Kanon sendiri arti sebenarnya adalah tongkat ukuran, yang mana yang kita sadar sebagai Alkitab. Di dalam pengertian orang Kristen, kanon tidak menentukan mana Alkitab mana bukan. Tapi kanon mendeteksi mana tulisan dari Tuhan dan mana bukan. Dan kita tidak membedakan versi yang ada sebagai kanon atau bukan. Seluruh versi surat Roma bagian dari kanon, seluruh versi dari Injil Markus bagian dari kanon. Seluruh versi dari Matius bagian dari kanon. Ini yang harus kita terima untuk membuat kita bertumbuh dan tidak mudah goncang ketika dikatakan “ternyata bahasa asli ada beberapa versi”. Kalau Saudara selidiki dengan lebih detail, seluruh versi yang ada tidak saling membatalkan ajaran, karena seluruh versi itu dari Tuhan. Tidak ada bagian dimana versi mengajarkan satu teologi. kemudian dibantah oleh versi yang lain, ada koreksi teologi, itu tidak pernah terjadi. Dari ratusan naskah dan variasi yang ada, tidak ada yang saling membatalkan pengajaran. Itu sebabnya Saudara bisa melihat ada beragam ending di dalam Injil Markus, ada beberapa variasi, juga ada beberapa variasi di dalam Surat Roma yang umumnya sudah tidak lagi dibedakan. Kalau Markus ada beberapa versi yang masih ambil versi pendek, ada beberapa versi terjemahan yang ambil versi panjang. Nanti kalau Saudara membandingkan Alkitab dari Bahasa Inggris “mengapa di Alkitab ini Markus selesai sampai ayat ini, sedangkan di Alkitab itu Markus selesai lebih panjang, mana yang benar?”, kita mengatakan “keduanya adalah Kitab Suci yang diedarkan di gereja Tuhan dan diterima sebagai Firman yang diwahyukan oleh Tuhan, tidak ada kesalahan di dalamnya. Ini yang kita terima. Maka Roma pun ada dua, yang satu berakhir di ayat 24, yang atu berakhir di ayat 27. Yang mana yang kita terima? Semua kita terima. Maka ending yang indah, Paulus mengatakan “kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu”, dilanjutkan dengan ucapan pujian bagi Tuhan, doxology, bagi Dia yang berkuasa menguatkan kamu, bagi Dia yang sudah menyatakan Injil yang Aku masyurkan dengan mengabarkannya. Bagi Dia adalah kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin”. Jadi setelah Paulus memberkati “kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu”, dia merasa harus ada doxology, ada ucapan pujian kepada Tuhan di dalam eksposisi atau penjelasan Injil. Maka di dalam penutup dari ayat 24 Paulus mengatakan “kasih karunia menyertai kamu”, kamu orang Roma kamu disertai Tuhan Yesus, kamu yang tinggal di Roma dan sudah percaya Tuhan Yesus, kamu tidak akan pernah keluar dari cinta Tuhan. Sangat penting bagi kita untuk punya kepastian bahwa kita dicintai.

Ketika Martin Luther bergumul di biara, sebelum dia menyadari Injil, dia sangat marah hatinya dan dia benci Tuhan. Kalau ditanya “mengapa benci Tuhan?”, “karena perintah Tuhan mustahil dijalankan”. Perintah yang mana? Martin Luther baca Taurat, dia baca seluruh kitab Perjanjian Lama dan dia sadar dia tidak sanggup menjalankan firman. Yang mana yang kamu tidak sanggup jalankan? Martin Luther mengatakan “hukum yang mengatakan Kasihilah Tuhan Allahmu, itu saya tidak bisa jalankan. Saya tidak bisa mencintai Tuhan”, mengapa kamu tidak bisa mencintai Tuhan? Karena Tuhan memaksa saya taat. Saya tidak bisa cinta Allah yang memberikan aturan, karena waktu saya menjalankan aturan, saya terpaksa jalankan supaya saya diterima di sorga. Ketika saya melihat aturan-aturan, saya takut”. Tuhan mengatakan “kalau kamu jalankan, kamu akan selamat. Kalau kamu tidak jalankan, kamu akan mati”. Saya takut mati, karena saya takut mati, saya jalankan Firman. Karena saya takut mati, saya taat. Tapi saya sadar taatnya saya adalah karena saya takut sama Tuhan. Dan takutnya saya membuat saya lebih suka Dia tidak ada. Andai Tuhan tidak ada tidak ada hukuman. Andai Tuhan tidak ada, tidak ada ancaman bagi saya. Andai Tuhan tidak ada, saya aman. Tapi karena Tuhan ada, saya takut. Ketakutanku membuat aku sulit cinta Tuhan. Ini Martin Luther, dia jujur dengan perasaan dia kepada Tuhan. Orang-orang yang mengikut Tuhan pura-pura ikut, yang cuma KTP-nya Kristen tidak peduli Tuhan. Dia tidak pernah mengalami kesulitan membaca Alkitab, dia tidak pernah ada gangguan iman, karena dia tidak peduli Tuhan. Banyak orang yang dapat gangguan di dalam imannya, menjadi ragu, kemudian menjadi bingung bagaimana harus beriman kepada Tuhan, ini seringkali adalah orang Kristen yang sejati. Kalau Saudara mengatakan “orang Kristen sejati tidak pernah ragu”, saya pertanyakan statement itu. Orang Kristen sejati adalah orang yang diteguhkan kembali dari keraguan dia. Mengapa ragu? Karena dia serius dengan Tuhannya. Saya ingat ada satu orang teman waktu saya masih SMA, tidak pernah peduli aturan apapun. Ketika guru mengatakan “mulai sekarang aturannya begini”, dia tenang saja. Mengapa dia tenang? Ada yang terganggu “aturan ini berat, saya mesti jalankan, saya mesti taat, saya tidak suka aturan ini”. Tapi teman saya tidak pernah peduli, ada aturan diubah dia tenang. Mengapa dia tenang? Karena dia tidak bermaksud mentaatinya, dia tidak peduli. “Guru mau membuat aturan apa silahkan, saya tidak peduli. Mau membuat kalau terlambat begini, tidak boleh masuk kelas, who cares. Saya tidak pernah peduli”. Banyak orang mengaku Kristen tidak pernah terganggu imannya karena memang tidak pernah peduli kepada Tuhan. Orang-orang menjadi Kristen tidak pernah tahu apa yang dikatakan Alkitab. Menjadi Kristen tidak pernah serius beribadah, menjadi Kristen tidak pernah sungguh-sungguh mau tahu apa yang Tuhan katakan, menjadi Kristen dan tidak pernah bergumul mau tahu arti dari setiap bagian Kitab Suci yang dia baca. Akhirnya orang-orang ini menjadi Kristen tetapi tidak ada kesungguhan mengenal Tuhan. Ini lain dengan Martin Luther, Martin Luther benar-benar ingin taat. Waktu dia jalankan ketaatan, baru dia sadar “saya taat dengan benci Tuhan. Sebab Tuhan membuat aturan yang rumit, yang sulit. Lalu ketika saya jalankan, saya cuma jalankan demi dapat selamat. Saya tidak mau masuk neraka, saya maunya masuk surga, maka saya manfaatkan Tuhan supaya saya masuk surga. Saya sangat benci Dia karena dia memberikan aturan sulitnya bukan main”. Ini membuat Martin Luther sadar “saya gagal di hukum utama, kasihilah Tuhan Allahmu”. Apakah bisa perintah kasih diberikan kepada orang yang membenci Tuhan? Ini membuat dia sangat stress dan tertekan. Dia perlu waktu lama sekali, dari waktu dia di biara sampai dia pindah ke Wittenberg menjadi profesor teologi di sana, dia menjadi pengajar Kitab Suci. Sudah jadi pengajar di universitas di Wittenberg, dia masih bergumul dengan kondisi ini. Tapi pelan-pelan dia pelajari Surat Roma, pelan-pelan dia pelajari Galatia. Dari dua kitab ini, dari tahun 1515 sampai seterusnya, mulai kerangka berpikir Injilnya tersusun. Martin Luther sendiri sebenarnya kalau kita selidiki dari biografinya, tidak punya satu momen perubahan yang jelas. Martin Luther mengatakan “saya ini berubah waktu di menara. Di menara saya bergumul, berdoa, kemudian akhirnya baca Injil dari Surat Roma, baru sadar ternyata Tuhan mengasihi saya”. Tapi ternyata Martin Luther salah ingat karena waktu dia masih ada di biara, menaranya belum dibangun, jadi dia agak lupa karena sudah tua. Bukan bermaksud berbohong tapi dia cuma ingat sepertinya saya bertobat waktu pengalaman di menara”, tapi menaranya belum dibangun waktu dia ada di biara di situ. Jadi kapan Martin Luther benar-benar percaya Injil kita tidak tahu. Bahkan 95 tesis pun belum menunjukkan kematangan teologi mengenai pembenaran oleh iman. Di dalam 95 tesis dia masih terima purgatory, dia masih percaya manusia perlu dibereskan, disucikan bahkan setelah mati, banyak teologi dia belum matang di tahun 1517 ketika Reformasi dimulai. Jadi Saudara kalau mengatakan “Pak saya kurang tahu kapan saya bertobat, lain dengan Martin Luther”, salah, Martin Luther pun lupa kapan dia bertobat. Jadi sampai di surga baru dia sadar “aduh celaka, saya salah ngomong, saya mengatakan saya bertobat tahun ini ternyata lupa-lupa ingat”. Jadi kapan dia bertobat? Tidak tahu. Tapi kematangan teologi dia perlu proses. Beberapa ahli Luther mengatakan tahun 1526. Reformasi 1517 berarti berapa tahun? 9 Tahun setelah Reformasi baru teologi dia makin matang, baru dia makin mengerti tentang Injil dan penerimaan Tuhan. Maka dia menyadari dari pembacaan Agustinus dan dari membaca Kitab Suci, dia sadar bahwa yang paling penting dari Tuhan adalah Tuhan mencintai dan menerima saya. Kalau saya tidak sadar saya dicintai Tuhan, saya tidak pernah benar-benar beriman.

« 2 of 9 »