“Bagaimana menjadikan Tuhan bertahta di seluruh bidang hidup saya?” Itulah yang sedang dibentuk oleh Kitab Suci. Jika kita mengerti yang sedang dikerjakan Kitab Suci, kita tidak mudah meremehkan ajaran-ajaran yang dibagikan hanya kita kurang bisa menangkap apa gunanya sekarang. Pdt. Antonius Un mengutip Richard Baxter mengatakan orang Kristen kedagingan senang khotbah-khotbah gampang. Senang khotbah yang gampang karena langsung bisa mengerti. Tapi ketika Saudara membaca Alkitab, sepertinya begitu sulit, asing dan kita mungkin cuma bisa mengerti beberapa kalimat yang kita rasa cukup akrab. Tapi ketidak-mengertian itu bukan karena kita bodoh, cara kita berpikir belum diubah. Pelan-pelan cara berpikir akan diubah dan akan ada satu titik yang saya sebut dengan titik eureka. Itu adalah titik ketika Saudara mengatakan “oh, ternyata selama ini maksudnya ini”, titik ini akan terjadi kalau kita rendah hati mau menerima Firman. Saudara tidak akan menyesal kalau Saudara menghabiskan begitu banyak waktu untuk konsentrasi mendengarkan Firman karena Firman akan mengubah cara kita berpikir dan ketika cara kita berpikir pelan-pelan berubah, ada saat dimana kita mengatakan “ternyata seluruh firman relevan untuk hidup saya”.
Paulus mengatakan bahwa semua orang melakukan yang jahat lalu menghakimi yang lain. “Kamu yang jahat, kamuhakimi orang lain juga”, “memang benar orang yang saya hakimi adalah orang yang dosanya beda dengan saya.” Jadi saya punya dosa, engkau punya dosa, bolehkah kita saling menghakimi? Kalau kita mengatakan “tidak”, maka kita akan masuk ke dalam keadaan masyarakat yang kacau balau. Paulus sangat brilian, tentu kita mengakui hal ini, dia memberikan surat kepada jemaat Roma dengan pergumulan yang bersifat etika, sosial dan politik. Salah satu yang menjadi pergumulan orang Yunani, orang Roma banyak ambil teori Yunani untuk dipraktekan sehingga banyak orang ahli sejarah mengatakan “Yunani adalah bangsa yang berteori, tapi Roma adalah bangsa yang praktekan teori”. Di dalam sejarah Yunani klasik, salah satu yang berpikir sangat tajam adalah Protagoras. Ia dianggap sebagai pencetus atheisme di dalam zaman yang kuno sekali. Protagoras mulai berpikir “mengapa di dalam masyarakat kita ada aturan, yang membuat aturan itu siapa?”, “kalau benar ada lembaga bisa membuat aturan, saya ingin tahu aturan lembaga ini berdasarkan siapa?” pertanyaan susah dijawab. Siapa pemegang otoritas final untuk mengatakan “iya, aturan ini boleh. Tidak, aturan ini tidak boleh”. Lembaga-lembaga memiliki otoritas membuat aturan karena mereka bijak. Bijak itu apa? Bijak berarti mereka tahu mana baik mana salah. Dari mana mereka tahu? Dari bijaksana mereka. Bijaksananya dari mana? Protagoras mulai pikirkan, apakah masyarakat diatur oleh sekelompok orang yang merasa diri berhak menentukan mana baik mana salah. Kalau begitu sekelompok orang ini mesti buktikan apa hak mereka boleh menentukan mana benar mana salah. Mengapa mereka bisa tentukan, mengapa orang bisa tentukan “inilah kelompok yang boleh menentukan mana baik, mana salah”, apakah dari diri mereka sendiri? Jangan-jangan mereka atur sistem supaya mereka untung? Jadi dari mana tahu kalau aturan ini benar? Protagoras sangat pesimis sampai ada orang mengatakan kepada dia “tahu tidak, bijaksana itu dari para dewa, dewa beri bijaksana maka orang bisa bijak.” Tapi Protagoras mengkritik dewa-dewa, makanya dia dibilang atheis. Dia mengatakan “dewa-dewa muncul dari mana? Jangan-jangan dewa-dewa hanya hayalan orang yang mencari keuntungan saja. Kalau dulu orang-orang mengatakan “dewa-dewa berkata”, Protagoras bilang “yakin dewa berkata atau kamu yang berkhayal dewa berkata seperti itu?”, ini membuat Protagoras dihakimi banyak orang “kamu orang atheis”. Setelah itu ada Socrates yang dibilang hal yang sama.