Feuerbach mengatakan, “Tuhan adalah hasil proyeksi manusia.” Jika, saudara memproyeksikan ada Tuhan, lalu Saudara kecewa, berarti saudara sedang kecewa terhadap proyeksimu sendiri. Kalau kecewa dengan proyeksi yang lama, mengapa tidak buat yang baru? Mulai dari proyeksi dewa-dewa yang banyak, berubah menjadi Tuhan itu Mahakuasa, setelah itu Tuhan dianggap Tritunggal, lama-lama Tuhan itu berinkarnasi dan lain sebagainya. Tetapi evolusi itu akhirnya berhenti ketika manusia sadar bahwa Tuhan tidak masuk akal, Tuhan tidak masuk sains. Bagi saya ini pemikiran aneh. Manusia sepanjang zaman sudah punya agama, apakah mungkin di dalam periode singkat mereka menyingkirkan agama karena mendadak jadi dewasa? Saya pikir tidak, jadi saya sangat yakin proyeksi manusia tentang kesempurnaan adalah respons manusia terhadap wahyu Tuhan. Manusia tidak bisa memproyeksikan kesempurnaan kecuali kesempurnaan itu benar-benar ada, dia tangkap sedikit percikkan dari kesempurnaan lalu dari percikkan itu, dia membentuk kesempurnaan yang salah. Dia membentuk ilah yang lain, yang tidak sama dengan Tuhan yang asli. Ini yang saya pikir jadi kesimpulan dari pikiran Feuerbach.
Jadi dia mengatakan manusia tidak perlu Tuhan, tapi waktu dia masih lemah dia perlu Tuhan. Tetapi sampai kapan manusia masuk dalam tahap tidak perlu Tuhan? Adakah di antara manusia yang bisa mengatakan “saya tidak perlu Tuhan”? Tidak ada orang mengatakan “hidupku sempurna, penuh sukacita, dan damai, karena itu aku menolak Tuhan.” Tidak ada seorang pun yang berpisah dengan Tuhan dengan damai. Orang Atheis biasanya mengatakan “tidak ada Tuhan” dengan sikap yang penuh kepahitan dan kekecewaan. Mereka kecewa karena Tuhan membiarkan dunia ini kacau atau kehidupan mereka tidak baik. Dan kepahitan di dalam hati sebenarnya menunjukkan ketidak-sempurnaan. Dan ketidak-sempurnaan sebenarnya kalau dipikir secara logis harusnya menggerakkan dia untuk kembali kepada Tuhan, bukan malah meninggalkan Tuhan. Ketika manusia mengatakan “saya tidak mau Tuhan”, dia tetap perlu damai, kesenangan, dan bebas takut yang sebenarnya tidak bisa mereka peroleh tanpa Tuhan, Sang Pencipta hidup. Ini yang tidak disadari oleh banyak bangsa-bangsa dan oleh manusia sepanjang sejarah.
Maka, Paulus merasa adalah panggilan dia untuk menggembalakan bangsa-bangsa kembali ke Tuhan. Bagaimana menggembalakan mereka? Dengan menawarkan rumput yang lebih segar, “Hei, domba kamu makan jadi kenyang atau tidak?”, “Tidak”, “Kamu dapat sukacita?”, “Tidak”, “Kamu dapat bebas takut?”, “Tidak”, “Mengapa tidak?”, Paulus mengatakan “Karena kamu tidak tahu gembala, kamu tidak tahu siapa yang menuntun kamu, kamu tidak tahu siapa yang mengasihi kamu. Kamu sudah lama cari di tempat yang salah. Sekarang saya kabarkan kepadamu berita sukacita, yaitu Tuhan yang saya sembah sekarang mau panggil kamu untuk datang kepadaNya”, Ini berita sukacita yang sekaligus punya otoritas besar. Berapa banyak manusia menolak Tuhan tapi mereka tidak punya alasan yang besar, yang tepat dan yang jelas. Saudara kalau memberitakan Injil kepada orang, Saudara akan menemukan jawaban dia selalu salah, banyak hal yang bolong, tidak konsisten, tapi akhirnya orang akan menjawab “ini bukan tentang pikiran, ini tentang perasaan. Perasaanku tidak bisa didefinisikan, tidak bisa dijelaskan, pokoknya ini yang aku rasa”. Saudara, perasaan memang tidak sepenuhnya bisa didefinisikan dengan kata-kata, tapi selalu ada kemungkinan untuk mendeteksi perasaanmu dengan kata-kata. Itu sebabnya orang yang tidak mau Tuhan selalu tidak punya alasan untuk menolak Tuhan. Kalau dikatakan “saya tidak percaya Tuhan, mengapa Tuhan jahat?”, “Tuhan jahat jadi kamu tidak percaya dan tidak mau menyembah?” “Ya.” Kalau Saudara mengatakan “Tuhan jahat”, coba pikir lagi sejahat apa Dia dan apa benar Dia jahat? Tuhan bahkan mengizinkan kamu lawan Dia, ini justru tanda bahwa Tuhan baik. Alasan Tuhan mengizinkan bangsa-bangsa menyeleweng, menyembah berhala adalah karena Dia baik.