Allah di Pihak Kita

Di dalam Perjanjian Lama ada satu hal yang menjadi pergumulan orang Israel ketika mereka dibuang ke Babel, pergumulan apakah Tuhan berkenan atas mereka atau tidak. Apakah Tuhan mencintai mereka atau tidak. Ini bukan urusan satu orang di hadapan Tuhan, ini adalah urusan seluruh umat. Di dalam pengertian orang-orang Perjanjian Lama, menjadi bahagia itu tidak bisa dilakukan sendiri. Hanya orang kacau pikirannya dan gangguan pada kesehatan jiwanya yang akan berpikir dia bisa senang sendiri. Saudara tidak mungkin bersukacita di saat orang lain mengalami dukacita. Kalau Saudara berada di dalam keluarga, Saudara tidak mungkin bersukacita sendiri. Sukacita adalah tema komunal. Tidak ada orang bisa bersukacita kecuali di dalam kelompok yang bersukacita. Kalau orang gila bisa tertawa sendiri dan orang berpikir dia orang gila, tidak ada alasan untuk tertawa, tidak ada orang lain yang tertawa, tapi dia tertawa sendiri. Sukacita itu adalah tindakan komunal, tertawa juga tindakan komunal. Misalnya ada orang mengatakan “aku menerima sukacita dari Tuhan, hidupku penuh dengan sukacita”, orang akan tanya “kamu bersukacita bersama siapa? Kalau tidak ada berarti kamu gila”, orang bersukacita di dalam komunitas. Jika Israel sedang dibuang ke Babel dan keadaan mereka buruk, tidak ada Bait Suci, imam, raja, mereka ditaklukan oleh Babel, maka mustahil ada sukacita. Kalau ada orang mengatakan “aku orang Yahudi, satu-satunya sedang mengalami sukacita karena mendapatkan gaji tambahan”, satu orang di tengah komunitas yang berduka, tidak mungkin. Dia tidak mungkin bisa bersukacita, dia mengatakan “karena aku sukses sendiri, tapi kelompok Israel sedang berada dalam bahaya, saya menolak untuk bersukacita”. Di dalam Kitab Yesaya 24 dikatakan ketika Tuhan membuang Israel, pada waktu itu pengantin pun akan sungkan bersukacita. Dikatakan pesta pernikahan akan penuh dengan tangis dan ratap, bukan sukacita. Orang yang menikah dengan sedih akan datang dan mengatakan “di dalam kondisi seperti ini, kami mau membentuk keluarga, kami tidak akan mengalami kesenangan. Sebelum Tuhan memulihkan Israel, tidak ada kesenangan yang kami bisa nikmati”, harap ini menjadi bagian dalam perenungan kita. Di dalam zaman kita sekarang, orang-orang sangat egois, mereka berpikir “kalau satu orang mengalami kesenangan sendiri, itu cukup. Saya dapat uang, saya hidup senang-senang sendiri, tidak perlu ada orang lain, itu cukup”. Zaman modern ini zaman yang aneh, ini zaman yang berani berpikir pernikahan itu merugikan karena harus berbagi hidup dengan orang lain. Orang kalau merasa kehadiran orang lain itu merepotkan, sulit bagi orang ini bersukacita. Tidak tahukah Saudara kalau keadaan zaman ini yang penuh dengan kondisi yang menyebabkan depresi? Ternyata salah satu sumbangsih depresi adalah ketersendirian, minimnya komunitas dan komunikasi, orang yang menutup diri, tidak mau punya teman, sangat mungkin tertekan. Kalau Saudara mengatakan “berelasi itu menyebalkan, repot sekali berelasi dengan orang”. Jauh lebih repot kalau Saudara hidup sendiri, karena Tuhan tidak mendesain manusia untuk hidup sendirian. Tidak ada sukacita yang bukan komunal. Maka ketika Israel dibuang, seluruh bangsa meratap, tidak ada lagi yang mengatakan “ayo kita pesta”. Hanya orang yang rohaninya kacau, tidak peduli Tuhan, itu yang akan senang, yang lainnya tidak mengalami kesenangan. Di dalam Kitab Daniel, Saudara tidak melihat Daniel membuat pesta karena diangkat menjadi orang nomor 2 di Babel. “Daniel diangkat menjadi orang nomor 2, puji Tuhan, mari kita membuat perayaan”, tidak, mereka mengatakan “dikala umat Tuhan dibuang, kami akan bersedih, bersama dengan seluruh umat yang lain”. Setiap orang Israel yang saleh ketika dibuang, mereka mengharapkan pemulihan, bukan mengharapkan diri jadi baik. Mereka harapkan Tuhan segera pulihkan, “kembalikan kami ke Tanah Perjanjian, bangkitkan kembali Bait Suci, naikkan kembali keturunan Daud di takhtaMu ya Tuhan, baru kami bisa bersukacita”. Sebelum Tuhan menyatakan pemulihan itu, tidak ada sukacita di dalam. Keadaannya kelam dan keadaannya penuh dengan pergumulan. Lalu apa yang mereka harapkan? Cuma satu hal utama, mereka ingin Tuhan sendiri menyatakan “ini adalah umat yang Kukasihi”. Kita tidak mengerti hal ini, kita tidak mengerti berapa besarnya bagi Israel untuk mendapatkan perkenanan Tuhan. Orang Israel ingin ini lebih dari apa pun. Kalau mereka ditanya, tentu saja yang saleh bukan yang kafir, “apa yang kamu inginkan, apa yang paling kamu harapkan dari Tuhan?”, mereka akan mengatakan “yang kami harapkan Tuhan sendiri hadir dan mengatakan ke seluruh dunia kami adalah umat Tuhan, Dia mencintai kami, dan hidup kami diperkenan Dia”. Ini sesuatu yang Israel miliki. Tidak peduli Babel mau perkenan, mereka jadi kaya, apa pun yang terjadi pada mereka, yang mereka tanya adalah satu hal, “Tuhan, akankah engkau menyatakan kembali kasihMu dan menerima serta memperkenan kembali kami?”. Ini kerinduan mereka. Dan Tuhan berfirman di dalam kitab nabi-nabi “ini akan terjadi”. Bayangkan berapa besar sukacita orang membaca Kitab Yeremia, ketika Tuhan mengatakan “Aku akan mencintai engkau kembali. Aku akan pamerkan engkau, lalu seluruh bangsa akan melihat salehnya engkau karena di dalam hatimu engkau sudah punya kemampuan untuk cinta Tuhan dan menyenangkan Tuhan”, bayangkan berapa indahnya kalimat ini. Israel berharap dan nabi-nabi mengatakan ini akan terjadi, kamu ingin dicintai oleh Tuhan? Tuhan akan kembali mencintaimu. Kamu ingin diperkenan lagi oleh Tuhan? Itu akan terjadi. Maka penghiburan akhirnya diperoleh lewat kitab para nabi.

Tapi yang menjadi pertanyaan, kalau Tuhan baru akan lakukan nanti, di generasi akhir zaman, bagaimana dengan generasi sebelumnya? Bagaimana dengan Yesaya, Yeremia, Daniel, orang-orang saleh yang hidup di dalam zaman sebelum Tuhan menyatakan bahwa Israel diperkenan oleh Tuhan, bagaimana dengan mereka? Ini yang ditanyakan oleh mereka, sulit mendapatkan jawaban. Abraham dapat janji Tuhan, tapi janji Tuhan itu tidak dia lihat terjadi, dia sudah mati terlebih dahulu. Maka di dalam Perjanjian Lama kita temukan janji Tuhan yang begitu indah ternyata lebih jauh dari hidup manusia. Waktu hidup kita terlalu singkat dan janji Tuhan baru akan terjadi di akhir ini, ini yang menjadi pergumulan di Perjanjian Lama. Kalau begitu apa nikmatnya menjadi orang saleh sebelum zaman akhir? Karena sebelum janji Tuhan digenapi, mereka sudah mati. Bayangkan berapa sedihnya hati Daniel ketika menghitung “ternyata waktu 70 tahun Tuhan membuang kami sudah selesai. Kami sudah akan dipulihkan”. Tapi tiba-tiba Tuhan memerintahkan malaikat Gabriel datang dengan pesan yang berat sekali, Tuhan mengatakan “Engkau akan dikumpulkan bersama dengan nenek moyangmu”, Daniel akan mati. Berati Daniel tidak akan melihat Tuhan memulihkan Israel. Jadi pertanyaannya adalah kalau Tuhan memang akan pulihkan, bagaimana dengan orang yang sudah mati sebelum pemulihan itu terjadi? Mungkin kita tidak terlalu nyambung dengan pengharapan ini karena pikiran kita terlalu banyak dikacaukan oleh kondisi zaman kita yang menginginkan hal-hal remeh dan membuat kita terlatih mengharapkan hal-hal remeh. Banyak orang tidak mengerti apa itu hidup yang agung, cuma tahu apa itu hidup yang senang. Senang sudah menggantikan agung, kenikmatan sementara sudah menggantikan sukacita sejati. Zaman kita adalah zaman dimana segala hal yang indah menjadi manusia dikurangi, direduce, dijadikan sampah dan kita terbiasa menyenangi hal-hal yang dangkal. Tapi Kitab Suci mengarahkan kita kembali untuk punya pengharapan yang paling utama, apa kebutuhan utama menjadi manusia? Silahkan cari jawaban apa pun yang dunia tawarkan, tidak akan ada yang menjawab seakurat Alkitab. Hal yang paling kita perlukan sebagai manusia adalah diperkenan oleh Allah kita. Ketika Allah akhirnya mengatakan “Aku memperkenan hidupmu, engkau adalah umat yang Aku kasihi”, itu yang paling kita perlukan. Orang dunia tidak akan mendengarkan ini, Saudara bicara dengan orang dunia, Saudara akan stress sendiri. Karena Saudara bicara dengan mereka, mereka tidak ingin apa pun yang dalam, mereka cuma ingin hal yang dangkal, mereka cuma ingin seks, uang, jabatan. Penerimaan sejati bukan jabatan, ketenangan dipelihara oleh Tuhan tidak identik dengan uang, cinta kasih tidak identik dengan seks. Sekarang banyak anak muda cuma tahu jatuh cinta lampiaskan hawa nafsu, kalau punya pacar disetubuhi, kalau dekat dengan orang raba dia, itu tindakan gila yang membuat kita terus semakin dangkal kemanusiaannya, hati-hati. Kerohanian sejati di Kitab Suci identik dengan kemanusiaan, ini bukan hal yang terpisah. Orang yang spiritualitasnya terdalam adalah orang yang kemanusiaannya dimunculkan. You are not an animal, jangan cari hal yang mengurangi kemanusiaanmu membuat engkau mirip binatang. Engkau adalah manusia, cari hal yang akan memunculkan kemanusiaanmu. Maka Israel dilatih Tuhan untuk mencari hal paling utama yaitu diperkenan oleh Allah. Tapi pertanyaan tadi masih dilemparkan “Kalau Tuhan memperkenan kami, Israel, nanti belum sekarang, lalu bagaimana dengan kami yang hidup sekarang?”. Satu hal yang Alkitab nyatakan di Perjanjian Baru, yang menjadi perbedaan adalah kebangkitan. Mengapa kita mesti berharap kepada kebangkitan? Karena kebangkitan memastikan orang yang hidup di zaman lampau akan menikmati keadaan final. Zaman akhir akan ditutup oleh keadaan final, dimana semua orang saleh dibangkitkan lalu berbagian menjadi satu umat yang sempurna. Maka kebangkitan itu ada tempatnya di dalam kisah Alkitab. Kalau Saudara mempunyai iman yang dangkal, lalu meremehkan semua pesan Alkitab, saya ingin memberi tahu, engkau akan hidup dengan kosong terus. Jangan mau hidup kosong, saya sudah muak dengan hidup kosong zaman dulu. Saya terus mencari hal-hal yang menyenangkan, tapi tidak mendapatkan apa-apa, hidupnya benar-benar kosong. Kalau Saudara tanya “pak, apakah bapak ingin kembali ke masa muda bapak sebelum mengenal Tuhan?”, sama sekali tidak. Karena saya tidak mengerti nikmatnya hidup seperti sekarang. Dulu saya tidak tahu apa enaknya hidup, saya pikir saya bisa menikmati hidup dengan banyak sekali hal yang saya kejar. Kalau saya boleh beberkan semua hal yang pernah saya lakukan, saya akan sharingkan pernah melakukan banyak hal yang membuat saya malu untuk mencari kenikmatan hidup yang semua orang juga cari. Kalau ada orang mengatakan “pak, saya menikmati hidup, saya tidak mau jadi Kristen”, saya mau tanya “apa yang kamu nikmati? Hal apa, tidak rahasia untuk saya, saya tahu apa yang kamu cari, saya alami semua kesenangan yang kamu pikir menyenangkan. Saya di situ”. Saya tidak sembunyikan hal-hal memalukan karena saya tahu semakin menyatakan kejujuran, semakin Saudara mengerti Tuhan penuh cinta kasih mau mengampuni saya. Kalau Tuhan tidak mencintai saya, orang seperti saya tidak mungkin selamat, sangat tidak mungkin. Tapi saya jadi mengerti, semua hal yang semua orang bilang menyenangkan itu sampah. Saya tidak mengatakan begini “Tuhan, saya bersyukur sekarang hidup suci. Kalau ingat hidup dulu, memang nikmat, tapi nanti masuk neraka, untung saya tidak disitu”, saya tidak merasakan itu. Yang saya rasa adalah apa yang saya cari dulu adalah kebodohan, andaikan dulu saya mengerti apa yang saya mengerti sekarang, saya tidak akan jalani hidup seperti itu. Saudara tidak perlu mengancam saya dengan mengatakan “jangan lakukan ini, nanti masuk neraka”, bahkan kalau Saudara mengatakan “lakukan ini, nanti masuk surga”, saya tidak mau masuk surga. Saya mau Tuhan, bukan surganya. Kalau ada Tuhan, yang diperkenan Tuhan itu yang akan saya lakukan. Maka saya mengerti satu hal, firman Tuhan membuat saya mengerti bagaimana menjadi manusia secara nikmat. Ini yang Tuhan mau ajarkan kepada umat, cari hidup diperkenan Tuhan, dimana Tuhan pada akhirnya akan mengatakan “inilah umatKu”, ini yang penting. Di dalam akhir zaman, di penghakiman final ada satu hal yang penting terjadi, Tuhan sedang menyatakan siapa milikNya. Dari semua orang yang Tuhan bangkitkan, Tuhan akan menyatakan “inilah milikKu”, lalu Tuhan akan memamerkan mereka dan itu adalah hal paling indah yang akan Saudara alami, yang pernah Saudara alami dan mungkin Saudara alami. Saya tidak bisa memberikan janji apa pun selain yang Alkitab nyatakan. Inilah kebutuhan kita yang paling utama. Kalau sekarang Saudara membutuhkan diterima orang, dicintai, keyakinan, topangan, pemeliharaan, itu semua cuma percikan dari kebutuhan paling besar, yaitu diperkenan oleh Allah, lalu Allah pamerkan ke seluruh ciptaanNya, seluruh malaikat, bahkan dunia orang mati, termasuk roh jahat dan juga orang-orang binasa akan menyaksikan ini. Akan menyaksikan ketika anak-anak Allah dinyatakan. Dan waktu anak-anak Allah dinyatakan, Allah akan menyatakannya dengan sangat penuh kuasa, “inilah umatKu, untuk merekalah Aku bertindak, Aku menjadikan segala sesuatu, Aku mau hadir, untuk merekalah semua janjiKu”, dan pada waktu itu Saudara akan menyadari inilah tujuan hidup, “this is what life is meant to be, saya harusnya ada di sini, inilah yang saya kejar di dalam hidup, ternyata ini yang menyukakan saya”, ini sukacita terbesar. Dan ini umat Tuhan di Perjanjian Lama sudah sadar “Tuhan, tolong nyatakan bahwa Engkau berkenan kepada kami. Kami sudah dibuang ke Babel, tolong pulihkan. Lalu pamerkan kami milik Engkau”.

Allah Bekerja dalam Segala Sesuatu

Di dalam ayat-ayat yang kita baca ada pengertian yang sangat kita kenal yaitu Allah yang memelihara dan melakukan segala sesuatu. Dia menopang kehidupan kita, Dia mengatur dan merancang segala sesuatu sehingga dalam segala hal Allah turut bekerja. Ini tema yang sangat dikenal oleh banyak orang Kristen. Ini juga menjadi tema yang kita jadikan kekuatan dalam keadaan sulit, dalam keadaan seperti apa pun, Allah turut bekerja. Tapi hal yang harus kita ketahui bahwa ayat ini merupakan kesimpulan dari pergumulan yang khas di Perjanjian Lama, yaitu pergumulan dari orang-orang saleh dalam keadaan yang penuh penderitaan. Ini menjawab pergumulan Ayub atau Yeremia ketika dia menuliskan kitab Ratapan. Dan ini merupakan salah satu bagian dari literatur Perjanjian Lama yaitu keadaan sulit yang dialami oleh orang-orang saleh, lalu orang-orang saleh memanjatkan segala ratapannya kepada Tuhan. Misalnya kita bisa baca ini di dalam Mazmur 88, salah satu contoh ratapan yang sangat pilu waktu kita baca. Kita juga bisa melihat Kitab Ratapan dari Yeremia, kita juga bisa melihat apa yang dituliskan dalam Kitab Ayub. Seluruh literatur ini menjadi satu gaya di dalam Perjanjian Lama yang dimiliki oleh orang-orang percaya ketika mereka berada dalam kesulitan. Tapi biasanya kita melihat kesulitan dan mengatakan “Tuhan, mengapa terjadi kesulitan? Bisakah Tuhan memberikan jawaban mengapa saya mengalami penderitaan? Biarlah Tuhan yang menolong saya melihat bagaimana cara menjalani jalan keluar dari kesulitan ini”. Tapi kalau kita membaca Yeremia, Ayub, maka kita tahu pergumulan mereka bukan sekedar ada kesulitan lalu ingin keluar, pergumulan mereka adalah pergumulan teologis. Mereka bergumul dalam hal yang sifatnya teologis, ketika mereka mengalami kesulitan yang besar, mereka mulai berpikir apakah Allah adil menimpakan kesulitan ini? Jawabannya adalah Allah pasti adil, tapi adilNya Allah dengan peristiwa yang mereka alami seperti tidak nyambung. Kalau mereka adalah orang fasik mereka orang jahat, maka hukuman Tuhan dalam bentuk penderitaan adalah wajar. Tapi kalau mereka orang benar dan mereka tidak mengalami hidup cemar seperti kebanyak orang fasik, mengapa kesulitan ini juga menimpa mereka? Jadi pertanyaan ini adalah pertanyaan yang kontennya teologis, siapakah Allah menjadi pertanyaan yang akan dijawab lewat pergumulan ini. Ini bukan hanya tentang “saya menderita, mengapa saya menderita?”, tapi pertanyaannya adalah “apakah Allah adil? Jika Allah adil, mengapa menimpakan ini kepada saya?”. Konteks paling terkenal dalam Perjanjian Lama untuk meratap adalah pembuangan. Di dalam pembuangan Israel ada orang-orang yang menyembah berhala, hidup penuh kecemaran, kalau Tuhan buang mereka, itu wajar. Tapi jangan lupa di pembuangan ada Daniel, Yehezkiel, dan Yeremia yang menderita di tengah kejahatan dari serangan bangsa-bangsa kafir, ada umat Tuhan yang saleh yang ikut menderita. Inilah konteks utama pergumulan di dalam Perjanjian Lama. Orang saleh akan bergumul sama seperti orang yang pikirannya dangkal. Semua orang bergumul, tapi mengapa kita bergumul, apa pertanyaan yang coba kita jawab itu menentukan perbedaan kualitas dari rohani kita. Ada yang bergumul kesulitan sedikit langsung mengeluh “Tuhan, seharusnya saya tidak mengalami kesulitan ini, harusnya saya tidak menderita, tolong Tuhan bereskan semua”. Tapi orang yang agung akan bergumul, “Tuhan, ketika Engkau menimpakan kesulitan, apakah ini hukuman? Jika ini adalah hukuman, apakah adil menimpakannya kepada saya?”. Maka Kitab Ayub memberikan contoh dari pergumulan seperti ini. Yang Ayub permasalahkan bukan mengapa dia menderita, tapi yang Ayub permasalahkan adalah apakah dosa dia sehingga dia menderita. Di sini kita tidak bisa menjawab memakai teologi yang tidak cocok dengan mengatakan “semua orang sudah berdosa, karena itu semua layak mendapatkan hukuman”. Tapi yang Ayub mau tekankan bukan karena semua orang berdosa maka layak mendapatkan hukuman, melainkan Allah yang adil adalah Allah yang tetap mau membenarkan orang pilihanNya. Ayub bukan orang suci, dia pasti orang berdosa, tetapi Tuhan membenarkan dia. Sama dengan Abraham, dia pasti orang yang berdosa, bagian dari budaya yang menyembah berhala, tapi Allah membenarkan dia. Kalau Allah yang benar membenarkan orang, salah satu karakter utama dari kata benar adalah adil, apakah adil Tuhan menimpakan hukuman kepada orang yang benar dengan hukuman yang sama yang Dia timpakan kepada orang fasik? Sehingga Ayub bertanya “apakah Allah adil, apakah saya bersalah?”, dari keduanya harus dipilih satu. “Allah adil dan saya bersalah atau saya tidak bersalah dan ada yang salah dengan Allah?”, Ayub dengan jujur bergumul. Dan Tuhan menghargai pergumulan demikian. Di dalam Mazmur 88, pemazmur juga bergumul “saya tahu kesulitan, saya melihat penderitaan, aniaya, teman-teman meninggalkan saya, dan hal-hal yang mengancam jiwa saya. Sepertinya teman yang saya alami hari demi hari hanya kegelapan”. Ini juga dipertanyakan oleh pemazmur, “jika aku orang benar dan aku dipanggil menjadi bagian dari umat, mengapa hal yang penuh damai dan sukacita seperti menjauh dari saya. Apakah ini hukuman?”, ini jadi pertanyaan yang coba dijawab.

Kita tahu apa yang terjadi di Kitab Ayub dan biasanya orang akan mengatakan “tidak perlu memikirkan tentang penderitaan Ayub, karena di bagian final Tuhan memulihkan Ayub. Bahkan banyak hal yang Tuhan lipat gandakan bagi Ayub. Jadi jangan khawatir penderitaan itu sementara, tapi bahagia yang besar itu ada di final”. Tapi masalahnya itu bukan yang ditanya Ayub. Ayub tidak tanya “apakah keadaan saya ini akan diperbaiki atau tidak?”, yang dia tanya adalah “keadaan saya sekarang ini karena hukuman atau bukan? Kalau bukan karena hukuman, mengapa ada seperti ini?”. Mengapa di dalam ciptaan Tuhan yang Dia desain bisa ada kesulitan, penderitaan, kesedihan, bahkan kematian, apakah Tuhan salah desain? Di kisah penciptaan di Kejadian, dikatakan Allah menciptakan langit dan bumi, dan Allah yang mencipta bukan hanya memberikan satu aktivitas penciptaan di awal, setelah seluruh ciptaan jadi berjalan sendiri di dalam prinsip yang sudah ditanamkan, bukan seperti itu. Allah yang mencipta juga Allah yang menopang, membawa seluruh ciptaan menuju keadaan yang sudah Dia rancang. Maka di dalam teologinya Perjanjian Lama tidak ada tempat untuk mengatakan kekacauan dan kesulitan yang terjadi di dalam dunia itu tidak ada kaitan dengan Allah, tidak ada sangkut paut dengan Tuhan. Kesulitan dan kekacauan yang terjadi itu karena intervensi setan, ini tidak ada dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama jauh lebih bahaya kalau mengatakan Tuhan cuma menguasai sebagian, dan sebagian lagi setan yang mengatur, itu jauh lebih rusak pengertiannya dari pada mengatakan “segala sesuatu yang terjadi didesain oleh Tuhan”. Apa masalah dengan mengatakan “Tuhan hanya mengatur sebagian, sebagian diatur dan dikacaukan oleh setan”? Masalah besar yang didapatkan adalah Allah tidak berdaulat. Dan kalau kita menyembah Allah yang tidak berdaulat berarti kita menyembah berhala, karena ini isu yang diangkat dalam Perjanjian Lama. Apa beda Allah dengan dewa bangsa-bangsa lain? Bedanya adalah Allah langit dan bumi, Pencipta segala sesuatu, Dia meletakan manusia untuk berkuasa atas binatang di darat, burung di udara dan ikan di laut. Manusia berkuasa atas binatang, bukan menyembah binatang. Itu sebabnya dalam Perjanjian Lama, tidak ada tempat bagi berhala karena Allah adalah Allah yang mengatur segala sesuatu, Dia berdaulat. Dan kata berdaulat bukan kuasa yang ditekankan, berdaulat identik dengan memelihara. Ketika Saudara mendengar Allah berdaulat, yang pertama muncul adalah kedaulatan karena power. Indonesia negara berdaulat karena berhasil mengusir penjajah, karena memerintah sendiri, tidak ada negara lain ikut campur, itu namanya berdaulat. Kita sering berpikir Allah berdaulat, sama dengan Allah mengatur semua, tidak ada intervensi, punya kekuatan untuk singkirkan musuh, tapi bukan itu. Berdaulat berarti Allah pelihara semuanya. Kalau Tuhan memelihara dan mengatur semuanya dengan detail, harusnya tidak ada tempat untuk penderitaan, kesulitan, penyakit, apalagi kematian, kecemaran dan dosa. Ini yang dalam tradisi Kristen menjadi satu tema yang namanya teodisi. Orang berusaha menjawab mengapa Allah yang mengatur semua dengan kuasa dan pengaturan yang detail atas segala sesuatu, mengizinkan adanya kejahatan, penderitaan, bahkan kematian. Apakah ini baik bagi Tuhan? Jika tidak baik, mengapa Tuhan memberikan hidup seperti ini? Dalam pengertian orang Yahudi di Perjanjian Lama, mereka memahami bahwa Allah memberi damai sejahtera, namun di sisi lain, Allah seperti membiarkan ada yang kacau terjadi di dalam dunia ini. Apakah Allah kita Allah keteraturan atau kekacauan? Keteraturan. Kalau begitu banyak hal yang sepertinya tidak nyambung, ada kekacauan di dalam ciptaanNya dan Allah bukan penyebab kekacauan. Kalau begitu mengapa ada kekacauan? Apakah Allah kurang kuat? Satu pertanyaan ditanyakan dalam dialog mengenai agama natural oleh David Hume. Dikatakan Allah mampu mengatur tapi Allah tidak mau mengatur, makanya ada kejahatan, penderitaan, penyakit, keadaan buruk. Atau Allah itu baik tapi Dia tidak mampu, Dia maunya membuat baik tapi ada kejahatan, ada keburukan, kekacauan, kematian. Jadi yang mana? Inilah yang ditanyakan David Hume, apakah Allah mampu tapi tidak baik atau Allah baik tapi tidak mampu? Orang Kristen mengatakan Allah baik dan Allah mampu. Kalau Allah baik dan mampu, dari mana kejahatan? Kalau Saudara membaca sejarah filsafat, sudah banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Ada yang mengatakan bahwa pengertian tentang yang baik dan jahat pun adalah sesuatu yang sifatnya progres, bukan sesuatu yang sifatnya foto. Kita tidak bisa melihat foto lalu mengatakan “ini jahat”, karena ada progres dan pada akhirnya terjadi kebaikan, kita bisa jawab itu. “Jangan khawatir, sekarang memang buruk, tapi nanti akan baik.” Tapi bagaimana dengan orang yang sedang mengalami keadaan gelap itu? Apakah kita bisa mengatakan kepada dia “jangan khawatir, nanti akan ada terang”. Yang menjadi permasalahan bagi orang-orang yang berada dalam keadaan kacau dan gelap adalah mereka ingin tahu dimana keadilan Allah? Kalau Allah adil, mengapa ini terjadi pada orang benar? “kalau saya bersalah, maka saya tidak akan komplain apa pun kepada Tuhan”, ini isu dari Kitab Ayub. Kadang-kadang orang baca Ayub dan mengatakan “saya ingin memberi tahu jawaban bagi permasalahan saya di dalam Kitab Ayub”. Tapi permasalahan kita bukan permasalahan yang digumulkan oleh Ayub. “Sama pak, saya dan Ayub sama-sama menderita”, tapi Ayub tidak sedang menanyakan penderitaan, Ayub sedang menanyakan apakah Allah adil, dimana keadilan Allah yang menimpakan hal ini.

Doa Roh Kudus

Ayat 26 menekankan tentang pekerjaan Roh yang penting yaitu Dia bersama dengan roh kita memanjatkan permohonan kepada Allah dengan keluhan yang tak terucapkan. Ada kalimat yang penting dikeluarkan oleh Agustinus di dalam buku Confession, dimana dia menekankan perlunya jiwa kita berdiam di dalam Tuhan. Ada sesuatu yang indah dari Tuhan kita, bukan cuma karena Dia memberi berkat, tapi karena Dia memberi diriNya untuk menjadi satu dengan kita. Ini yang digumulkan oleh Agustinus, apa maksudnya satu dengan Tuhan, apakah kita kehilangan diri kita, kita melebur satu dengan Tuhan? Ini tentu tidak sama dengan pengertian satu dari agama tradisi new age. Ketika dikatakan kita satu dengan dunia, kita melebur, yang parsial, yang kecil seperti kita terhisap habis dalam dunia yang besar. Dengan demikian tidak ada sisa dari pribadi yang unik, yang ada adalah kesatuan yang besar. Ini pendekatan bukan dari Kristen, Kristen tidak percaya bahwa kesatuan kita dengan Tuhan adalah kesatuan yang melebur kita habis, lalu Tuhan menjadi segalanya dan kita menjadi tiada, bukan seperti itu. Tapi di dalam firman Tuhan, kesatuan itu adalah kesatuan yang sifatnya relasional dan perjanjian. Ada cinta kasih besar yang Tuhan bagikan dan ada cinta kasih besar yang kita responi kepada Tuhan, dan itu yang disebut dengan kesatuan. Maka di dalam buku Confession, Agustinus menekankan pentingnya untuk menyadari aspek ini dalam kesatuan dengan Tuhan. Saudara dan saya satu di dalam Dia, bukan karena kita hilang terhisap, tapi karena kita menikmati nyamannya ada di dalam Dia. Ketika kita menikmati nyamannya di dalam Tuhan, Agustinus mengatakan ini adalah saat kita beristirahat di dalam Dia, “jiwaku tenang berada di dalam Tuhan”. Dan pengertian istirahat ini sangat penting karena di dalam Kitab Suci, kisah penciptaan dilanjutkan dan dipuncakkan oleh istirahat. Allah adalah Allah yang beristirahat setelah Dia menciptakan 6 hari, hari-hari penciptaan itu, hari ketujuh Dia beristirahat. Dan kita sering salah memahami istirahat karena kita pikir istirahatNya Tuhan mirip kita, sudah capek lalu sekarang tenang. Tadinya capek menciptakan segala sesuatu, sekarang bisa istirahat tentang. Istirahat tidak ada kaitan dengan diam untuk pulihkan tenaga. Yang dimaksud dengan istirahat di Kitab Kejadian, terutama di dalam kisah penciptaan adalah inagurasi kehadiran Raja untuk mengambil takhtaNya di Bait yang sudah disiapkan. Ini pengertian istirahat di dalam pengertian dulu, zaman kuno. Waktu orang kuno membuat kuil, mereka akan susun hari pertama lakukan apa, hari kedua lakukan apa, lalu pada hari terakhir, mereka akan mengundang dewa mereka untuk berdiam di kuil itu, itu yang namanya istirahat. Bahasa yang mirip dipakai oleh Kejadian, meskipun tentu Kitab Kejadian tidak mengajarkan tentang adanya dewa-dewa. Dan Kitab Kejadian tidak membahas tentang kuil atau baitNya Tuhan adalah lokasi spesifik yang kecil di bumi, tidak. Kitab Kejadian menggambarkan seluruh ciptaan sebagai baitNya Tuhan. Lalu hari Sabat adalah hari dimana Tuhan berdiam. Tuhan hadir dan berdiam di bumiNya, di baitNya. Maka kehadiran Tuhan untuk bertakhta itulah yang namanya istirahat. Kita terus berpikir istirahat itu pemulihan tenaga, bukan seperti itu. Karena istirahat ini adalah duduknya Sang Raja di takhta, bukan hanya di langit, tapi juga di bumi. Karena digambarkan takhta yang utuh dimana Tuhan bertakhta di surga dan di bumi adalah tumpuan kakiNya. Takhta raja bukan hanya kursi tempat Dia duduk, tapi ada juga foot-stool tempat Dia menaruh kaki, semua ini adalah takhta. Allah kita adalah Allah yang bertakhta di surga dan di bumi, sehingga pada waktu Dia hadir dan Dia menyatakan “Akulah Raja dan sekarang Aku mengambil tempatKu menyatakan kuasa kerajaanKu di sini”, itu yang namanya istirahat. Demikian juga dalam hari-hari Sabat yang kita nikmati, hari Minggu yang kita jalankan, kita sedang beristirahat. Dan istirahat di sini bukan tidur, banyak orang salah mengerti sehingga waktu mendengar khotbah banyak yang tidur. Istirahat artinya Saudara bisa menikmati takhta Allah di dalam hari yang khusus, lebih dari pada waktu Saudara menikmatiNya di hari yang lain. Ada eskalasi waktu Saudara datang ke sini, ada menikmati Tuhan yang melampaui hari-hari yang lain. Kalau Saudara mengatakan “setiap hari bagi saya sama”, itu kurang Alkitabiah. Di dalam Kitab Suci ada hari khusus yang Saudara dedikasikan untuk menikmati takhta Tuhan karena ini adalah hari yang akan datang yaitu Sabat, dimana kita boleh berbagian di dalamnya. Pengharapan sejati yang digambarkan dalam Kitab Kejadian adalah Sabat. Tuhan bertakhta dan kita boleh berbagian. Itu sebabnya dalam hari-hari penciptaan, hari pertama sampai keenam selalu diakhiri dengan mengatakan “jadilah petang jadilah pagi, hari pertama”. Tapi hari ketujuh tidak pernah dikatakan “jadilah petang jadilah pagi, hari ketujuh”. Hari ketujuh adalah hari terbuka yang sampai sekarang masih berlaku, yang dijadikan oleh Tuhan sebagai tempat peristirahatan kita juga. Tuhan mengundang kita, “mari berbagian di dalam SabatKu”. Kapan Sabatnya? Pada waktu Tuhan datang untuk kedua kalinya, itulah Sabat sejati, itulah the final rest. Dengan demikian sukacita manusia terkandung di dalam pengharapan final rest, dimana rest tidak berkait dengan tidur siang, ini harus diingat. Maka kalau Saudara mengatakan “puji Tuhan hari Minggu sudah tiba, sekarang saya bisa istirahat lebih panjang dari biasanya. Kalau biasanya tidur siang hanya setengah jam, sekarang bisa 3 jam”, tidak, Sabat tidak ada kaitan dengan tidur siang. Tentu Saudara tidak akan dirajam kalau tidur siang juga, tapi pengertian yang penting bukan itu. Pengertian yang paling penting adalah kalau Tuhan sudah bertakhta, lalu Tuhan mengatakan “mari berbagian menikmati kemuliaan takhta Tuhan”, maka Saudara mengatakan “tentu Tuhan, saya mau berbagian, bolehkah saya berbagian?”, dan Tuhan mengatakan “bukan cuma boleh, tapi engkau diundang berbagian”. Sehingga di dalam hari-hari kita, kita menantikan hari itu. Ini tema yang banyak diulang di Roma 8. Kalau Saudara ingat di dalam pembahasan Roma 5, 6 kita banyak membandingkan Kristus dan Adam, ini tema yang berulang-ulang. Sedangkan dalam Roma 8, tema yang berulang-ulang adalah keadaan final yang kita boleh nikmati sekarang.

Buah Sulung Roh

Di dalam ayat 23 ditekankan kita pun menderita bersama-sama seluruh ciptaan, semua ciptaan sengsara karena dosa meskipun kita adalah orang yang sudah menerima buah sulung dari Roh. Apa itu buah sulung dari Roh? Di dalam 1 Korintus 15 dikatakan bahwa buah sulung dikaitkan dengan kebangkitan. Dan ayat 23 dilanjutkan dengan perkataan kita menantikan pengangkatan sebagai anak yaitu pembebasan tubuh. Di sini bukan berarti tubuh kita dipecah lalu roh kita keluar, tapi yang dimaksud adalah tubuh kita yang juga dikurung oleh dosa akhirnya mendapatkan kebebasan. Tubuh yang sempurna di dalam kebangkitan. Maka karunia sulung diterjemahkan tidak terlalu tepat, tapi buah sulung itu dipahami sebagai kebangkitan. Sehingga Paulus sedang mengatakan “kamu yang sudah mendapat kebangkitan Kristus, kamu akan menikmati kebangkitanmu juga”, ini adalah pembebasan tubuh. Karena Kristus adalah yang Sulung, berarti akan ada banyak yang lain yang menyusul. Buah sulung adalah pohon yang mengeluarkan buah sebelum musim buah itu benar-benar merebak. Dia adalah yang mendahului masuknya musim dari buah tersebut. Sehingga ketika buah sulung mulai terlihat, semua orang akan mulai perhatikan pohon yang lain, kalau begini pohon yang lain pun akan keluarkan buah dalam waktu yang tidak lama lagi. Ini yang disebut dengan buah sulung. Ketika Yesus Kristus berjalan dengan murid-murid lalu melihat sebuah pohon ara, Yesus mendekat ke pohon ara itu, dari bawah Dia melihat ke atas dan Dia menantikan ada buah. Waktu Dia lihat tidak ada buah, Dia mengutuk pohon itu dan Alkitab memberikan komentar “dan waktu itu adalah waktu buah sulung”, ini yang tidak ditangkap dalam terjemahan Bahasa Indonesia. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia yang ditulis adalah “waktu itu bukan musim buah ara”, sehingga kita bingung “kalau bukan musim buah ara, mengapa Yesus marah kalau pohon itu tidak mengeluarkan buahnya? Ini kan bukan musimnya. Yesus lapar, lalu Dia lihat pohon ara, bukan di musim buah ara, mengapa Dia minta buah ara?”. Tapi yang Alkitab katakan adalah ini adalah musim buah sulung, sehingga Yesus mengharapkan buah sulung. Waktu Dia melihat tidak ada buah sulung, Dia kutuk pohon itu. Ini tentu bukan bicara ekspresi kemarahan Yesus karena Dia lapar. Semua berita di Kitab Suci mengandung ajaran teologis, bukan mengandung laporan mengenai kehidupan Yesus saja. Jadi mengapa Dia marah? Karena itu melambangkan marahnya Tuhan melihat Israel gagal memberi buah sulung. Israel tidak bisa memberi buah sulung maka Tuhan buang. Mereka gagal menjadi bangsa yang menyatakan berkat yang limpah di tengah-tengah kehidupan, sehingga mereka pun dibuang oleh Tuhan. Jadi buah sulung berkaitan dengan kebangkitan tubuh yaitu kebangkitan tubuh Kristus. Dan berkait juga dengan kelimpahan yang menyusul setelahnya. Ini merupakan tema yang sangat banyak terdapat dalam Kitab Suci. Jangan baca Kitab Suci dengan memasukan pengertian kita secara sembarangan. Kitab Suci punya aturan main sendiri untuk setiap istilah diterjemahkan di dalam aturan itu. Seorang filsuf Austria bernama Wittgenstein, dia mengingatkan bahwa setiap orang yang belajar bahasa harus tahu aturan luas dari berbahasa itu. Kita tidak bisa ambil satu kata lalu terjemahkan dengan sembarangan. Ada cara untuk terjemahkan sebuah kata di dalam aturan main yang lebih luas. Demikian ketika Saudara membaca Kitab Suci, ada aturan dari seluruh Kitab Suci mengenai bagaimana sebuah istilah dipahami. Di dalam Kitab Suci digambarkan bahwa seluruh dunia menuju kemerosotan, makin layu, makin hancur dan akhirnya mati. Tapi Tuhan menjanjikan kehidupan yang berlimpah, Tuhan menjanjikan akan ada buah sulung, setelah buah sulung itu ada maka seluruh bumi akan dipulihkan dalam kelimpahan Tuhan. Maka segala sesuatu yang membuat kita merana, mengeluh, menderita, itu semua akan disingkirkan dan Tuhan ganti dengan kelimpahan. Dimana Tuhan ganti? Di bumi. Berita kebangkitan sulit dipahami oleh orang-orang yang bukan Kristen. Orang Yahudi percaya kebangkitan, tapi mereka sulit menerima kebangkitan Kristus karena Kristus pernah mati di kayu salib. Menurut mereka orang yang paling tidak mungkin dibangkitkan adalah orang yang mati di atas kayu salib, “terkutuklah orang yang tergantung di atas kayu salib”. Maka mereka tidak masalah dengan kepercayaan kebangkitan tubuh. Orang Saduki memang bermasalah, mereka tidak percaya ada kebangkitan tubuh. Tapi mereka juga tidak percaya ada malaikat, tidak percaya ada roh, mereka tidak percaya hidup manusia dilanjutkan setelah mati. Orang Farisi dan kebanyakan orang Yahudi percaya kebangkitan tubuh, tapi mereka sulit menerima bahwa yang menjadi buah sulung kebangkitan adalah orang yang mati di atas kayu salib. Orang Yunani sulit menerima kebangkitan, bagi mereka manusia mati dan tubuhnya pecah, setelah itu rohnya akan tinggal di tempat lain untuk waktu yang kekal, tidak ada kebangkitan tubuh, tubuh tidak mungkin bangkit. Itu sebabnya ketika Paulus bicara di Athena, dia memuji kesalehan orang-orang Athena, dia mengatakan “kamu tidak boleh anggap Allah sama dengan patung buatan tangan manusia”. Lalu Paulus mengutip dari Aratus, seorang pemikir yang sangat populer di dalam dunia Yunani pada waktu itu. Dia mengutip Aratus yang pernah mengatakan “semua orang adalah keturunan Zeus”. Paulus menolak kata Zeus, dia mengganti kutipan itu dengan mengatakan “seorang pujanggamu mengatakan kita ini dari keturunan Allah. Kalau kamu keturunan Allah, kamu tidak boleh menganggap Allahmu sama dengan kesenian manusia. Dia sudah menetapkan satu hari dimana Dia akan menghakimi semua bangsa dan Dia membuktikan hari itu dengan membangkitkan Dia yang akan menghakimi. Begitu orang Yunani mendengar kebangkitan, sebagian langsung pergi, sebagian mengatakan “Kami tidak mau dengar berita orang mati bangkit. Karena bagi kami orang mati tidak bisa bangkit. Tubuh yang mati akan tetap mati, nanti roh yang akan kekal selama-lamanya”, ini konsep Yunani. Jadi orang Yunani tidak terima kebangkitan tubuh, tubuh tidak perlu bangkit. Dan kalau memang benar Tuhan setuju dengan pengertian itu, maka Yesus tidak akan bangkit. Yesus menebus dosa manusia dengan mati di kayu salib dan kematianNya di kayu salib cukup untuk hapus dosa manusia. Kalau dosa manusia sudah dihapus dengan kematianNya, Dia tidak perlu bangkit. Tapi Tuhan mengatakan “tidak, tubuhNya harus bangkit”. Kebangkitan tubuh, fisik, itulah yang diharapkan oleh orang Kristen. Dan karena itu, maka Kristen menjadi satu-satunya agama yang menekankan pentingnya dunia sekarang dengan memberikan harapan kesempurnaan yang melanjutkan dunia sekarang. Agama lain selalu mempunyai break antara yang dinikmati sekarang dengan apa yang menjadi kesempurnaan. Kesempurnaan beda dengan yang kita alami sekarang, yang sekarang akan berhenti, hilang dan yang baru nanti akan disempurnakan. Itu membuat agama-agama di dunia selalu punya pandangan yang salah tentang hidup, terlalu negatif atau tidak peduli. Dan ini banyak dianut oleh kelompok-kelompok yang sangat menekankan spiritualitas yang sifatnya other worldly.

Pengharapan Seluruh Ciptaan

Di bagian selanjutnya diingatkan kembali mengenai pengharapan dari seluruh ciptaan. Seluruh ciptaan menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Ini kata yang lebih tepat, kata makhluk di dalam Bahasa Indonesia adalah tisis, tisis sebenarnya lebih baik diterjemahkan ciptaan, seluruh realm ciptaan menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Berarti ketika Tuhan menciptakan ciptaan, Tuhan membawa seluruh ciptaan menuju kepada kesempurnaan lewat anak-anak Allah. Anak-anak Allah yang akan menyatakan kesempurnaan ciptaan Tuhan lewat pengangkatan mereka. Ini bagian yang penting, kapan ciptaan sempurna? Ketika anak-anak Allah dinyatakan. Kapan anak-anak Allah dinyatakan? Ketika Tuhan Yesus datang kedua kali. Kedatangan Dia yang kedua memulihkan kemuliaan anak-anak Tuhan dan kemuliaan anak-anak Tuhan memulihkan seluruh ciptaan Tuhan. Di sini Paulus mengatakan seluruh ciptaan bergumul mengharapkan pemulihan, mengharapkan kesempurnaan dari janji Tuhan. Ini seperti mereka berdoa, “Tuhan, kapan waktunya? Tibakanlah segera waktunya”. Berarti apa yang sudah Tuhan ciptakan belum berada dalam keadaan sempurna sampai saat anak-anak Allah dinyatakan. Berarti sebelum waktu itu tiba, seluruh ciptaan berada dalam penantian. Penantian bukan hal yang sangat mudah, tapi juga bukan hal yang tidak penting. Penantian sangat diperlukan untuk iman kita bertumbuh. Bagaimana iman seseorang bertumbuh? Dengan menanti, menunggu. Bagaimana menunggu? Menunggu dengan menjalani janji yang sudah digenapi. Kita sudah tidak ada kekuatan menantikan pengharapan yang belum ada tanda penggenapannya. Kita perlu tanda, kita perlu rest, perlu sabat kecil sebagai percikan dari sabat sejati yang menyempurnakan kehidupan di dalam rencana Tuhan. Itu sebabnya kita ibadah, ibadah sangat penting, inilah kekuatan kita. Jika Saudara tidak mendapatkan kelegaan melalui beribadah kepada Tuhan, Saudara tidak mempunyai kekuatan untuk menjalani hidup. Tetapi bagaimana kita punya kekuatan menjalani hidup jika kita tidak tahu ujungnya ada apa, sempurnanya apa, titik finalnya apa. Andaikan Tuhan tidak bukakan maka kita akan menjadi orang yang hidup dengan tidak ada arah. Dunia ini tidak tahu jalur dari sejarah mau menuju kemana, karena dunia cuma bisa menebak, ketika sejarah sepertinya optimis maka ada harapan umat Tuhan atau bangsa tertentu menjadi sempurna hidupnya. Tapi begitu keadaan pesimis, kita langsung pertanyakan kembali dimanakah pengharapan itu. Di dalam abad yang ke-19, orang-orang Reformed yang liberal memberikan sumbangan ide menyelidiki Perjanjian Baru bersama dengan tradisi Lutheran yang liberal. Reformed dan Lutheran yang liberal, bukan Lutheran yang kita wariskan dari tradisi gereja yang baik. Mereka yang liberal mengatakan sejarah punya optimisme tertentu, sejarah menuju titik pasti, lihat sejarah berjalan seperti tangga, naik satu langkah demi satu langkah sampai puncak dimana kesempurnaan hidup akhirnya dibawa. “Kalau begitu sejarah berada dalam keadaan terus naik, semakin lama semakin baik”, ini ide dari zaman pencerahan. Pencerahan selalu melihat sejarah itu seperti anak kecil yang tumbuh dewasa, pasti akan tumbuh. Maka sejarah dianggap sama seperti peristiwa hidup kita. Sama seperti Saudara menuju kedewasaan, demikian sejarah menuju kedewasaan. Man has come to age, telah tiba kepada zaman yang sempurna. Manusia sudah sampai kepada kesempurnaan yang dia capai lewat perjuangan dia. Maka orang berpikir kalau ilmu pengetahuan dikembangkan, kalau teknologi semakin maju, maka kemajuan manusia sudah pasti akan tercapai. Tapi di abad ke-20 semua teori ini runtuh, orang kembali merenungkan apa itu pengharapan. Di abad ke-20 terjadi Perang Dunia 1, Perang Dunia 2. Dan setelah Perang Dunia 2 berakhir, terjadi kegalauan di dalam keinginan perang nuklir. Manusia terus mengembangkan teknologi, bukan untuk menghidupkan orang, tapi untuk mematikan banyak orang. “Senjata saya bisa mematikan seluruh kota”, kembangkan lagi senjata “senjataku bisa mematikan 2 kota”, kembangkan lagi “senjata saya bisa memusnahkan seluruh negara”. Akhirnya kekuatan nuklir begitu mengerikan sehingga diklaim ada senjata yang bisa memusnahkan bukan hanya seluruh dunia, tapi seluruh dunia dikali belasan kali. Senjata yang luar biasa mengerikan dikembangkan dengan dahsyat. Lalu orang ditengah-tengah mulai bertanya “apa itu pengharapan, mengapa tangga menuju atas, waktu sampai atas yang ada ternyata kekacauan”. Semua orang waras jadi gila atau jadi pesimis. Ternyata ini zaman”, inilah yang dibukakan kepada kita. Maka abad 20, abad yang gelap sekali, orang mencari dan menemukan teori-teori optimis di abad sebelumnya berbuah kekosongan belaka. Mayat demi mayat dari hasil pencapaian teknologi yang dipakai untuk bunuh manusia, akhirnya menjadi harapan finalkah? Ini sebabnya teologi pengharapan muncul di abad 20. Seorang bernama Moltmann mengajarkan teologi yang berpusat ke salib, bukan berharap ke optimisme. Kita masih pakai optimisme untuk berharap ada kebaikan. Tapi Alkitab mengajarkan salib, salib adalah cara mencapai progres untuk mengerti rencana Tuhan. Maka Moltmann membagikan tema penting di dalam sejarah teologi yaitu teologi pengharapan yang berpusat ke salib. Dia kembali menggali pemikiran para Reformator yang oleh orang Kristen sudah banyak dilupakan, “para Reformator itu ketinggalan zaman, tidak mengerti progres, tidak tahu keindahan manusia yang berteknologi dan ber-science”. Tapi setelah masuk abad 20, orang kembali menyelidiki Luther, Calvin, dan mereka mendapatkan pengertian “ternyata mereka jauh lebih bijaksana dari pada orang di abad 19”. Kembali diselidiki apa itu teologi salib, dan Moltmann mengatakan pengharapan itu bukan penantian kondisi zaman, tapi pengharapan itu menantikan kedatangan pribadi Allah. Bukan apa yang engkau harapkan tapi siapa yang engkau harapkan. Bukan apa yang engkau minta segera datang, tapi siapa. Maka dengar ini baik-baik, engkau tidak punya pengharapan. Banyak orang kalau dengar khotbah merasa sudah tahu. Saya sangat kecewa kepad orang yang terus mendengar khotbah tapi tidak berubah, Sampai kapan Saudara pikir Saudara pintar? Engkau tidak pintar, engkau perlu belajar lagi dari Kitab Suci. Engkau belum tahu, belajar lagi untuk tahu apa yang disampaikan dari atas mimbar ini. Saya tidak pernah sembarangan membagikan dari apa yang harus jadi tugas saya. Saya bagikan hal yang saya tahu kalau Saudara pelajari baik-baik, hidupmu akan berlimpah. Berlimpah bukan karena engkau tahu informasi, tapi karena cara berpikir diubah. Selama ini orang sulit mendapatkan pengertian khotbah karena terus mau mempertahankan yang lama sambil dapat yang baru. Ini yang Tuhan Yesus katakan menjadi kesalahan Ahli Taurat. Banyak orang tidak dapat Kristus karena mereka tidak mau bongkar yang lama, mereka mau pertahankan yang lama untuk mendapatkan yang baru. Paulus mengatakan hal yang sama, kesulitan kita hidup di dalam dunia adalah kita mempertahankan baju yang lama lalu tambah baju yang baru. Tuhan Yesus mengatakan “buka bajumu. Buka baju yang lama lalu kenakan baju yang baru”, pakai kerangka pikir yang baru bukan yang lama. Saya mengalami kesulitan dalam memahami Kitab Suci karena kerangka yang lama masih bercokol. Tapi ada saat dimana kerangka lama mulai runtuh lalu saya menyadari Kitab Suci menjadi lebih indah dari sebelumnya, saya harap momen ini Saudara miliki. Tapi ketika Saudara tidak memilikinya, Saudara terus mengulangi kehidupan yang lama dan tidak berbuah, lalu mau menjadi apa? Kita tidak bisa bertumbuh menikmati Tuhan, akhirnya dosa yang lam kembali datang, keadaan lama kembali menguasai kita, lalu kita hanya mendapat percikan-percikan rohani dari khotbah Kristen, untuk apa? Saudara perlu revolusi dalam pikiranmu, ini revolusi mental yang sejati. Saudara perombakan pikiran dan yang dikatakan oleh Kitab Suci sangat merombak cara berpikir Saudara. Maka Moltmann mengatakan “kamu berharap apa?”, berharap keadaan baik, optimisme menjadi harapan. Dan ini menjadi blunder terbesar manusia, berharap kepada optimisme. Maka banyak orang yang tidak mengerti akhirnya menjalani kehidupan Kristen penuh kekecewaan ditengah keaaan dimana mereka harusnya penuh kelimpahan. Waktu Yesus disalib seharusnya murid-murid tidak kecewa, seharusnya mereka mengatakan “inilah kegenapan rencana Tuhan”, tapi mereka tidak lihat, pikiran mereka belum dirombak. Maka ketika Yesus ada di kayu salib, yang paling kecewa itu murid-murid, yang paling bahagia itu musuh-musuhNya Yesus. Yang paling kecewa adalah murid-murid, “kami kecewa, yang kami harapkan sekarang mati di atas kayu salib, berapa lama lagi kami harus menanti Mesias yang baru? Yang lama sudah terpaku”. Tapi Tuhan membukakan di dalam Kitab Suci semua hal yang Tuhan nyatakan dari Perjanjian Lama digenapi dalam kematian Kristus, tapi orang tidak mengerti.

Apakah Makna Kemuliaan?

Di dalam 2 ayat ini, orang Kristen adalah yang mengalami kesulitan dan penderitaan dengan cara yang berbeda. Hal ini tidak berarti kalau Saudara Kristen, Saudara harus sengaja mencari penderitaan. Tapi bagian ini sedang menekankan cara pandang melihat penderitaan. Cara pandang itu penting karena memandang segala sesuatu dari sudut yang salah, Saudara akan mendapatkan kesimpulan yang salah. Tuhan tidak mengubah hidup, tapi mengubah sudut pandang, baru setelah itu Dia menyatakan perubahan di dalam hidup. Tuhan mengubah cara kita melihat hidup, melihat fakta, dan cara menafsirkan fakta. Agama sejati tidak menipu manusia dengan memberikan cara pandang salah. Banyak agama-agama memaksa pengikutnya untuk melihat hidup dengan cara negatif. Hidup fisik tidak penting, yang kita harapkan adalah nanti setelah mati. Tapi Kekristenan mengajarkan penghargaan hidup dari sekarang. Kita menghargai hidup karena itu adalah pemberian dari Tuhan. Maka memahami bahwa hidup diberikan oleh Tuhan sangat mengubah cara memandang hidup. Kekristenan adalah kelompok yang memberi pengaruh begitu besar dan baik, tetapi kemudian coba disingkirkan oleh dunia ini. Di dalam pengertian dari orang modern, zaman dibagi dengan keadaan Kristen adalah titik gelap kebudayaan. Itu sebabnya zaman lampau disebut sebagai zaman kegelapan. Lalu abad pertengahan disebut sebagai abad yang ada di tengah sebelum akhirnya manusia menemukan modernisme. Dan modernisme umumnya oleh orang-orang sekuler dianggap sebagai titik ketika Tuhan akhirnya disingkirkan. Iman Kristen tidak lagi penting, iman ini hanya mengganggu kita melihat hidup. Tapi kalau kita menyingkirkan Tuhan dari cara memandang hidup maka kita akan masuk dalam kehidupan absurb yang tidak ada makna. Titik ekstrim dari penolakan Tuhan adalah kembalinya berhala menguasai hidup manusia. Ini tidak disadari oleh orang sekuler, akhirnya mereka menyingkirkan Tuhan. Tapi yang mereka tidak tahu sedang giat menyingkirkan kasih sejati. Ini bodoh karena kalau kita melihat Tuhan sebagai pengganggu dan pengacau tentu ingin kita singkirkan. Tapi siapa yang pertama mengatakan Tuhan itu pengganggu dan pengacau? Ular. Waktu ular bicara dengan Hawa, dia mengatakan “bukankah Tuhan berfirman semua pohon di dalam taman ini jangan kamu makan buahnya?”, ini pengganggu. “Kamu ingin menikmati hidup, tapi Tuhan larang. Karena perintahNya kamu sengsara dan tidak bisa menikmati hidup. Maka singkirkan saja Dia”. Mengapa Tuhan dianggap pengganggu? Karena isu si jahat Tuhan itu merusak dan mengacaukan hidup. Salah satu pernyataan yang membuat orang meragukan Tuhan adalah neraka, “mengapa Tuhan yang baik menciptakan neraka?” Pertanyaan ini keluar dari cara berpikir yang salah. Cara berpikirnya adalah manusia hidup manis-manis, baik-baik, tiba-tiba Tuhan menciptakan neraka. Tapi yang benar, dari firman Tuhan, adalah Tuhan ingin memberikan kelimpahan hidup dalam dunia bagi manusia. Dan setiap orang yang menolak Tuhan akan bersumbangsih merusak damai yang Tuhan siapkan. Maka Tuhan menghukum. Kalau Saudara menganggap Allah adalah Bapa yang baik, Dia harus menjadi pelindung hidup, Dia harus menjadi penjaga ciptaanNya. Dan menjaga ciptaan berarti siapa merusak tatanan damai yang Tuhan siapkan, mereka harus disingkirkan, ini neraka. Jadi jangan lihat neraka sebagai gambaran Allah mudah tersinggung lalu membuang manusia. Tuhan itu bukan kita yang terlalu sensitif untuk banyak hal. Tuhan tidak mudah sakit hati, Tuhan sabar dan lemah lembut yang menanti manusia kembali kepadaNya. Tapi apakah itu membuat manusia kembali? Tidak, manusia terus menghancurkan tatanan Tuhan, sehingga Tuhan harus menyatakan kuasaNya untuk membersihkan ciptaanNya.

Ahli Waris Allah

Dalam pembahasan lalu, keberhutangan kepada Allah karena kita adalah milik Dia, dijadikan anak-anak Allah oleh Roh Kudus. Kesaksian dari satu orang tidak sah dalam pengertian hukum, dalam tradisi Yahudi. Jadi kalau Saudara menjadi saksi, Saudara tidak bisa membuat kesaksian Saudara berfungsi mengambil keputusan, kecuali didukung oleh kesaksian orang lain. Demikian juga ketika Saudara mengatakan “saya anak Allah”, “Kata siapa?”, “kata aku dan Roh Kudus”. “Kata Roh Kudus itu apa?” Kesaksian Roh Kudus adalah kesaksian yang dinyatakan melalui penjelasan firman yang tertulis ini. Alkitab menyaksikan bahwa kita adalah anak-anak Allah dan Roh Allah menjadikan setiap firman yang Tuhan berikan kepada umat menjadi milik kita. Roh Kudus menjadikan apa yang di sorga menjadi milik personal orang-orang yang percaya. Apa yang dikerjakan Roh Kudus? Dalam tradisi Reformed kita percaya Roh Kudus mengaplikasikan keselamatan Kristus kepada individu-individu yang percaya. Demikian juga Roh Kudus memberikan kesadaran dalam hati kita bahwa Allah sedang berbicara tentang kita. Ketika Allah mengatakan “sesungguhnya Aku mengasihi anak-anak Israel”, Saudara sadar “sayalah yang dimaksud meskipun saya tidak secara daging keturunan Israel. Saya dimasukan di dalam tradisi Israel karena pekerjaan Roh Kudus yang menyatukan saya dengan Kristus”, ini namanya kesaksian Roh Kudus. Jadi kesaksian Roh Kudus akan menggabungkan pengertian Firman yang tertulis dengan diri kita. Maka hal pertama, kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah datang dari firman. Hal kedua, kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah datang dari perubahan yang dikerjakan Roh Kudus dalam diri kita. Saudara mulai berubah, dulu sangat mudah tersulut marahnya karena wibawa diri, sekarang tidak. Sekarang Saudara mulai mengerti apa itu mengosongkan diri dan apa itu hidup bagi Tuhan. Dulu sangat gila harta, apa pun yang dikerjakan hanya untuk uang, sekarang Saudara sadar bahwa uang adalah sesuatu yang Tuhan izinkan Saudara kelola dan Saudara bagikan kepada yang lain. Hal ini membuat kita sadar “saya banyak berubah. Tadinya saya mirip bapaku yang lama yaitu setan. Sekarang saya mirip Bapaku yang baru yaitu Tuhan.” Inilah kesaksian Roh. Saudara anak-anak Allah, apakah ada kesaksian firman? Ada, Roma 8, 5, dan 3 menyatakannya. Kalau Saudara baca Yohanes 3, 10, 14, 15, 16, 17, berkali-kali menekankan siapa-siapa yang termasuk anak-anak Allah yaitu mereka percaya dalam nama Yesus. Ini membuat kita dapat kesaksian yang bukan kesaksian pribadi, bukan subjektif. Maka kesaksian Roh Kudus tidak bisa ditafsirkan sebagai sesuatu subjektif yang orang lain tidak bisa akses. Saudara tidak bisa menyatakan kebenaran dengan cara yang tidak bisa diakses oleh orang lain. Tapi kalau Saudara menjadikan Alkitab sebagai suara Roh yang bersaksi dan Saudara menjadikan hidup Saudara sebagai bukti Roh Kudus bekerja, maka Saudara bisa mengatakan kepada orang-orang “saya anak Allah.” Tahu dari mana? “lihat hidupku dan kesaksian Kitab Suci”, itulah yang disebut dengan kesaksian Roh. Inilah yang membuat kita bersyukur ternyata kita anak Allah, bukan perasaan subjektif yang dirasa-rasa. Ada kesaksian Kitab Suci dan perubahan hidup yang menjadi bukti bahwa kita adalah anak-anak Allah. Kita tidak bisa remehkan cuma salah satu, Alkitab menyatakan setiap orang percaya adalah anak Allah. Kamu mengaku percaya, tapi bagaimana dengan hidupmu? Adakah perubahan yang membuat engkau sekarang semakin menyerupai Bapamu atau tidak. Tentu Alkitab tidak mengatakan bahwa orang yang percaya otomatis langsung sempurna, ada proses menuju kesitu. Tapi Saudara menjadi berubah dan perubahan itu arahnya jelas. Saudara semakin mirip Sang Bapa yang baru, yang mengadopsi Saudara menjadi milikNya. Maka sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan kesaksian ini kalau kita tidak tahu Allah kita seperti apa. Waktu kita tahu Allah kita adalah Allah yang pemurah, sabar, penuh cinta kasih, besar setiaNya, baru kita sadar kita tidak bisa menjadi anak-anak Allah sekaligus menjadi orang yang sikap dan pikirannya sangat duniawi. Duniawi bukan berarti kita tidak tahu lagu rohani, kita kurang membaca Alkitab. Duniawi berarti kita tidak lihat ada sumber kasih, maka kita tidak pernah mengerti apa itu mengasihi. Kita tidak tahu apa itu memberi diri bagi orang lain, apa itu hidup bagi orang lain. Ini tandanya kita belum berubah, tapi pelan-pelan akan ada perubahan. Sama seperti Allah mencintai, memberikan kesabaran, memberikan sukacita, memberikan berkat, memberikan janji, maka saya juga akan menjadi orang yang menyatakan sukacita berkat dan memberi diri bagi yang lain. Ini adalah tanda bahwa kita adalah orang-orang yang dimiliki Roh, disatukan oleh Kristus, dan menjadi anak-anak dari Sang Bapa di surga.

Lalu di ayat 16 dikatakan “roh bersama kita bersaksi bahwa kita adalah anak-anak Allah”, jadi kita adalah anak-anak Allah. Banyak yang salah mengerti tentang pengertian anak. Yesus adalah Anak Allah, kita adalah anak Allah. Apa ini berarti Allah punya anak? Dalam Perjanjian Lama ada dua kata yang beda menjelaskan tentang anak, dua-duanya diterjemahkan anak. Yang satu adalah yelet, anak secara biologis. Sayang sekali banyak orang berpikir bahwa Sang Anak Allah, Pribadi Kedua Tritunggal adalah anak dari Pribadi pertama secara yelet. Jadi Sang Bapa mempunyai anak yaitu Sang Anak, kapan melahirkannya? Ada yang bertanya “siapa bidannya?”, ini karena salah mengerti antara ben dan yelet. Kalau Saudara mengatakan kucing punya anak namanya anak kucing, karena anak kucing dan itu anak dari kucing, maka kucing itu kucing, itu yelet, bukan ben. Saudara tidak bisa mengatakan hal yang sama tentang Pribadi Kedua dengan Pribadi Pertama, bukan begitu. Tapi relasi antara Pribadi Pertama dengan Pribadi Kedua menggunakan kata ben dalam Perjanjian Lama, atau bat kalau anak perempuan. Ben bukan hanya menunjukan anak secara fisik, tetapi status sebagai ahli waris. Di zaman Tuhan Yesus, pengemis buta yang tahu Yesus datang langsung teriak “Anak Daud, kasihanilah saya”, lalu orang mengatakan “diam”. Mengapa disuruh diam? Karena kata Anak Daud mengandung provokasi yang besar. Kalau Saudara bilang Anak Daud, itu bukan yelet. Banyak orang keturunan Daud pada saat itu, tapi bukan Anak Daud. Daud punya banyak keturunan, tapi hanya satu yang disebut Anak Daud yaitu Salomo karena dia melanjutkan takhta bapanya. Demikian Yesus disebut Anak Daud, bukan karena Dia adalah salah satu dari keturunan Daud, tapi karena Dia melanjutkan takhta BapaNya. Kalau ini kita mengerti, kita tidak akan khawatir dengan tuduhan orang yang mengatakan “Allah itu tidak memperanakan dan tidak diperanakan”, tapi ini adalah kredo melawan kredo Athanasius yang ada sebelum sebelum Muhammad ada. Athanasius justru mengatakan Allah sejati adalah yang memperanakan (Pribadi Pertama) dan diperanakan (Pribadi Kedua). Jadi ada pengakuan iman di Kristen yang mengatakan Allah sejati adalah Allah yang mempunyai anak dan mempunyai bapa. Tradisi Islam sebenarnya melawan ini, bukan original Allah itu pasti tidak boleh punya anak. Anak adalah ahli waris, konsep dibaliknya bukan biologis familial, tapi royal, kingship. Anak yang akan menjadi raja setelah bapaknya. Maka kalau dibilang “Anak Daud”, jangan sembarangan, tidak semua orang disebut Anak Daud meskipun banyak keturunan Daud. Ini juga konsep yang sama dengan pengertian Anak Allah. Orang dunia kuno sangat jelas mengerti anak, ketika dikatakan anak Allah, langsung tahu maksudnya apa. Di dalam dunia kuno, raja adalah anak Allah, karena mereka percaya kerajaan mereka itu milik Allah mereka dan diwariskan kepada sang raja. Misalnya Kerajaan Romawi, mereka percaya kerajaan mereka milik Jupiter, ia memberikan Kerajaan Romawi yang besar itu. Ketika orang-orang Visigoth mulai menyerang Roma, lalu ada orang bernama Alaric, pemimpin Suku Visigoth yang berhasil menerobos kota Roma. Setelah itu Roma menjadi sangat surut kekuatan dan orang mulai mengatakan “Jupiter sudah meninggalkan kita karena ada yang namanya Yesus sekarang disembah”. Ini yang membuat Agustinus menulis buku The City of God. Penyebab Roma hancur adalah moral yang sudah bobrok dan Tuhan hakimi. Kalimat Agustinus ini penting sekali untuk kita ingat. “Bukan karena kamu meninggalkan Jupiter, maka kotamu dihancurkan. Tapi karena moralmu terlalu bobrok”. Jadi orang Roma percaya kekaisaran mereka dimiliki oleh Jupiter, lalu yang menjadi kaisar adalah anak dewa, anak Jupiter. Mengapa menjadi anak dewa? Karena seluruh kerajaan milik Jupiter sekarang menjadi milik kaisar, jadi kaisar adalah anak allah, ini umum. Tapi kalau Saudara berbicara dengan orang modern “apakah kau tahu anak allah?”, mereka langsung geli sendiri “kamu percaya allah menikah lalu punya anak? Bodoh sekali”. Saudara balik mengatakan kepada mereka “kamu yang kurang mengerti, ayo belajar sejarah.”

Anak dalam Roh

Kita akan belajar pengertian yang sangat indah yaitu apa yang dikatakan di ayat 14, semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah. Roh memimpin orang percaya untuk menjadi anak-anak Allah yang hidup sebagai anak-anak Allah. Dan Roh itu adalah Roh yang mengerjakan hal yang spesifik, memanggil orang percaya untuk menjadi milik Tuhan. Dan pimpinan Dia membuat kita sadar bahwa kita adalah anak-anak Allah dan membuat kita hidup sebagai anak-anak Allah. Tapi ada sesuatu yang harus kita pahami dulu untuk masuk ke dalam pengertian ayat 14 ini yaitu bahwa Tuhan sebenarnya yang mendesign hidup manusia. Ada satu perenungan yang indah dari Agustinus, dalam satu buku dia untuk melawan orang-orang Manikeisme. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang dijadikan, yang sifatnya materi, itu jelek dan buruk. Kita mengharapan sesuatu yang lepas dari segala hal yang kita alami sekarang. Agustinus dulu pengikut Manikeisme dan menjadi Kristen karena dia mendengar eksposisi Kitab Kejadian dari seorang hamba Tuhan di Milan yaitu Ambrosius. Dia sangat kagum akan penjelasan tentang dunia, bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan, Tuhan menciptanya dengan cinta dan kebebasan. Dia menjadi sadar bahwa Manikeisme tidak menjawab kebutuhan dia untuk memahami hidup. Maka setelah dia menjadi Kristen, dia banyak menulis karya untuk mengkritik orang-orang Manikeisme. Dan salah satunya adalah karya penciptaan dalam Kitab Kejadian melawan ajaran dari Manikeisme. Dalam karya ini dia mengatakan bahwa keindahan menjadi orang Kristen adalah bahwa orang Kristen diberikan dunia yang perlu digumulkan sehingga kita tahu dunia menjelaskan kepada kita tentang siapa Allah. Saya pikir ini kalimat yang sangat penting untuk kita pahami. Karena Saudara tidak bisa memahami hidup kecuali Saudara menggumulkan realita hidup yang Saudara jalani. Kita tidak bisa membuang pengalaman kita di dalam hidup sehari-hari dan mengabaikan itu untuk mengenal Tuhan. Tuhan dikenal dengan firmanNya, tapi firmanNya akan diinteraksikan dengan seluruh ciptaan, dan itu adalah yang Saudara alami setiap hari tentunya. Maka bagi Agustinus, Kekristenan hanya mungkin dipahami kalau Saudara mengaitkan firman dengan kehidupan sehari-hari. Ini yang Surat Roma 8 ajarkan, bagaimana kita mengerti Tuhan di dalam keadaan hidup yang penuh dengan kekacauan, perasaan takut, dan penderitaan. Itu sebabnya pengertian semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah itu sangat penting. Karena hanya Allah yang merancang dan mengatur hidup manusia. Hidup manusia itu sendiri hanya mungkin terjadi di dunia ini karena Allah yang mencipta. Karena itu sulit memberikan pengertian dalam diri kita “manusia seharusnya tidak seperti ini.” Kita terus pikirkan tentang keadaan mirip surga yang kita jalani sekarang. Tapi kita tafsirkan gaya hidup mirip surga dengan salah. Karena mungkin kita pikir gaya hidup mirip di surga itu berarti bebas penderitaan, pokoknya surga itu berarti hidup enak. Tapi kita mesti pikir ketika Sang Anak Allah datang ke dunia, gaya hidup apa yang dialami.

Kristus datang ke dalam dunia tidak menjalani lingkungan yang dianggap ideal itu. Kekristenan selalu mengajarkan untuk melihat kepada kehidupan Kristus, menginginkan menjalani hidup yang mirip Kristus. Sebenarnya sesuatu yang sangat indah kalau kita mau merenungkan karena berarti kita diajak Tuhan untuk hidup mirip AnakNya. Dan cara Anak TunggalNya hidup di dalam dunia adalah cara yang melibatkan Allah sebagai Allah. Biarlah kita belajar memperlakukan diri kita sebagai manusia dan belajar tempatkan Allah sebagai Allah. Kita perlu Tuhan dan waktu kita tempatkan Tuhan di dalam hidup kita, kita akan tahu bahwa Dia yang merancang hidup, bahkan Dia mendesign kemanusiaan. Kita tidak bisa mengatakan “mengapa Engkau mendesign seperti ini?” karena sangat aneh bagi kita untuk memikirkan ada alternatif lain selain ciptaan ini. Dunia ini tidak sempurna, apa yang kita jalani sekarang banyak cacat dan salahnya karena manusia jatuh dalam dosa”. Tapi Agustinus, meskipun dia tahu manusia jatuh dalam dosa, mencoba untuk mengajak kita berpikir dengan cara yang lain. Dia mengatakan bahwa satu-satunya Allah yang kita kenal menyatakan diri melalui manusia yang Dia design. Tidak ada kemungkinan manusia dapat menjadi manusia dengan cara lain dari cara yang Tuhan sudah siapkan. Maka di dalam Alkitab banyak sekali bagian yang menceritakan kebaikan dari orang-orang yang belum kenal Tuhan, mungkin mereka penyambah berhala tapi mereka baik. Alkitab penuh dengan pernyataan bahwa kebaikan hati manusia merupakan bentuk penyertaan Tuhan. Karena Tuhan topang maka masih ada manusia yang baik, bahkan banyak. Itu sebabnya kemanusiaan masih berjalan sampai sekarang. Ini yang harus kita ketahui dulu, Tuhan itu menopang kemanusiaan supaya kemanusiaan menjadi seperti yang Dia mau. Saudara dan saya tidak rusak serusak-rusaknya itu karena Tuhan. Manusia masih bisa punya hati nurani, orang jahat pun masih punya perasaan enggan untuk menyakiti orang lain, itu dari Tuhan. Maka mengatakan Tuhan tidak ada, itu aneh. Sama seperti orang menyalakan mobil lalu mengatakan “saya tidak percaya mesin mobil itu ada”, itu aneh. Ini sama anehnya dengan “coba buktikan ada Allah”, Saudara mengatakan “kemanusiaan masih jalan, bukankah itu bukti masih ada Allah?” Jadi mengatakan bahwa manusia bisa berjalan dengan otomatis dan tidak perlu Tuhan itu aneh sekali. Fakta bahwa Tuhan menopang hidup kita, menjadi manusia yang masih ada sisi kemanusiaannya, itu fakta yang tidak terbantahkan. Saudara tidak perlu heran kalau ada orang bukan Kristen yang masih baik, “heran ya ada orang Budhis dan masih mau tolong orang lain”, tidak heran.

Berhutang kepada Tuhan

Di ayat 12 dikatakan “kita adalah orang berhutang”. Berhutang identik dengan keadaan seseorang menjadi budak, dibelenggu, dan kehilangan kebebasan. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi budak, mungkin dia papanya punya hutang, dia terpaksa bayar karena papanya tidak sanggup bayar. Waktu dia harus bayar, tidak punya harta cukup. Dalam kesulitan, hukum kuno mengharuskan dia membayar hutang dengan menjadi budak. Semakin besar hutang, semakin besar kemungkinan dia menjadi budak. Makin besar lagi hutang, mungkin bukan hanya dia, tapi anak-cucunya juga akan menjadi budak. Ketika ada orang mengatakan, “Sudah berapa lama jadi budak?”, “Sudah puluhan tahun dan mungkin anakku harus menjadi budak, karena hutang saya sangat besar dan jumlah tahun pelayanan saya tidak cukup untuk cover itu”. Lalu orang itu mengatakan “Kalau begitu saya bebaskan kamu. Saya akan bayarkan hutang kamu kepada orang yang sekarang menjadi tuanmu.”, “kalau lunas berarti saya bebas?”, “iya, kamu bebas.” “Kalau begitu sekarang saya mau memperhamba diri saya kepadamu. Saya mau melayani engkau”, lalu orang yang membayarkan mengatakan “Tidak perlu.”, orang itu mengatakan “Saya pakai kebebasan untuk menjadi hambamu.” Ini hamba karena apa? Hamba karena hutang uang? Bukan, ini hamba karena hutang cinta kasih. Ini adalah orang bebas yang punya level hidup yang baik karena dia sudah dibebaskan, dan dia memperhamba diri karena kasih, bukan karena dia harus membayar hutangnya. Skill hidup yang indah, yang dipahami oleh dunia kuno adalah skill untuk menjadikan Saudara bebas. Kalau engkau punya pikiran yang jernih, punya kemampuan untuk mengajar, kamu orang bebas. Tapi kamu tidak punya skill, kamu tidak punya keahlian apa pun, cuma badan yang bisa dipakai untuk kerja keras, maka kamu menjadi budak. Bagaimana cara supaya tidak menjadi budak? Dapat pendidikan. Semua orang berjuang untuk jadi orang bebas. Dan orang mengatakan “saya mau bebas, saya akan belajar, coba punya harta banyak sehingga saya tidak perlu kerja memperbudak diri untuk penghidupan”. Menjadi bebas adalah sesuatu yang dikejar dengan cara hidup. Mengapa mendidik anak? “Supaya anakku tidak menjadi budak”. Mengapa cari uang? “supaya tidak perlu berhutang kepada orang dengan menjadi budak”. Semua mau bebas, tapi hanya Alkitab yang mengajarkan ada orang bebas yang rela menjadi budak. Siapa itu? Kristus. Lalu siapa lagi? Orang yang beriman kepada Kristus. Ini Roma 8, kita berhutang supaya menjadi hamba. Hamba kepada Dia yang bebaskan kita.” Untuk mengerti ini, kita mesti belajar dari Agustinus. Ia pernah hidup dalam keadaan rusak, kacau, penuh dengan perzinahan, seks, hawa nafsu dilampiaskan dengan bebas. Dia pikir dia bebas, tapi dia dibelenggu dosa. Dia sudah mendapatkan semua, tetapi dia rasa kosong. Agustinus penting untuk kita pelajari karena dia pernah hidup dalam pola pikir salah. Setelah dia menjadi orang Kristen, dia rombak cara berpikir itu dengan menyelidiki Kitab Suci. Dia menyadari Kitab Suci memberikan ajaran yang jauh beda dengan ajaran kosong yang palsu, yang dia dapatkan sebelum dia menjadi Kristen. Dia menjadi Kristen karena dia mendengarkan seorang pendeta bernama Ambros di Milan, ini pendeta penting sekali karena dia satu-satunya hamba Tuhan yang pernah eks-komunikasikan kaisar. Ini hamba Tuhan yang penuh dengan peran di dalam sejarah orang Kristen. Salah satu yang membuat dia terkenal adalah khotbah yang mempertobatkan Agustinus. Biasanya orang cuma mengatakan “Agustinus bertobat karena baca Roma 13”. Baca satu ayat pendek tidak akan mengubah orang kalau dia belum punya pra-pengetahuan sebelumnya baca ayat itu. Dari mana pengertian Kristen Agustinus? Dari mamanya, itu yang pertama. Kedua dari khotbah Ambrosius. Waktu Agustinus ada di Milan, orang terus memberitahunya “ada pendeta punya teknik retorika paling tinggi”. Agustinus sangat tertantang “siapa orang Kristen yang punya retorika tinggi? Aku menganggap Kristen adalah agama untuk orang bodoh.” Maka dia datang dengar khotbah Ambrosius karena ingin membandingkan bisakah orang Kristen punya teknik retorika tinggi dan dia ditaklukan oleh Ambros. Saya khawatir kalau saat ini ada pemuda-pemuda intelektual yang menolak Kekristenan, datang dengar khotbah bukannya dipertobatkan, tapi semakin menghina Kekristenan. Mendengar pendeta ngawur, pidato ini itu tidak ada argumen, cuma menyatakan kalimat yang tidak ada isi. Kalau pendeta khotbah tidak ada isinya, yang intelektual akan terus menjadi pelawan Tuhan dan yang bersalah mungkin hamba Tuhannya. Agustinus mendengarkan khotbah Ambros dan dia mengatakan “ini orang terpelajar, orang ini tidak buang-buang waktu untuk lakukan hal yang tidak penting, dia berhak mengajar”. Sekarang banyak orang berdiri di atas mimbar tanpa kualifikasi apa pun. Apa hakmu berdiri di atas mimbar? “Saya sudah persiapan. Saya baca buku lalu saya hafal bukunya, kemudian saya keluarkan”. Saya tidak mengerti mengapa orang berpikir khotbah adalah persiapan lalu sampaikan persiapan. Khotbah itu sampaikan pola pikir yang sudah lama dibentuk. Itu sebabnya saya terus ingatkan ke diri menjadi hamba Tuhan berarti terus-menerus memperlengkapi diri dengan kelimpahan firman, tidak ada saat longgar, tidak ada istirahat, setiap hari penuhi pikiran dengan tema-tema paling berkualitas. Saudara kuasai pikiran paling berkualitas, baca buku paling penting dalam sejarah, Saudara tidak mungkin tidak punya bijaksana. Kalau saya tanya “kamu sudah baca buku apa?”, buku dari orang zaman sekarang saja saya tahu dia tidak pernah capai hikmat Tuhan berikan dalam sejarah manusia karena hikmat paling besar bukan di zaman ini. Saudara baca Agustinus, dia mengalahkan semua pemikir dan penulis buku zaman sekarang. Tidak pernah baca Agustinus, tidak punya kedalaman. Baca Calvin, baca orang-orang penting di abad pertengahan, pikiran mereka begitu jernih, rohani mereka begitu dalam, tulisan mereka begitu hangat secara spiritual tapi begitu menusuk secara intelektual. Dimana lagi ada seperti itu? Maka semakin senang baca buku populer, semakin dangkal pikirannya. Bukan hanya urapan Tuhan yang diakui sebagai urapan tapi tidak dibackup dengan kemampuan untuk memengaruhi orang secara bijak. Kuasa Tuhan, pengurapan Tuhan dan penyelidikan ilmu pengertian hikmat yang teliti, dipenuhi terus dalam pikiran akhirnya akan mengalir keluar dan memenangkan orang. Maka setelah Agustinus dengar, dia kaget. Satu kali Ambros berkhotbah tentang doktrin penciptaan, ini salah satu yang paling menggugah dia. Dia dengar khotbah ini dan langsung hancur hatinya, “baru sekarang saya mengerti ciptaan itu penting”. Agustinus pernah terpengaruh ajaran manichaeism, segala sesuatu yang fisik, kelihatan, yang ada dalam dunia, rendah, jelek, yang bagus adalah hal yang diluar. Ini pengaruh yang mirip dengan ide dari Socrates dan Plato.

Kalau Saudara membaca Socrates dan Saudara tidak terganggu, itu tandanya Saudara tidak mengerti. Orang tidak mengerti mana mungkin terpengaruh. Tapi kalau Saudara mengerti, Saudara akan sadar “Kalau tidak punya iman Kristen, saya sudah percaya orang ini.” Mengapa Kristen yang benar? Karena iman, itu yang sangat menolong. “Saya percaya Kristus, tidak mungkin melawan Dia”. Itu sebabnya membaca karya-karya penting itu menyenangkan sekaligus bahaya. Tapi kalau Saudara takut bahaya, tidak akan senang. Kalau tidak takut bahaya, Saudara akan tempuh sesuatu yang penting. Saya tidak mengatakan Saudara sembarangan baca lalu akhirnya menjadi goyah imannya, bukan. Tapi harap Saudara mengerti bahwa ketika manusia punya cara berpikir agung, punya kemampuan pengaruhi Saudara, dia layak untuk Saudara jadikan guru, meskipun Saudara tetap menjadikan dia guru dengan sifat kritis. Hal penting akan saya terima dan hal jelek saya buang, itulah mental orang Kristen di dalam tradisi Kekristenan. Tapi banyak orang mengatakan “ayo kembali ke Alkitab, buang filsafat”, enak saja bilang buang filsafat. Tokoh-tokoh penting yang pengaruhi Kekristenan sekarang semua adalah filsuf. Ketika Socrates mengatakan ada dunia ide dan sekarang ini cuma bayangan fisik, jelek dan terbatas. Tujuan segala hal yang fisik adalah membuat kita merenung tentang ide. Ini juga satu argumen yang kuat. Saudara lihat sebuah bunga, bagus, Saudara langsung pikir apa itu bagus. Atau lihat bunga langsung berpikir “ini harganya berapa?”, itu orang yang masih kurang bijak. Orang yang pintar cari uang, tidak tentu bijak dalam mengetahui kebenaran. Uang tidak membuat hidupmu limpah. Uang perlu untuk support engkau, tapi Saudara perlu menjadi limpah bukan karena uang. Maka kalau punya uang, coba pakai untuk hal yang membuat kemanusiaan Saudara muncul. Jangan jadi manusia bodoh yang tidak mengerti apa-apa yang bagus, apa pun tidak tahu. Saudara mengatakan “Ikuti aku, Aku beritakan Injil kepadamu”, harap ingat Injil tidak menuntut Saudara untuk bicara Injil saja, juga menuntut Saudara mempunyai hidup yang layak untuk diikuti. Paulus mengatakan “aku mengikut Kristus, jadilah kamu pengikutku sama seperti aku mengikuti Kristus”. Seluruh kehidupan Paulus akan dibuka dan orang akan mengatakan “saya mau ikut kamu karena kamu orang yang agung”. Saudara lihat di Kisah Para Rasul, bahkan orang yang tidak mau menerima Injil seperti Festus tetap mengatakan Paulus punya kualifikasi dalam segala macam ilmu. Maka Socrates mengatakan “kalau kamu renungkan keindahan di sana, berarti di sini sementara.” Itu sebabnya orang sering menyindir Socrates sebagai yang mengajarkan tentang somethingness. Kalau Saudara melihat seekor kuda, Saudara harus tahu ada kekudaan, mungkin Saudara geli dengan istilah ini, “apa itu kekudaan”, kekudaan adalah sesuatu yang bisa membuat Saudara mengetahui itu kuda.” Ini pengaruh yang kuat sekali, kemana-mana orang pergi mempelajari agama abad 4 sebelum Masehi sampai 2 Masehi, Saudara akan menemukan pengaruh ini dimana-mana. Ini bukan orang sembarangan, pengaruh dia masuk ke mana pun, termasuk ke dalam pengajaran Manikeisme, Agustinus sangat terpengaruh ini. Tapi dia bingung waktu menerima ajaran Manikeisme. “Seluruh hal dalam alam ini evil, tapi kok bagus? Bagus ternyata tetap ada evilnya?”. Maka ketika dia mendengar Ambros mengatakan Tuhan mencipta dan segala hal yang Tuhan ciptakan indah adanya, dia tertarik sekali. Maka dia mulai goyah hatinya dan dia mulai pertimbangkan untuk menjadi Kristen. Sampai akhirnya dia membaca Roma 13 mengatakan “berhenti hidup cemar, mari hidup dengan tidak mabuk karena hari sudah mulai siang”, itu menggugah dia bertobat. Setelah dia bertobat dan menjadi Kristen, hal pertama yang dia mau lawan adalah ajaran Manikeisme, dan dia langsung kaitkan dengan Kejadian. Maka dia menulis buku, “Menafsirkan Kejadian untuk Melawan Pengikut Manikeisme”, itu judulnya. Di situ dia mengatakan “tahukah engkau siapa Allah yang mencipta? Allah mencipta segala ciptaan dari tidak ada menjadi ada”, ini pengertian yang dia coba mengajak kita untuk gali. Kalau segala sesuatu tadinya tidak ada, lalu Tuhan berfirman dan jadi ada, maka Saudara tidak bisa menemukan apa pun di dalam yang ada untuk mempersalahkan Tuhan. Saudara tidak berhak menentukan karena Saudara ada di dalam ciptaan. Dan ciptaan itu terjadi karena Tuhan menjadikannya, tadinya tidak ada. Kalau tadinya tidak ada dan menjadi ada, lalu seluruh ciptaan berhutang keberadaan kepada Allah. Seluruh ciptaan hutang ada dari Allah, “mengapa engkau ada?”, “karena Allah”. Dan seluruh filsafat di dalam tradisi mana pun akan setuju bahwa ada itu lebih baik dari pada tidak ada. “Mengapa bisa ada?”, “karena Tuhan”, “saya bergantung pada keberadaan Tuhan”. Ada dan fungsi itu saling berkait. Tidak mungkin ada “ada” yang tidak berfungsi. Keberadaan ada fungsi, ada guna, ada peran, ada indahnya sendiri. Dan indahnya, perannya dan fungsinya hanya mungkin dipahami kalau kita mengerti bahwa dia diciptakan oleh Allah. Ini pengertian awal dari teologi Reformed yang mengatakan bahwa Allah adalah interpreter yang sempurna atas segala hal yang Dia ciptakan. Itu sebabnya Herman Bavinck mengingatkan kita untuk menyelediki segala sesuatu dan memikirkannya dengan cara Tuhan, to think after God’s own thinking, berpikir seperti Tuhan berpikir. Jangan tentukan sendiri karena segala keberadaan tidak didesign untuk ditafsirkan sendiri terlepas dari Tuhan. Maka Saudara tidak bisa memahami seluruh keberadaan kecuali Saudara memahami apa yang paling penting dari Allah yang Allah mau nyatakan ada dalam ciptaan. Ini perlu perenungan panjang sekali dari Agustinus.

Roh Membangkitkan

Jadi hari ini kita akan melihat apa yang dimaksudkan Paulus dengan berkat Roh Kudus. Di sini ada pengertian yang indah yang berkait dengan Pribadi ketiga dari Tritunggal yaitu Roh Kudus. Dan ini berkait dengan hidup dan juga mengalahkan kematian. Di dalam ayat 9, ada pengertian yang sangat terpisah oleh Paulus di sini, dua pihak yang tidak mungkin diperdamaikan. Yang satu adalah hidup di dalam daging, yang kedua adalah hidup di dalam roh. Ini berarti kehidupan ditafsirkan oleh Kitab Suci dengan cara yang tidak independent. Kehidupan tidak muncul sendiri, Saudara dan saya mendapatkan hidup di dalam cara yang kita terima dengan pasif. Kita baru tahu kita hidup setelah kita memahami dalam kesadaran kita. Kita baru tahu kita hidup setelah seluruh sense, baik itu sense dalam syaraf maupun di dalam memori kita mulai berfungsi untuk menyimpan pengertian yang kita bisa akses kembali. Kita hidup karena kita mendapatkan hidup, kita menerima hidup dari Tuhan. Dan dalam pengertian Kitab Suci, hidup yang kita dapatkan dari Tuhan adalah hidup yang hanya mungkin terus ada dalam relasi dengan Tuhan. Tanpa ada keterkaitan dengan Tuhan, Saudara dan saya tidak hidup.

Perjanjian Lama mempunyai cara yang unik untuk mendefinisikan hidup. Dalam Perjanjian Lama hidup bisa dibagi dalam beberapa aspek. Yang pertama, sesuatu disebut hidup jika dia mempunyai kemampuan gerak. Ada istilah mengenai tanaman, tanaman hidup karena ada kemampuan untuk bergerak, jadi hidup bisa diidentikan dengan gerak. Tapi kemudian ada hal yang lebih dalam, dimana hidup itu berkait dengan kemampuan untuk menerima dan memberikan firman, menerima dan memberikan perkataan. Saudara disebut hidup karena Saudara berkata-kata.  Jadi firman dari Allah menunjukan Allah itu hidup, Dia hidup dan berfirman. Manusia hidup karena manusia bisa terima perkataan Tuhan dan bisa membagikan perkataan. Maka bisa kita tafsirkan bahwa bagi Perjanjian Lama manusia disebut hidup jika dia ada di dalam sebuah komunitas. Ada dalam keadaan bisa memberi pengertian tentang siapa dirinya dan menerima pengertian tentang siapa dirinya. Lalu yang ketiga di dalam pengertian Perjanjian Lama, hidup itu dikaitkan dengan respon kepada Tuhan. Waktu kita bisa berespon dengan benar tentunya, terhadap setiap kalimat yang Tuhan katakan maka kita disebut hidup. Jadi bisa kita tafsirkan menurut Perjanjian Lama, hidup itu adalah ketika Saudara memiliki gerak, atau kalau kita tafsirkan dalam dunia kita sekarang, Saudara disebut hidup secara fisik, secara jasmani ketika tanda kehidupan dari aktivitas tubuh Saudara dan aktivitas otak Saudara bergerak sebagaimana mestinya. Lalu yang kedua, Saudara bisa dibilang hidup karena Saudara memiliki komunitas, memiliki relasi. Ketiga, Saudara hanya bisa disebut hidup kalau Saudara berespon kepada Tuhan. Maka urutan pengertian hidup dimulai dari yang rendah, aktivitas fisik lalu ditambah dengan pengertian aktivitas interaksi dengan orang lain dan ditambah lagi dengan pengertian berespon kepada Tuhan. Tapi mati urutannya dibalik, mati adalah ketika Saudara berhenti berespon kepada firman, dilanjutkan dengan berhenti berkomunitas. Saudara menjadi orang yang bukan mengasihi tapi membenci, lalu yang terakhir adalah kematian fisik. Ini urutan yang sangat penting untuk kita pahami untuk memahami hidup. Berarti hidup adalah sesuatu yang secara natural kita miliki, tapi bukan hanya itu, hidup juga berarti kemampuan kita untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Dan hidup berarti kita bisa berespon kepada Tuhan. Dan kematian menghabiskan semuanya. Ketika Alkitab berbicara tentang kematian, Alkitab berbicara dalam urutan ketiga ke yang kesatu. Ada kekacauan dalam respon kepada Tuhan, itulah kematian. Dan implikasi, akibat kekacauan berespon kepada Tuhan adalah Saudara akan salah di dalam mengkomunikasikan diri dan terima komunikasi orang lain di dalam kelompok Saudara. Ini sudah terjadi pada semua orang, misalnya Kain, dia gagal berespon terhadap firman Tuhan, dia gagal berespon terhadap Habel, dan terakhir dia mati. Maka kematian fisik adalah puncak dari dua hal yang sudah kacau yang terjadi di dalam hidup manusia. Yaitu kekacauan berespon kepada Tuhan dan kekacauan di dalam komunitas, baru terakhir mati. Maka kalau kita memahami hidup dengan cara demikian, maka kita harus memahami kematian sebagai pembalik dari pengertian hidup yang ditawarkan oleh Kitab Suci. Maka kalau kita hanya memahami kematian sebagai punya fisik yang tidak berfungsi, kita cenderung meremehkan dua hal tadi, kegagalan kita menjadi berkat di tengah komunitas, dan kegagalan kita berespon kepada Tuhan. Ini hal pertama, pengertian mati dan hidup menurut Perjanjian Lama.

Hal kedua yang perlu kita ketahui adalah kehidupan di dalam Perjanjian Lama adalah sesuatu yang bergantung, tidak mandiri. Saudara tidak bisa berespon dengan benar kepada Tuhan, Saudara tidak bisa berguna di dalam komunitas, dan Saudara tidak bisa pertahankan tubuh Saudara tetap bisa berfungsi jika bukan berkaitan dengan dua, ini harus pilih salah satu. Yang pertama kaitan kepada Allah, yang kedua adalah kaitan kepada maut. Hidup Saudara itu bergantung. Tulisan Paulus dalam Surat Roma, mengajarkan bahwa dosa membuat keterkaitan kepada Tuhan sekarang pindah pada keterkaitan kepada maut, dan ini yang mengerikan. Ini tafsiran gamblang sekali dari Paulus, kehidupan itu tidak pernah bersifat mandiri. Demikian juga mati, mati tidak pernah bersifat mandiri, ini membingungkan sekali. Berarti apa itu hidup? Hidup berarti Saudara menjalankan sesuatu, yang Saudara jalankan dalam hidup, dengan kebergantungan kepada Allah. Mati berarti Saudara menjalankan sesuatu dengan kebergantungan kepada mati. Dan itu sebabnya kehidupan manusia menjadi kehidupan yang tidak bisa dilihat keunikannya, dibandingkan dengan apa pun yang ada di alam ini. Maka Pak Stephen Tong pernah mengatakan dari benda tidak hidup menjadi hidup, itu ada sesuatu yang tidak bisa dikaitkan, ada perbedaan kualitatif. Kemudian dari hidup menuju kepada hidupNya Allah itu pun ada perbedaan yang secara kualitatif berbeda. Berarti dalam Kitab Suci, Allah menciptakan hal yang tidak hidup, setelah itu mulai memunculkan hidup. Ketika yang hidup bergantung kepada Allah, maka dia bergantung kepada Allah yang memberikan hidup. Berarti dia bergantung kepada sesuatu yang akan membuat hidup menjadi sama dengan yang tidak hidup. Paulus memberikan pengertian kebergantungan kepada maut akan terjadi, akan terlihat ketika hidup Saudara tidak beda dengan keberadaan yang lain, yang mati. Maka kita akan melihat kehidupan manusia yang semakin lama semakin turun dan Paulus menjelaskan ini dalam konsep beribadah. Manusia menyembah patung seperti benda-benda langit, Ini bodoh. Maka di dalam Mazmur dikatakan “sama seperti berhalamu, punya mata tapi tidak bisa melihat, demikian kamu punya mata tapi tidak bisa melihat”. Waktu manusia menyembah patung, manusia menyembah sesuatu yang rendah dan dia menuju pada hal yang mirip keadaan yang sudah mati itu. Ini yang bisa kita lihat dalam pengajaran Paulus, karena bergantung kepada mati, maka hidup kita tidak beda dengan hidup yang bukan manusia, semakin mirip binatang dan makin lama makin mirip dengan sampah, makin mirip dengan hal-hal yang mati. Alkitab menggambarkan kehidupan kita yang semakin mirip binatang buas. Di dalam gambaran Kitab Daniel dikatakan ada binatang yang muncul, binatang ini besar sekali, taringnya begitu panjang, mulutnya begitu lebar, dia mengunyah segala binatang, setelah dia kenyang, dia berbaring di salah satu rusuknya dan rusuk binatang lain yang dia makan masih tersisa di mulutnya. Lalu binatang kedua muncul, ada gambaran kerajaan yang digambarkan sebagai binatang. Binatang kedua muncul dan binatang ini juga sama mengerikannya dengan binatang yang pertama. Binatang ketiga muncul dan binatang ini mengerikan bukan main. Inilah tiga kerajaan yang akan muncul setelah Babel. Tapi ada penafsir yang mengatakan sebenarnya bukan harus disejajarkan dengan kerajaan tertentu. Binatang yang dimaksudkan dalam Kitab Daniel adalah degradasi kemanusiaan, orang yang seharusnya memimpin, dia seharusnya mempunyai wibawa hikmat manusia untuk ditularkan diberikan kepada bawahannya. Tapi kerajaan-kerajaan dunia dipimpin oleh binatang liar, binatang yang cuma tahu menghancurkan, hantam yang lain, mengerikan, kejam, dan jahat. Maka sebenarnya Alkitab dengan caranya sendiri sedang mengatakan “binatang kamu” kepada para pemimpin. Dan ini merupakan bukan hinaan yang tanpa dasar, ini merupakan pernyataan yang akurat tentang diri manusia. Manusia memiliki penurunan dari hidup sebagai gambar Allah menjadi hidup mirip binatang. Sekarang coba kita renungkan hidup itu apa? Mengapa waktu kita jalankan hidup, kita bisa membawa hidup menjadi mirip binatang? Kita selalu memulai dengan ide yang baik, berharap ada hal indah muncul dalam kehidupan. Tapi yang mungkin terjadi adalah kehidupan kita turun, turun terus, bukan mencerminkan tapi justru mewarnakan mati. Ketika Paulus mengatakan hidup yang berdosa adalah hidup yang bergantung kepada maut, berarti kita akan makin lama makin mencerminkan maut yang kita gantungi itu. Maka pertanyaan Paulus yang sebenarnya adalah hidupmu bergantung kemana, ke dagingan, maut atau ke Kristus, Allah? Hidup manusia tidak pernah mandiri, tidak bisa berdiri sendiri. Waktu manusia hidup, dia harus pilih bergantung kepada Allah dan semakin mirip Allah, atau bergantung kepada maut dan semakin mirip maut. Itu pengertian dari Paulus tentang hidup yang ada dua, bergantung kepada Allah, bergantung kepada maut. Ini dua hal yang saya mau kita pahami sama-sama. Hal pertama tadi kematian adalah pembalikan dari respon kepada Tuhan, kehidupan dalam komunitas dan fisik yang berfungsi. Lalu poin kedua yang saya bagikan, kebergantungan hidup kepada Allah atau kepada maut.