa ketika ia menulis himne ini, suara pilu dari satu sel itu terngiang di dalam pikirannya, sama seperti suara dua orang buta meraung-raung mencari Yesus (Matius 20:29-31). Teringat besar kasih Tuhan Yesus yang akan mendengarkan suara orang yang mencariNya, lalu terciptalah himne ini.
Sebagai orang reformed yang mengerti kedaulatan Tuhan, mudah sekali untuk kita menghakimi himne ini secara teologis kurang tepat, tetapi bukankah faktanya kita telah berdosa dan tidak layak lagi bersama dengan Tuhan, malah justru SEHARUSNYA Tuhan lewati? Bukankah harusnya kita bernyanyi demikian? Pujian ini secara universal menaruh posisi kita sebagai orang yang memohon kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan berkat-Nya kepada kita.
Himne yang agung mendorong jemaat kembali kepada Firman dan memposisikan kebenaran Firman Tuhan dalam liriknya di posisi utama, secara bersamaan menyatukan para penyanyinya secara universal, baik dari denominasi dan latar belakang teologis manapun. Hingga kini hampir semua buku pujian selalu mencantumkan himne ini di dalamnya.