Maka yang Paulus tekankan adalah kalau orang berbangga karena apa yang sudah dia kerjakan, maka dia akan mendapatkan paralel yang tadi, kemampuan setara dengan hasil. Dan kalau kita bawa itu dalam pelayanan kita, kita akan sangat tidak mungkin kerjakan apa pun. Karena Tuhan yang kerja. Ini yang dilihat oleh Paulus. Dan dia lihat bahayanya orang Yahudi yang mengidentikan kekuatan mereka dengan apa yang mereka lakukan. Maka Paulus mengambil contoh, coba lihat Abraham, apa yang Abraham kerjakan. Abraham senantiasa menikmati kerjanya Tuhan, ini yang ada di ayat 4. Kalau orang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah tapi sebagai hak, kamu kerja lalu dapat yang paralel. Tapi Abraham tidak kerja lalu berharap mendapat hasil yang paralel. Abraham beriman bahwa Tuhan akan bekerja dan dia akan melihat hasil yang paralel, bukan paralel dengan kekuatan dia tapi paralel dengan kekuatan Tuhan dan kita akan kaget sekali dengan berapa besar Tuhan sanggup bekerja. Dan ini bisa diaplikasikan kemana pun, Saudara bisa mengatakan “saya ini orang yang penuh dosa, mana mungkin saya berubah”, saya akan mengatakan kalau Saudara berharap dengan kekuatan Saudara memang paralel, kamu tidak mungkin berubah, tidak bisa. Kamu berharap bisa melayani Tuhan, tidak bisa. Kalau pakai kemampuanmu akan paralel, kamu akan menghasilkan hal yang tidak ada artinya. Abraham menikmati pekerjaan Tuhan dan itu yang Paulus mau kita juga sama-sama nikmati.

Ayat 5 “Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran”. Jadi mengapa Abraham benar karena dia tahu Allah akan bekerja lewat Abraham dengan kekuatan Tuhan. Kalau kita lihat dalam perspektif ini maka kita tidak melulu menafsirkan kebenaran versus perbuatan hanya dalam tindakan moral yang tidak berujung. Kita punya banyak sekali pengertian tindakan moral yang sebenarnya tidak berfaedah ke depan. Misalnya ketika orang mengatakan “kamu jangan melakukan ini”, “mengapa jangan?”, “karena itu yang baik”, “baik itu apa?”. Itu sebabnya dalam aliran Immanuel Kant, Kant menawarkan filsafat tentang etika. Etika yang levelnya adalah pokoknya kerjakan demi yang dikatakan baik meskipun kamu tidak mendapatkan hasil apa pun. Mengapa orang tidak boleh mencuri? Karena itu aturannya. Apakah ada kebaikan, ada tujuannya? Tidak ada, pokoknya tujuannya dalam dirinya sendiri. Jadi semua aturan itu ujungnya dirinya sendiri. Mengapa kamu tidak boleh membunuh? Karena ujungnya adalah kamu tidak boleh membunuh. Apa ada dampak yang mau dicapai? Tidak ada dampak apa-apa yang mau dicapai dari jangan membunuh, itu yang ditekankan. Tapi Kant pun akhirnya tergerak untuk membuktikan bahwa semua tindakan etis itu pada akhirnya ada tujuan, ada sesuatu yang mau dicapai. Ketika orang berpikir tentang perbuatan baik lalu memberikan kategori sendiri, dia akan tersesat di situ. Kita akan merumuskan sesuatu yang akhirnya bersifat jinak untuk kita, itu namanya baik. Apa itu baik? Jinak untuk kita, gampang kita tangani, bisa kita kuasai, itu namanya baik. Saya muak dengan konsep baik seperti itu. Baik itu apa? yang penurut, pokoknya kalau ada orang mengatakan apa dengarkan dengan baik. Yang saya mau tekankan adalah kadang orang tidak mengerti bagaimana merumuskan apa itu baik apa itu jahat. Ketika seorang melayani di sebuah sekolah, ditanya “bagaimana anak-anaknya?”, “baik-baik, semua diam waktu dengar khotbah”, diam bukan tanda baik, bisa juga tanda kurang makan, atau traumatik, ini belum tentu baik. Kalau begitu apakah yang liar, loncat-loncat itu yang baik? Tidak juga, maksudnya kita tidak bisa bedakan kategori baik dan jahat hanya dalam hal seperti itu. Baik, jahat itu menjadi tema yang liar kalau tidak kembali ke Alkitab. Alkitab menekankan sekali apa itu baik, baik itu berarti apa yang Tuhan mau terjadi benar-benar diwujudkan. Dan Abraham adalah orang benar karena dia umat Tuhan. Apa yang dikerjakan umat Tuhan? Mewujudkan apa yang Tuhan mau di bumi. Jadi Abraham dibenarkan karena dia akan mewujudkan apa yang Tuhan mau di bumi. Dia harus mewujudkan apa yang Tuhan mau di bumi, dia harus kerjakan apa yang Tuhan mau di bumi, dia harus menjadi apa yang Tuhan mau di bumi, dia harus suci, kudus, hanya menyembah Tuhan, bertindak, dia harus mengerjakan apa yang harus sebagai umat Tuhan. Tapi dia cacat tidak punya anak, tapi dia tahu Tuhan yang akan kerja. Di sini kita mendapat pengertian yang indah sekali, bahwa orang dibenarkan tidak mungkin tanpa dibentuk untuk mengerjakan hal baik yang sesuai Tuhan mau. Itu sebabnya Efesus dengan teliti mengatakan kita disiapkan untuk pekerjaan baik yang disiapkan Allah. Jangan tafsir perbuatan baik berdasarkan pengertian sendiri, berdasarkan pengertian penafsiran yang baik dari Alkitab itu perbuatan baik harus dilihat dengan cara seperti itu. Maka perbuatan baik harus dikerjakan, tapi Abraham yang beriman tahu bagaimana melihat pekerjaan yang baik yaitu melihat bahwa Tuhan akan bekerja. Menyaksikan Tuhan bekerja, menikmati Tuhan bekerja, berbagian di dalam Tuhan bekerja, bersumbangsih karena Tuhan mau pakai di dalam pekerjaan yang Dia mau kerjakan, ini keindahan yang membuat kita tetap bertanggung jawab, membuat kita giat, membuat kita mati-matian kerja, membuat kita memperhitungkan segala sesuatu dengan sebaik mungkin, membuat kita hancur hari kalau gagal dan punya kesenangan kalau berhasil, tapi tidak akan mungkin membuat kita putus asa kalau gagal. Mengapa tidak mungkin membuat putus asa? Karena Tuhan yang kerja. Dan kita tidak akan menjadi orang yang gila dan sombong, sangat ingin dipuji karena kita berhasil, karena kita tahu ini pekerjaanNya Tuhan. “Tidak ada yang hebat dari saya, ini Tuhan yang kerja”. Maka kehancuran tidak akan membuat kita putus asa, keberhasilan tidak akan membuat kita sombong karena kita terlalu menikmati satu hal, menikmati Tuhan bekerja. Salah satu kenikmatan hidup yang paling indah adalah menyadari Tuhan mau memakai kita dan Tuhan menyatakan kemuliaanNya lewat kita. Itulah kenikmatan bersama Tuhan, melihat Tuhan menikmati agungnya pekerjaan Tuhan, menikmati dibentuk oleh Tuhan di dalam kegagalan pelayanan, menikmati dibentuk oleh Tuhan dihajar atau mungkin dicambuk kalau kita malas dan tidak mengerjakan dengan bertanggung jawab. Dalam segala hal kita melihat Tuhan, itu iman. Iman adalah melihat Tuhan bekerja. Di dalam tradisi filsafat abad ke-20 ada seorang bernama Husserl, pengaruhnya besar sekali, kalau selama filsafat sebelum dia selalu berpikir ada diri kemudian ada hal di luar. Husserl adalah pertama yang menekankan tidak ada diri yang tidak mempersepsi. Mengapa Saudara sadar ada diri Saudara? Karena ada yang lain di luar Saudara. Kalau Saudara sadar diri tanpa ada apa pun yang di luar, Saudara tidak mungkin ada. Saudara ada karena ada interaksi dengan ada yang lain. “Mengapa kamu tahu kamu ada?”, “karena saya bisa bedakan diri saya dan lingkungan saya. Saya bukan lingkungan saya berarti saya unik, maka saya sadar diri, justru karena ada sesuatu di luar diri saya”, berarti being berada dan persepsi itu tidak bisa dilepas. Dan saya pikir ini sesuatu yang penting juga untuk kita renungkan ketika kita mau menjadi milik Tuhan. Berada menjadi umat Tuhan dan menyaksikan Tuhan kerja itu tidak bisa dilepas. Begitu Saudara lepaskan ini, banyak problem masuk dalam hidup Saudara. Saudara ingin mencapai kepuasan, kesenangan dan lain-lain dengan cara yang lain, tapi bukan dengan cara Tuhan bekerja. Tuhan bekerja adalah hal yang asing, itu tidak terjadi pada Abraham. Abraham beriman. Mengapa dia disebut beriman? Karena dia menyaksikan Tuhan bekerja dan dia berharap Tuhan bekerja. Harap ini juga yang menjadi dorongan bagi kita untuk hidup sebagai orang benar. Mengapa kita benar? Karena kita di dalam Kristus. Apa yang membedakan kita dengan yang lain? Kita mengharap Tuhan bekerja, kita berharap Kristus dinyatakan melalui kehidupan kita. Bagaimana cara Kristus dinyatakan? Bukan lewat kekuatan kita, tapi lewat kekuatan dari Tuhan yang menyatakannya lewat kita. Kiranya ini boleh menggerakan kita untuk hidup dengan penuh kelimpahan seperti orang-orang beriman yang ada di dalam Alkitab memunyai kelimpahan di dalam hidup mereka.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

« 4 of 4