Saudara, sebelum saya ke GRII, saya dari gereja lain yang bukan Reformed, lalu saya terus berpikir setelah studi saya mesti kembali ke gereja ini. Satu kali saya di-counter oleh hamba Tuhan, dia mengatakan “kamu mengapa kuliah di Teologia Reformed? Apakah kamu teologi itu sesat?”, saya kaget. Sebenarnya bukan sesat, karena Teologia Reformed diakui sebagai teologi yang Ortodoks, maksudnya yang sudah ada di dalam sejarah, tidak pernah dikatakan Reformed sama dengan sesat. Orang yang mengatakan seperti ini adalah orang yang kurang mengerti sejarah. Sama seperti kita Reformed tidak pernah mengatakan Lutheran sesat. Kita mengatakan ada poin dari ajaran Lutheran yang kita tidak setuju, tapi kita tidak mengatakan mereka sesat. Sesat itu benar-benar harus jelas, ajaran mana yang kita pegang sebagai ukuran, lalu ajaran itu ditentang oleh gereja lain. Benarkah ini ukuran untuk menentukan orthodoxy atau heterodoxy, ortodok atau sesat. Maka jangan sembarangan bicara dan cap sesat. Tapi saya pikir orang ini sudah mengatakan begitu, bagaimana ya? Lalu dia mengatakan “misalnya Reformed mengajarkan predestinasi, itu ajaran bukan dari Alkitab. Itu membuat penginjilan mati”, lalu saya pikir “Pak, gereja kita punya buku sistematik teologi yang di dalamnya mengajarkan predestinasi”, pendeta ini belum baca, saya sudah. Saya mengatakan “di buku yang Bapak minta saya untuk baca, ada predestinasi”, “mana mungkin”, “Bapak coba baca lagi”. Dan dia membacanya, lalu dia mengatakan “memang benar, tapi kita tidak harus selalu setuju dengan ajaran ini”, ini ajaran dia pegang, sekarang dia tolak. Jadi saya merasa gereja tempat saya berada tidak kokoh dalam Pengakuan Iman. Tidak tahu apa yang dipegang, saya mulai goyah di situ. Lalu saya tanya, “kalau saya pegang Teologi Reformed, boleh tidak saya khotbah di sini?”, akhirnya hamba Tuhan itu mengatakan “tidak bisa, kita tidak setuju teologi itu”. Saya bergumul, bagaimana kalau mereka tidak setuju, saya masih ada di sini, mana bisa. Saya mau jadi hamba Tuhan, apakah saya diterima kalau lulus dari sini? Tidak diterima, saya bingung. Waktu itu Ibu Maria Mazo yang mengajak saya bicara karena dia lihat saya pernah sharing sama orang, “saya tidak mau ke gereja, saya mau pelayanan ke kampus-kampus atau sekolah, ke mana aja tapi tidak bisa ke gereja”, “mengapa?”, “karena sulit menemukan gereja yang mau terima Teologi Reformed kecuali GRII dan saya merasa tidak ada panggilan ke GRII”. Jadi saya sudah masuk STTRII, waktu itu masih Institute Reformed, masih merasa seharusnya balik ke gereja saya. Akhirnya Ibu Maria mengajak saya bicara lalu mengatakan “kamu senang tidak mengkhotbahkan Teologi Reformed?”, “senang”, “kalau begitu ke GRII saja. Di sini kalau kamu khotbah Teologi Reformed tidak akan dimarahi. Kamu bisa khotbah sepuas-puasnya, boleh dua jam”, katanya. Ternyata tidak benar, karena setelah satu jam lewat, orang mulai melihat jam. Jadi saya mulai berpikir “kalau begini lebih cocok saya ada di GRII”, itu keputusan yang sulit saya ambil. Dan akhirnya saya putuskan pindah. Waktu saya mengatakan “iya, saya mau ke GRII”, ditanya sama teman “mengapa kamu pindah? Apakah kamu ribut dengan pendeta?”, “bukan karena itu”, “tidak cocok sama jemaat?”, “bukan”. Mengapa sakit hati harus dijadikan alasan? Saudara, kita ini terlalu sensitif kadang-kadang karena kita ada di dalam zaman yang terlalu menonjolkan perasaan. “Ayolah jangan terlalu rasional, ayo perasaan sedikit, ini masalah feeling”, makanya lagu feeling of feeling jadi populer lagi. Jangan terlalu perasaan, perasaan tidak boleh jadi standar untuk keputusan karena perasaanmu harus ditata ulang oleh pikiran yang jernih.