(Lukas 6: 37-42)
Dalam konsep pengampunan yang Tuhan bagikan, hari ini kita akan diingatkan kembali tentang sudut pandang yang sangat banyak tentang apa itu pengampunan. Kita akan melihat ayat per ayat, dalam ayat 37 dikatakan “janganlah kamu menghakimi maka kamu pun tidak akan dihakimi, dan janganlah kamu menghukum maka kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu akan diampuni”. Ini merupakan bagian ayat yang harus kita selidiki dan pahami dengan utuh. Kita tidak bisa mempunyai pengertian yang cuma satu bagian tanpa melihat keseluruhan dari Kitab Suci. Memahami hal ini mesti melihat kerangka yang utuh bahwa keadilan, penghakiman dan kekudusan Tuhan tidak boleh diabaikan. Maka Saudara tidak bisa menganggap penghakiman sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan karena ini adalah perintah dari ayat 37. Saudara mesti melihat ayat 37 dengan kesatuan bagian yang lain dan tidak ada bagian dalam kitab suci yang mengijinkan kita meremehkan keadilan Tuhan dan penghakiman Tuhan. Itu sebabnya menghakimi itu wajib dikerjakan, memberikan penghakiman itu harus. Tetapi Tuhan Yesus mengingatkan penghakiman mesti dikerjakan dengan 2 hal. Yang pertama dengan pola atau prinsip yang mutlak dan benar. Kalau saya tidak punya prinsip yang mutlak dan benar, saya tidak boleh menjadi hakim. Kalau saya tidak tahu batasan mana benar, mana salah, saya tidak boleh memutuskan perkara seseorang itu benar atau salah. Kalau saya sendiri sangat kabur tentang mana kehendak Tuhan dan mana yang Tuhan benci, maka saya tidak boleh menjadi hakim dalam perkara siapa pun. Inilah hal pertama, Tuhan Yesus mengingatkan untuk memiliki penghakiman yang benar, jangan berdasarkan apa yang kelihatan oleh matamu sendiri, ini dikatakan di dalam Injil Yohanes. Yang kedua, selain kita memiliki prinsip atau konsep tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang tepat mana yang tidak, kita harus mengetahui yang kedua, yaitu penghakiman diberikan setelah sebelumnya sudah ada peringatan dan belas kasihan. Tuhan menghakimi pada zaman akhir nanti, setelah sebelumnya Dia memberikan peringatan dan belas kasihan.
Waktu peringatan dan belas kasihanNya ditolak, maka manusia harus masuk dalam penghakiman. Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa pilihan dan tanpa kesempatan. Tuhan tidak pernah biarkan manusia tanpa ada kemungkinan untuk keluar dari keberdosaannya. Setelah kemungkinan ini pun manusia tolak, maka penghakiman harus datang, setelah seruan pertobatan pun ditolak maka penghakiman pun harus datang. Jadi penghakiman mutlak harus ada. Dan kita pun harus menghakimi dengan standar yang benar dan dengan keseimbangan kasih, anugerah dan peringatan. Tetapi yang dimaksudkan di dalam ayat 37 adalah penghakiman itu harus dilihat dari sisi yang lain lagi. Maka sekarang kita masuk dalam ayat 37, penghakiman dikerjakan bukan dengan “saya menjadikan diri saya standar”, tapi “saya menjadikan Firman Tuhan sebagai standar”. Tapi itu belum cukup karena ayat 37 mengatakan “jangan menghakimi, jangan menghukum, ampunilah”, ini berarti Tuhan menuntut kita tidak selalu menempatkan diri kita sebagai orang yang menghakimi atau orang yang sedang kena kesulitan karena kejahatan orang lain. Kita mesti memikirkan sudut pandang yang lain yaitu kita pun bisa dalam keadaan perlu anugerah, perlu pengampunan. Ini hal pertama yang Tuhan ajarkan, kekuatan mengampuni itu datang dari pengertian bhawa kita bisa dalam posisi perlu anugerah. Waktu orang datang kepada kita dan mengatakan “ampuni saya”, Saudara ingat kali ini dia yang datang kepada Saudara, tapi nanti ada waktu di mana Saudara yang perlu mengemis-ngemis minta ampun kepada orang lain. Ini hal pertama yang Tuhan ajarkan dalam ayat 37. Dan ini hanya mungkin kalau kita mempunyai kejelasan tentang kesalahan orang “saya tahu orang itu bersalah dan saya tahu saya sudah dirugikan. Tapi sebelum saya memberikan penghakiman apa pun saya mesti pikir pernahkah saya pun dalam keadaan perlu belas kasihan. Itu sebabnya Tuhan Yesus pernah memberikan contoh tentang satu orang yang pernah pinjam uang sama raja. Dia tidak ingat waktu keadaan dia sedang mengemis-ngemis memohon untuk mendapatkan pengampunan. Maka Tuhan mengingatkan kepada kita dalam usaha mengampuni bagaimana kita mempunyai kekuatan mengampuni adalah merenungkan hal ini “saya berada dalam posisi perlu belas kasihan”. Apakah ada orang di sini yang belum mengerti ada dalam posisi minta belas kasihan? Karena tidak mungkin kita tidak pernah mengalami ini, kita pasti pernah mengalaminya waktu datang kepada Tuhan. Waktu datang kepada Tuhan dengan penuh dosa, kita mengatakan “Tuhan, ampuni dosa saya”. Di dalam Mazmur dikatakan “jika Engkau mengingat-ingat dosaku ya Tuhan, aku pasti binasa. Jika Tuhan timpakan kepadaku apa yang layak karena dosa saya, saya pasti binasa”. Jadi ini adalah permohonan belas kasihan, Saudara datang kepada Tuhan dengan mengemis, dengan minta mohon Tuhan ampuni. Orang kalau sudah berdosa kemudian datang, tidak mungkin berani mengucapkan kalimat-kalimat terlalu tinggi kepada Tuhan, dia akan rendahkan diri kemudian mengatakan “Tuhan, ampuni saya orang berdosa ini”.
Maka hal pertama yang Tuhan bagikan untuk kita mempunyai kemampuan untuk mengampuni adalah kita mengambil posisi orang yang bersalah, bukan ambil posisi orang yang sedang berhak memberikan penghakiman apa pun. Ini pengertian yang di kandung di dalam kalimat “jangan menghakimi”. Maksud menghakimi adalah jangan terus pikir menentukan nasib orang, sekali-kali pikir bahwa dirimu pun bisa dalam posisi mendapatkan atau memohonkan belas kasihan dari orang lain. Ini hal pertama yang mesti kita renungkan baik-baik. Saudara dalam keadaan yang dirugikan, Saudara mesti ingat ada seorang bernama Miroslav Volf, seorang teolog Kroasia yang sekarang sedang mengajar di Yale, dia menulis buku “The End of Memory” ini buku yang sangat baik dan Saudara bisa lihat ini, bisa pinjam di perpustakaan. Volf mengatakan pengampunan itu seringkali disalah-mengerti, salah mengerti yang pertama adalah kita merasa pengampunan itu bisa diberikan tanpa kita punya sense of right and wrong, itu salah. Saudara tidak bisa mengampuni sebelum Saudara punya sense mana benar dan mana salah. Saudara mesti punya ketegasan, mesti punya pengertian dulu membedakan mana yang boleh mana yang tidak. Sehingga Saudara tahu persis kalau orang bersalah kepada kita, dia sudah melanggar. Dan Volf mengatakan setiap pelanggaran mesti disuarakan. Tetapi ini disuarakan dalam pengertian yang benar, mengampuni tidak berarti tidak menyuarakan, tetapi Volf mengatakan “pengampunan berarti dengan mulut saya complain, dengan tindakan saya tidak menghukum. Saya menyatakan keberatan saya dengan mulut saya, tapi saya tidak menyatakan keberatan apa pun untuk menghukum dia secara tindakan”. Ini adalah salah satu tindakan luas hati yang luar biasa besar. Maka pengampunan berarti mengingat tapi tidak menimpakan apa yang harusnya ditimpakan kepada orang yang melakukan kesalahan. Ini merupakan satu bijaksana, satu skill hidup yang luar biasa berat, dalam dan sangat indah untuk kita jalankan. Bagaimana menjalakan konsep keadilan tetapi mempraktekan pengampunan lebih besar dari pada pernyatakan keadilan. Maka waktu kita bertindak, kita bertindak dengan prinsip kasih dan pengampunan. Tetapi ketika kita merenungkan, berpikir, kita sudah tahu kita disalahi atau dilanggar dalam hal apa. Jadi jangan menjadi tulus dalam segala hal tanpa diimbangi dengan kecerdikan. Biarlah kita tahu kejahatan dunia seperti apa, kebobrokan orang di sekitar kita yang merugikan kita seperti apa, tapi kita memutuskan untuk tidak membalas apa pun. Maka bagaimana supaya tidak membalas? Ayat 37 mengingatkan kita kadang-kadang harus merenungkan waktu posisi kita menjadi korban. Di dalam merenungkan posisi menjadi korban maka kita akan memikirkan tentang pengampunan yang kita minta untuk terima sekarang harus kita berikan untuk orang lain. Dalam Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus banyak sekali mengajarkan poin penting, kita hafal Doa Bapa Kami. Tapi kalau Saudara baca dalam Injil Matius, kesimpulan Tuhan Yesus bukan poin itu, setelah ajarkan Doa Bapa Kami lalu ambil kesimpulan, kesimpulannya adalah “maka jika kamu mengampuni orang lain, Tuhan pun akan mengampuni kamu. Jika kamu tidak mengampuni orang lain, kamu juga tidak akan diampuni”, saya kaget waktu pertama baca, mengapa kesimpulannya justru di poin pengampunan? Mengapa di poin-poin Doa Bapa Kami, yang Tuhan highlight setelah mengajarkan doa ini adalah pengampunan? Dalam Doa Bapa Kami, yang paling penting bukan poin-poin dalam doa itu tapi fakta bahwa doa kita sudah diterima oleh Tuhan. Apa gunanya Saudara punya doa yang begitu indah tapi tidak ada yang dengar. Maka ini yang harus kita pertimbangkan, doa menjadi bernilai karena Tuhan mau dengar. Sehingga waktu saya panjatkan doa itu Tuhan mau dengar. Mengapa Tuhan bisa dengar? Karena Tuhan sudah ampuni kita dan mau dengar doa kita. Jadi konsep pengampunan menjadi sangat penting karena tanpa pengampunan doa sebagus apa pun Tuhan tidak dengar.
Poin kedua dalam ayat 38 “berilah dan kamu akan diberi suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu”. Ini sedang berbicara tentang kebiasaan memberi kepada pengemis. Di dalam budaya Israel tidak ada orang senang jadi pengemis, yang jadi pengemis pasti miskin. Tidak seperti budaya kita sekarang, pengemis tapi bisa beli macam-macam. Di dalam kebudayaan Israel tidak ada yang seperti itu, mereka sangat malu kalau harus mengemis, mereka lebih baik hidup miskin dari pada mengemis. Tapi kalau mati bagaimana? Maka mereka terpaksa minta, tidak ada orang rela minta apalagi memanipulasi permintaan untuk memperkaya diri, sehingga orang-orang yang minta-minta itu benar-benar kesulitan. Maka Tuhan membiasakan dalam Taurat untuk punya belas kasihan kepada orang yang perlu. Tuhan mengatakan dalam hukum Taurat “kalau engkau ambil gandum ikat di karung, lalu masukan karungnya ke gudangmu. Kalau ingat ada karung yang ketinggalan, itu tidak boleh diambil, itu jadi hak orang miskin”. Maka kalau orang pelit mau angkut karung, hitung detail “awas jangan ada ketinggalan satu pun, karena kalau satu ketinggalan itu untuk orang miskin, awas”, jadi dia akan teliti sekali jangan sampai ketinggalan. Lalu kedua, kalau petik anggur, waktu jatuh ke bawah tidak boleh pungut, karena yang jatuh ke bawah itu milik orang miskin, mereka pun sekali-kali bolehlah cicip anggur. Maka waktu orang pelit petik anggur, hati-hatinya luar biasa, ini yang pelit. Tapi yang murah hati sengaja tinggalkan, sudah ikat berkas-berkas gandum. Demikian juga ketika orang miskin ketok pintu rumah memohon gandum atau jagung biasanya, “mohon, saya dan anak saya lapar, bolehkah beri makanan?”, biasanya mereka tidak bawa apa-apa kecuali baju dan baju itu ditadahkan untuk dicurahkan. Setiap orang di rumah itu punya gelas ukur, mereka akan ambil gandum kemudian mereka akan curahkan ke baju yang ditadahkan, karena kalau cuma pakai tangan muatnya sedikit, tapi kalau pakai baju lumayan, makanya bajunya orang saat itu longgar-longgar. Mereka curahkan, taruh di baju, dan orang-orang yang pelit itu biasanya akan ambil sekenanya, karena peraturan mengatakan gelas ukur tidak boleh tangan, karena kalau pakai tangan dianggap menghina orang miskin, dan dapatnya sedikit, jadi mesti pakai gelas ukur. Tapi orang yang baik, dia akan ambil dan lihat kalau masih bisa dipadatkan, dia akan ambil pemadat, tumpuk sampai padat, isi lagi, dia bilang “masih dipadatkan lagi”, maka dia padatkan lagi, masih ada ruangan terus diisi sampai penuh seperti es krim. Sehingga waktu jalan dia akan hati-hati supaya tidak tumpah lalu ditaruh di tempat, diribaan orang itu limpahnya bukan main, melebihi gelas ukur. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat ini, engkau kalau memberi kepada orang memberi seperti apa, kalau engkau memberi dengan dipadatkan, dengan tercurah limpah tidak hitung-hitungan, maka kamu pun akan dapat belas kasihan yang sama. Dan sekarang kita tafsirkan ini atau terapkan ini dalam pengampunan. Maka hal kedua yang Tuhan Yesus ajarkan adalah untuk punya hati yang bisa mengampuni, kita mesti membiasakan diri punya belas kasihan. Gampang kasihan sama orang akan mempermudah kita mengampuni. Tapi kalau kita tidak pernah melatih diri kita dengan memberikan belas kasihan kepada orang lain, kita akan sulit mengampuni, tidak terbiasa, jadi perlu ada latihan spiritual untuk mampu mengampuni yaitu membiasakan melihat orang lain lalu merasa kasihan. Ada orang kalau lihat orang lain jahat langsung tuduh, langsung tangannya tunjuk dan mengatakan “hukum”. Tapi ada orang yang lihat langsung pikir “mungkin keluarganya perlu, mungkin dia kepepet, mungkin”, ini serangkaian mungkin yang muncul di dalam hati orang yang belas kasihan. Dan Tuhan mau kita menjadi orang yang seperti itu. Sehingga ketika kita menghukum, kita menghukum dengan tidak tega, ketika terpaksa menjatuhi hukuman kita tahu ini demi keadilan bukan demi memuaskan hawa nafsu.
Ini bedanya keadilan dengan balas dendam. Keadilan itu bukan supaya aku puas, tapi supaya ada kestabilan di dalam prinsip keadilan Allah. Tapi balas dendam berarti “saya hantam kamu, yang penting saya lega”, ini adalah sesuatu yang jahat. Tuhan mau membiasakan kita untuk tidak punya kebiasaan hawa nafsu untuk melampiaskan amarah dan dendam. Maka Tuhan memerintahkan kita untuk mengubah itu dengan cara bertindak belas kasihan. Ini prinsip Alkitab yang sangat penting, baik di dalam berita Injil maupun di dalam surat-surat Paulus, setiap usaha meninggalkan dosa tidak bisa dilakukan dengan nol, tidak bisa dilakukan dengan menahan diri tidak berdosa, tetapi harus diisi dengan tindakan yang berlawanan dengan dosa itu. Paulus mengajarkan “yang dulunya suka mencuri, engkau tidak boleh mencuri lagi, tapi harus belajar memberi”, supaya Saudara benar-benar lepas dari dosa mencuri, Saudara mesti melawannya dengan memberi, bukan melawannya dengan tidak mencuri. Jadi agama Kristen itu bukan agama negasi. Berhenti berdosa dan melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang biasa kita lakukan. Maka siapa yang kikir mesti bertobat dari kikir dengan cara menjadi orang yang penuh dengan kemurahan. Orang yang sulit mengampuni mesti bertobat dari sulit mengampuni dengan menjadi orang yang murah hati, bukan menjadi orang yang netral. Maka poin kedua untuk mengampuni adalah membiasakan diri untuk punya belas kasihan, membiasakan diri untuk coba memaklumi orang, lalu merasa hati kita perasaan marah digantikan dengan perasaan kasihan. Ini kemenangan, waktu Saudara terus marah-marah, benci, dendam ke orang itu berarti Saudara yang kalah. Tapi ketika Saudara mampu mengganti perasaan ini dengan perasaan kasihan sama orang, Saudara mengalami kemenangan.
Lalu ayat 39 mengatakan “Yesus berkata pula suatu perumpamaan kepada mereka: dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang”. Maksudnya adalah Tuhan Yesus mau menekankan yang Dia ajarkan mengenai pengampunan bukan cuma ajaran tetapi ajakan, ajakan berarti Dia sendiri sudah kerjakan. Jadi Tuhan Yesus bukan pengajar pengampunan tetapi Dia pemberi pengampunan yang mengajak kita juga untuk mengampuni. Sebab Tuhan Yesus di atas kayu salib Dia mengampuni, di atas kayu salib Dia berdoa kepada Tuhan “ampunilah mereka”. Jadi Kristus mengatakan “kalau Aku tidak lakukan, Aku cuma orang buta dan orang buta tuntun orang buta pasti jatuh ke dalam lobang”. Siapa yang bisa menuntun kita lebih baik dari pada Kristus mengenai pengampunan? Maka Tuhan Yesus adalah contoh yang sempurna untuk pengampunan. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan “kalau cuma orang buta yang tuntun kamu mengampuni, dua-duanya akan jatuh ke dalam lobang”, tapi Tuhan Yesus bukan orang buta, karena Dia adalah yang memberi teladan.
Dalam ayat 40 dikatakan “seorang murid tidak lebih dari gurunya, tapi barangsiapa telah tamat akan sama dengan gurunya”. Tuhan tidak minta kita mengampuni dengan cara yang lebih besar dari Dia, tapi Tuhan juga tidak minta kurang. Tuhan mau kita mengampuni sama seperti Dia sudah mengampuni. Maka Tuhan Yesus yang sudah menjadi contoh mengatakan “Aku Gurumu dan kamu lebih rendah dari Aku. Tapi Aku sedang bimbing kamu supaya kamu sama dengan Aku. Dan Aku tidak akan pernah tuntut kamu lebih dari Aku”, ini guru yang baik. Guru yang baik tidak suruh sesuatu yang dia sendiri tidak kerjakan. Tapi guru yang baik akan tuntut supaya orang yang dibimbing sama dengan dia.
Poin terakhir, ayat 41 dan 42, Tuhan Yesus mengatakan “mengapa melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui”. Tuhan Yesus seringkali memakai istilah yang murid-murid kenal dan kali ini Tuhan Yesus pakai istilah dalam dunia pertukangan kayu. Orang yang sedang gergaji kayu, seringkali kesulitan ada serbuk-serbuk kayu yang terbang masuk mata. Maka Tuhan Yesus memakai contoh, ada orang bekerja di tempat pemotongan kayu, tukang kayu, lalu ada serbuk masuk ke matanya, tiba-tiba datang satu orang yang dimatanya bukan hanya serbuk tapi ada balok kayu masuk ke mata. Kita ahli kalau disuruh bikin daftar kesalahan orang. Setiap detail kesalahan orang kita tahu. Tapi coba tulis kesalahan sendiri? Pasti bingung, ini namanya balok tidak kelihatan tapi debu kelihatan. Maka Tuhan Yesus mengingatkan mempunyai kemampuan mengampuni, harus lihat kejahatan, kekurangan dan kelemahan diri lebih besar dari usaha melihat kelemahan orang. Mari kita coba lakukan ini. Di dalam keluarga itu selalu ada kesulitan, tapi satu-satunya kemungkinan kesulitan itu berhenti adalah kalau saya dulu berubah. Saudara minta orang lain berubah, sampai Tuhan Yesus datang kedua kali, dia tidak berubah-ubah bagaimana? Tapi Saudara bisa mengubah diri. Maka sebelum orang lain berubah, diri kita sendiri dulu berubah. Setidaknya ada 50% masalah selesai. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengingatkan jangan lihat debu di mata orang padahal di mata kamu sendiri ada potongan kayu. Coba keluarkan potongan kayu, baru kemudian bisa lihat debu kayu yang ada di mata orang lain.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)