Waktu Martin Luther ada di Worms selalu dikatakan “recant, tarik ajaranmu”, dia mengatakan “yakinkan saya, yakinkan dengan tafsiran dari akal sehat mengenai Kitab Suci. Berikan argumen sesuai akal sehat. Jangan beri argumen otoritas”, Saudara mengerti ini? Martin Luther memberikan kalimat bagus sekali, “jangan pakai otoritas, pakai argumen”. Misalnya kalau saya mengajar Saudara, “Roma 16 mengatakan begini”, “Pak, mengapa begitu? Bapak tahu dari mana?”, “diam, saya pendetamu, saya lebih tahu dari kamu”, itu namanya pakai otoritas. Martin Luther tidak mau terima argumen pakai otoritas. Orang tua pakai otoritas untuk anak. Memang benar ada usia dimana anak harus mendengarkan otoritas, tapi jangan begitu terus. Ada saat-saat dimana Saudara mesti memberikan penjelasan, anakmu masih kecil mau seberang jalan, Saudara mengatakan “tidak boleh”. Mengapa tidak boleh? Coba jelaskan “karena kamu masih terlalu kecil, orang yang bawa mobil tidak bisa lihat kamu. Kamu sudah menyeberang, dia tidak lihat, kamu bisa tertabrak”, ini argumen. Jangan mengatakan “pokoknya papa sudah bicara, thus speak the father”, tidak bisa begitu. Berikan penjelasan, jangan main otoritas. Mengapa GRII khotbahnya lumayan panjang? Saya mengatakan “lumayan, belum panjang-panjang amat. Karena harus memberikan argumen”. Mengapa mesti memberikan argumen? Karena, saya paling tidak dan beberapa hamba Tuhan yang saya kenal juga begitu, kami tidak nyaman hanya menyerukan hal karena otoritas. Saya kurang suka kalau pendeta berkhotbah mengatakan “inilah kebenaran kita sudah sama-sama tahu, jangan nyontek”, ini contoh. Tapi tidak ada argumen, bagi saya itu tidak terlalu memberikan kekuatan untuk saya makin bertumbuh di dalam kebenaran. Jadi Luther mengatakan “coba beri saya argumen tapi jangan pakai otoritas Paus, jangan pakai otoritas konsili. Coba jelaskan dengan akal sehat apa yang Alkitab katakan. Kalau penjelasanmu benar, saya akan tarik ajaran saya. Tapi kalau tidak, tidak bisa karena hatiku sudah terikat ke Kitab Suci. Katakan kepada saya bahwa tafsiranku akan Kitab Suci salah, baru saya akan bertobat”, ini Luther. “Katakan kepada saya bahwa tafsiran saya atas Kitab Suci adalah salah, maka saya akan bertobat”, ini harus kita miliki. Jadi kalau gereja punya pendirian teologi yang benar, Saudara nyaman bergereja di dalamnya. Lalu ada bentur kurang cocok perasaan, kurang cocok ini, kurang cocok itu, mari berdoa sama-sama membuat gereja bertobat kembali di dalam hal yang lebih tidak esensial. Saya tidak mengatakan itu tidak esensial, tapi lebih tidak esensial. Relasi itu esensial tapi tidak seesensial pengajaran yang benar. Karena Saudara ada di dalam keakraban tapi tidak ada pengajaran, itu sama dengan Saudara akrab di dalam sekolah tapi tidak ada kelas. “Saya senang sekolah ini, sekolah ini mengajarkan main bersama. Pokoknya ada taman bermain, taman yang paling indah adalah taman kami”, “bagus, TK apa?”, “ini bukan TK, tapi SMA”, “SMA kerjanya cuma main?”, “karena bagi kami relasi lebih penting daripada ilmu”, Saudara tidak akan masukkan anakmu ke SMA itu.

Demikian juga gereja harus punya ajaran yang kokoh. Maka Paulus mengatakan “jangan dengarkan ajaran salah itu”, “lalu kami mesti dengar siapa?”, “dengar saya, karena saya memberikan argumen. Sudah 15 pasal saya berargumen dari surat ini. Jangan dengar ajaran yang bertentangan dengan ini”. “Lalu 15 pasal yang kamu ajarkan ini, ini kan ajaran?”, “tidak, karena waktu saya tulis di sini ada Timotius, di sini ada Lukius, di sini Yason, Sosipater, Tertius, ada Gayus, ada Erastus dan ada Kwartus. Mereka sepakat ini ajaran yang mesti dinyatakan”. Dan kalau Saudara baca di dalam awal dari surat ini pun Paulus menekankan bahwa dia adalah orang yang dipanggil menjadi rasul. Dan yang sudah dan menyatakan Injil, yang sudah dinyatakan lewat nabi dan Kitab Suci. Ini di awal surat Roma. “Ajaranku adalah ajaran yang sudah ada pada nabi dan Kitab Suci, silahkan cari”. “Ada di ajaran nabi, ada di ajaran Kitab Suci, tapi mungkin taksiranmu salah”, di bagian akhir surat Paulus mengatakan “bersama saya ada salam dari orang-orang ini, Timotius dan lain-lain.” Tentu mereka adalah orang-orang yang sudah dikenal di dalam kalangan gereja, kalau tidak, tidak ada gunanya dibicarakan. Kalau saya bicara kepada Saudara, “Saudara, ajaran saya ini dikonfirmasi sama si Ucok, sama si Butet”, “siapa mereka?”, “temanku sekampung”, tidak ada gunanya. Tapi kalau saya mengatakan “ajaranku juga adalah ajaran Pdt. Billy Kristanto, ajaran Pdt. Ivan Kristiono”, ini membuat Saudara tenang. Berarti yang diajarkan juga disepakati oleh orang-orang yang juga kami kenal ini. Maka Paulus mengatakan “ajaranku adalah ajaran bersama. Kami pikirkan apa yang harus dikatakan dan kami menyatakannya secara sehati. Sehingga kamu jemaat bisa tenang. Biarlah iblis hancur karena kamu berkutat, bertumbuh di dalam ajaran yang benar. Biarlah iblis hancur karena kamu sudah terima ajaran yang benar dan kamu bertumbuh di dalamnya”. Jangan remehkan ajaran, begitu gereja meremehkan ajaran maka harusnya gereja tidak memberikan tempat lagi untuk khotbah. Khotbah jadi tidak penting karena ajaran tidak penting. Akhirnya karena khotbah tidak penting, gereja tidak menata isi khotbah dan juga konten, tetapi menata hal lain yang kurang penting. Seperti musik dan lain-lain, itulah yang menjadi tarikan dan bukan ajaran. Itu sebabnya gereja mesti kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan. Biar kita menjadi gereja yang bertumbuh di dalam kebenaran. Kebenaran yang bukan ditafsir sendiri dari Alkitab. Semua sama-sama pakai Alkitab, tapi tafsiran kita atas Alkitab itu dikonfirmasi oleh orang atau tidak? Adakah argumen yang baik? Lalu adakah orang yang sepakat mengatakan “ini ajaran yang baik, ini yang benar, mari kita pegang”. Kiranya Tuhan pimpin Saudara ada di dalam tradisi gereja yang bertanggung jawab tafsirannya sehingga Saudara bebas bertumbuh di dalam kelimpahan.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

« 8 of 8