Ketika Paulus berbicara tentang Allah yang harus disembah, dia menyatakan sebuah doxology atau ucapan puji-pujian kepada Tuhan. Roma 1: 25 “mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja menyembah makhluk dengan melupakan penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin”. Pencipta yang harus dipuji selama-lamanya adalah kalimat pujian atau doxology kalau dalam pengertian tradisi Kristen. Roma 11: 36, dia menekankan pengertian Allah adalah Pemilik dan juga Penyebab dan yang harus dimuliakan dalam segala sesuatu. Dan dia kembali menyatakan doxology, “sebab segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia, bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya”. Dalam ayat yang ke-5 dikatakan “Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin” Ini adalah kalimat pujian yang dipanjatkan karena kesadaran siapa Allah. Kita perlu menyadari dan mengalami kesadaran ini, menikmati bahwa mengenal Allah itu bukan hanya peristiwa kognitif. Tapi lebih dari itu, pengenalan ini adalah pengenalan yang membebaskan kita dari segala limpahan atau sukacita yang palsu, karena di dalam hidup kita mencari kemungkinan untuk menikmati kebenaran Tuhan di dalam keadaan yang penuh. Saudara ingin hidup dengan segala hal yang membuat penuh hidup kita. Kita tidak ingin menjalani hidup yang stabil dan standar, kita ingin terjadi sesuatu besar di penghujung hidup. Ini jadi keinginan setiap orang, Saudara masih hidup jadi Saudara punya harapan. Pengharapan itu tidak mungkin diprediksi dengan kemampuan mengatur hidup. Hans Weder mengatakan kalau kita punya cita-cita atau rencana depan yang baik, itu bukan pengharapan. Karena pengharapan lebih dari sekedar menginginkan keadaan baik. Pengharapan adalah sesuatu yang hanya mungkin terjadi dari atas atau dari Tuhan. Maka kalau Saudara punya cita-cita, itu bukan pengharapan, karena pengharapan adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi dengan kekuatan manusia. Jika Saudara mengharapkan pengharapan sejati, maka yang Saudara harapkan jauh lebih besar dari yang dikerjakan manusia. Banyak orang salah mengerti antara pengharapan dan cita-cita sehingga keduanya dikacaukan. Pengharapan versi Alkitab adalah sesuatu yang tidak bisa terjadi dari manusia, sehebat apa pun manusia bekerja. Dalam Alkitab, pengharapan itu seringkali terjadi di luar nalar, di luar semua prediksi manusia. Itu sebabnya kita hidup, sebagai orang Kristen, dengan penuh kelimpahan karena pengharapan. Jika kita tidak punya pengharapan, maka kita belum menikmati kehidupan Kristen sejati. Ketika kita sadar bahwa Allah satu-satunya yang membawa pengharapan menjadi nyata, maka kita akan memuji Dia, kita berdoxology. Kita memuji Tuhan karena Dia mengerjakan hal yang tidak mungkin dicapai manusia. Inilah alasan memuji Tuhan, inilah alasan doxology. Jadi kalau ditanya “mengapa memuji Tuhan?”, Saudara harusnya memberi jawaban bahwa Allah yang akan mengerjakan apa yang saya harap, tapi harapan ini adalah harapan yang saya pegang dengan segala hal bentuk pesimisme karena saya tidak yakin ini bisa terjadi, jadi saya berharap kepada Tuhan. Jadi ketika manusia tidak punya harapan lagi, lalu dia berharap kepada Tuhan, begitu Tuhan menyatakan diri, pada waktu itu dia akan memuji Tuhan, itulah alasan berdoxology.
Memuji Tuhan adalah hal terindah bagi manusia. James K.A. Smith mengatakan manusia adalah makhluk yang mencintai dan manusia adalah makhluk yang memuja. Jika kita tidak memuji, kita tidak menyembah, kita bukan manusia. Manusia bukan manusia karena punya rasio, manusia bisa punya rasio tapi tetap tidak jalankan hidup sebagai manusia. Manusia bisa punya kehendak, tapi tetap tidak menjalankan hidup sebagai manusia, ini perkataan dari John Duns Scotus. Dia mengatakan manusia punya kehendak dan itulah hal paling penting yang kita miliki dan jalankan. Jika kehendak Saudara baik, maka hidup Saudara pun baik. Jika kehendak Saudara buruk, maka banyak pengalaman pahit yang Saudara akan alami ke depan, karena Saudara akan didorong oleh keinginan yang buruk itu. Tapi lebih dari itu, James Smith mengatakan manusia adalah makhluk yang menyembah. Kita akan kosong jika kita tidak menyembah, kita perlu menyembah. Siapa yang disembah? Tentu Tuhan. Tapi manusia tidak didesain untuk menyembah Allah yang abstrak. Menyembah Allah yang astrak berarti Saudara menyembah Allah tapi tidak digerakkan oleh pengertian yang tepat. Pengertian yang tepat tentang Allah sangat diperlukan, kalau kita tidak tahu siapa Dia dan kita tidak kenal Dia, kita akan sulit memuji Tuhan. Lalu bagaimana kita mengenal Tuhan? Biasanya orang Kristen akan mengatakan sesuai Kitab Suci, mengenal Allah berdasarkan firman, mengenal Allah berdasarkan teologi yang benar. Itu pun kalimat yang belum dijelaskan dengan lebih detail. Ini kalimat-kalimat slogan yang perlu penjelasan lebih. Kita sering mendengar orang mengatakan “jangan dengar khotbah tentang Allah yang salah, nanti pengenalanmu akan Allah jadi salah, harus dengarkan Dia berdasakan pengenalan yang benar”. Pengenalan yang benar itu apa? Ini perlu penjelasan dan kita tidak membiasakan diri untuk mendapatkan penjelasan. Kita tidak mau dianggap tidak tahu, sehingga kita sulit bertanya, karena pertanyaan akan menunjukan kalau kita tidak tahu. Tapi kalau Saudara memang tidak tahu, apa salahnya dikenal sebagai orang yang tidak tahu? Kalau Saudara mengambil langkah bertanya, mungkin Saudara akan menjadi pahlawan karena semua orang ingin menanyakan itu, cuma semua orang takut ditertawakan, tapi Saudara mengambil kerelaan ditertawakan dan tidak ada yang menertawakan karena semua juga tidak mengerti. Mengenal Allah yang benar berarti Saudara mendapatkan kaitan yang erat antara hidup di sini dengan siapakah Tuhan. Kita selalu ingin menjawab pertanyaan siapakah Tuhan, tapi Saudara tidak bisa menjawab pertanyaan itu tanpa Saudara mengaitkan siapa Tuhan dengan kehidupan kita di sini. Ketika Calvin menulis Institute of Christian Religion buku 1, dia mengaitkan pengenalan Allah dan pengenalan diri sebagai dua hal yang utuh. Saudara tidak bisa mempunyai pengenalan Allah yang abstrak, tahu informasi tentang Dia tapi Saudara tidak tahu apa kaitannya dengan pergumulan hidup. Tetapi Kitab Suci selalu mengaitkan siapa Allah dengan apa yang terjadi di dunia. Ketika Allah menyatakan diri sebagai Allah perjanjian, itu terjadi karena Dia mengikat perjanjian dengan orang Israel. Waktu Allah menyatakan diri sebagai Allah yang setia, itu terjadi karena orang Israel perlu Pencipta yang mendampingi mereka, menebus mereka, dan membawa mereka ke dalam tanah perjanjian, mereka perlu Allah seperti itu, dan Allah adalah Allah yang seperti itu. Jadi tidak ada tema apa pun tentang Tuhan yang tidak berkait dalam hidup. Maka ada dua hal, pertama adalah tentang Allah, kedua adalah tentang hidup. Dua ini berkait, kita tidak bisa kenal Allah kecuali kita kaitkan Dia dengan hidup. Kita tidak bisa tahu apa yang harus dijalankan dalam hidup, kecuali kita menjalankan hidup sebagai sesuatu yang dijalankan demi Tuhan dan bukan diri kita sendiri. Jadi siapa Allah? Pertama Saudara kaitkan pengenalan akan Allah dengan apa yang dialami di dalam hidup. Baru kita sadar bahwa banyak orang salah mengenal Allah, karena mereka salah merumuskan tentang apa yang harus dipahami dalam hidup. Mengapa sulit bagi kita untuk mengenal Tuhan? Karena kita tidak tahu apa yang harusnya kita temui dan jalankan dalam hidup. Ketika ditanya tentang hidup, kita pun bingung jawaban ini. Ini membuktikan kita sulit mengenal Allah jika kita sulit mengenal makna hidup. Tapi bagaimana tahu apa itu hidup kalau kita kaitkan dengan Allah? Mengaitkan Allah dengan hidup adalah hal yang harus terjadi supaya Saudara tidak mengenal Allah secara abstrak. Kalau Saudara tidak punya paralelnya di dalam hidup untuk mengerti konsep ini, Saudara akan mengenal Allah dengan salah. Termasuk kalau meletakkan itu di dalam konteks yang salah, “Allah itu setia karena kemarin saya mencuri dan Tuhan melindungi saya, tidak ditangkap polisi”, itu mengaitkan kesetiaan Allah dengan konteks hidup yang salah. Ini akan membuat Saudara salah mengenal Tuhan dan Saudara akan mengatakan “puji Tuhan untuk alasan yang salah”. Maka hal pertama yang kita perlukaan adalah mengenal siapa Allah dan mengenal apa yang terjadi dalam hidup, apa yang Dia lakukan di dunia ini, apa yang Dia mau terjadi di bumi, apa yang Dia mau terjadi, apa yang Dia atur supaya terjadi di dalam kehidupan manusia. Sehingga pertanyaan tentang siapa Allah harus dijawab setelah kita merenungkan tentang apa yang harusnya terjadi di dalam hidup manusia. Jadi keadaan manusia yang baik menjadi satu pikiran yang harus jelas dulu, baru kita bisa mengagumi siapa Tuhan. Karena kita tidak akan bisa mengenal Dia lebih dari apa yang Dia kerjakan dalam hidup kita. Calvin juga yang mengatakan ini, kita tidak mengasihi Tuhan kecuali kita mengenal Dia sebagai Allah yang melakukan segala kebaikan yang benar-benar baik, bukan kebaikan lewat versi kita yang sempit, itu yang membuat kita mengenal dan bersyukur kepada Dia. Kita berdoxology, kita akan mengatakan “terpujilah nama Tuhan karena hal ini”. Jadi kita perlu bereskan dulu tentang pengharapan manusia.