Tapi ada perbedaan besar yang Paulus nyatakan di bagian ini yaitu “engkau tidak punya Tuhan, jadi seruanmu engkau lemparkan ke kosongan, kamu tidak punya Tuhan yang kepadaNya engkau bisa berseru. Dan yang kedua, kamu tidak punya Tuhan yang menjadi manusia untuk berseru bersama-sama dengan kamu. Waktu Yesus berada di kayu salib adalah sangat sulit bagi kita untuk tenang, kalau Dia menyerukan kalimat-kalimat yang superhuman. Bayangkan kalau Dia di atas salib lalu dia mengatakan kalimat yang kita tidak mungkin lakukan, di atas kayu salib Dia tenang, Dia mengatakan “Aku tidak merasakan apa-apa, ini adalah hal yang biasa bagiKu”. Saudara langsung tertekan “saya ini tidak mungkin seperti Dia”. Tentu ada hal-hal yang harus kita kejar, “saya saat ini tidak seperti Yesus tapi saya ingin seperti Dia”, dan itu adalah suatu cita-cita yang wajar kita miliki di dalam kemanusiaan Kristus. “Saya ingin seperti Dia”, itu yang Tuhan mau dan itu mungkin. Kalau Dia berseru kalimat-kalimat yang melampaui manusia yang biasa, kita akan sulit meneladani Kristus. Tapi Kristus menjadi manusia biasa. Kalau Saudara mengatakan “tidak pak, Dia manusia yang luar biasa karena Dia Allah”, itu berarti Saudara salah pengertian iman Kalsedon. Karena kalau Saudara bicara natur ilahi Yesus, jangan campurkan itu kemanusiaanNya, begitu kita campurkan akan menjadi bidat. Banyak orang Kristen tanpa sadar bidat secara Kristologis karena kurang mendalami apa yang dulu sudah digali dalam sejarah. Kalau Saudara bilang Yesus bukan manusia biasa karena Dia Allah, ini dua natur yang tidak boleh dicampur. Saudara tidak bisa bilang Yesus itu manusia yang ada keallah-allahan”, tidak bisa. Dia Allah sejati dan Tuhan tidak suruh kita menjadi seperti Dia di dalam natur IlahiNya. Kalau Tuhan mengatakan “harap kamu jadi seperti Yesus di dalam natur IlahiNya, itu tidak mungkin. Saudara tidak akan bisa seperti Dia sebagai Allah karena Saudara sampai kapanpun tidak akan menjadi Allah. Kalau begitu apa maksudnya meneladani Kristus? Kita meneladani Dia yang menjadi manusia. Maka ketika kita menjadi manusia, kita menjadi orang-orang yang menikmati teladan, mau seperti Dia yang sudah datang jadi manusia. Lalu sebagai manusia, kalau disalib Dia akan merasa apa? Apakah Dia akan meratap kepada Tuhan? Iya. Di atas kayu salib Dia meratap, Dia bertanya kepada Allahnya dengan mengutip Mazmur, sesuatu yang saat indah. Yesus memberikan contoh bagaimana seruan hati kita diwakilkan oleh Mazmur dan Dia pun melakukan itu. Bisa tidak Yesus mengatakan “saya mau berseru hal yang baru, tidak perlu firman yang lama karena Aku adalah Allah, Aku adalah Sang Firman, Aku berhak menyatakan firman yang baru”, Dia berhak. Tapi Dia memutuskan untuk tidak melakukan itu, Dia mengutip Alkitab waktu dia sesulitan dan kesakitan. Dia berseru megnutip Mazmur 22, dia mengatakan “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Itu bukan hanya sekadar kutipan untuk dihafal, itu adalah ekspresi perasaan Yesus yang Yesus memiliki di dalam diriNya dan yang Yesus rasa ada perwakilan di dalam Mazmur. Sebagai manusia, sebagai orang Israel, Yesus mengutip Mazmur disaat sulit, dan itu yang Dia lakukan. Maka Yesus meratap kepada Allah, kepada BapaNya yang di surga dengan mengatakan, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Dan Saudara diundang untuk berbagian bersama dengan Sang Allah yang menjadi manusia untuk berseru kepada Tuhan. Mana ada bangsa lain punya konsep ini? “Aku meratap kepada Tuhan, bersama dengan Dia yang menjadi manusia. Dia mewakili kami, memimpin kami, dan mengajak kami untuk berseru kepada Tuhan”, ini indahnya orang-orang yang sudah menjadi umat Tuhan. Kalau kita belum tahu apa rasanya bergantung kepada Tuhan, rasanya kita menjadi orang yang Kekristenannya masih bergantung di dalam angan-angan ide yang tidak nyata. Dan ide yang tidak nyata sulit untuk menumbuhkan cinta kasih. Plato mengatakan yang ideal membuat kita mencintai. Tapi Kekristenan mengatakan, yang berinkarnasi yang membuat kita mencintai. Mencintai bukan karena ada yang ideal, mencintai adalah karena ada yang rela relasional. Saudara mencintai orang yang ideal, itu cinta kosong. Kagum kepada artis, kagum kepada tokoh, kagum kepada imajinasi itu bodoh. Tapi mencintai yang mencintai kita, itu real. Suami istri saling mencintai itu nyata. Tapi seorang mengagumi, mengangan-angankan orang lain, itu impian yang tidak akan membuat kita puas di dalam kasih. Maka konsep Plato “karena ada yang ideal kita mencintai” diruntuhkan oleh apa yang dikatakan oleh Agustinus bahwa cinta itu menjangkau, bukan mengangan-angankan yang ideal. Cinta itu real, menjumpai, bukan memisahkan diri. Kalau kita melihat konsepnya Plato, kita akan sadar dinginnya cinta kasih menurut teori dunia. Kalau orang mengatakan “aku mencintai yang ideal”, dia berada dalam keadaan dingin, dia berada dalam keadaan hopeless, karena dia tidak mungkin berseru kepada yang ideal. Aristotle sudah membuktikan itu di dalam pengertian selanjutnya. Seharusnya saya mengatakan Platon dan Aristoteles, ini lebih akurat. Aristoteles mengatakan kalau yang ideal itu benar-benar ada dan dia adalah yang sempurna, maka yang sempurna itu pasti bersifat rasio. Rasio sangat ditinggikan oleh orang Yunani. Lalu kalau dia itu sempurna dan dia berpikir (dia=rasio) dia pasti hanya akan berpikir kualitas paling tinggi, karena dia sempurna. Dan kualitas paling tinggi adalah dirinya sendiri. Maka dalam pemikiran Aristoteles yang ideal tidak mungkin peduli yang di luar dirinya, yang di luar dirinya akan mencintai dia mengejar dia, mau mendapatkan dia, tetapi tidak dipedulikan oleh dia karena dia hanya peduli dirinya, karena dirinya sempurna. Kita punya pikiran ingin yang sempurna, lalu yang sempurna punya pikiran yang hanya menginginkan dirinya, ini membuat hidup kita dingin sekali, membuat kita tanpa harapan. Mana bisa berseru kepada yang ideal, kepada yang tidak menjumpai kita. Maka kalau Plato mengatakan “yang aku cintai adalah yang ideal”, orang Kristen mengatakan “yang aku cintai adalah Dia yang mencintai aku lebih dulu, yang datang menjumpai aku, yang berinkarnasi”. Konsep ideal Plato diruntuhkan oleh konsep inkarnasi Kristus. Maka mari kita bersihkan kesalahan berpikir yang sangat banyak dipengaruhi oleh Platon, mari kita kembali ke inkarnasi Kristus. Apa itu ideal? Ideal itu tidak ada guna. Tapi Tuhan kan ideal? Tuhan itu bukan ideal maka Dia menjadi Tuhan. Tuhan itu mencintai maka Dia adalah Allah. Jadi Dia tidak ideal? Tergantung pengertian ideal itu apa. Kalau pengertian ideal berarti dia yang sempurna, yang jauh di sana, yang memikirkan diri saja, yang tidak peduli di luar dirinya yang bukan dia, Tuhan tidak ideal.
Kalau begitu Tuhan itu apa? Tuhan itu sempurna di dalam kasihNya, sempurna di dalam kebajikan, sempurna di dalam kesetiaan, dan ini yang orang Kristen tahu. Maka kita berseru kepada Dia. Itu sebabnya kalau orang mengatakan “kamu menyembah Tuhan dan berseru kepada Dia, bagus. Saya punya berhala dan aku berseru kepada dia”. Maka kita akan tanya lagi “apa kamu yakin kamu berseru kepada yang benar? Apakah yang kamu berseru kepadanya itu rela datang kepada kamu lalu bersama dengan engkau mengalami sulit, mengalami susah, lalu mencontohkan keindahan berseru?”. Salah satu yang membuat ada keindahan dari salib Kristus adalah betapa manusiawiNya Dia di atas kayu salib itu, tentunya manusia yang sempurna, manusia yang tidak dendam, manusia yang tidak murka, tapi manusia yang rentan. Yang ada di atas kayu salib bukan manusia super yang anti sakit, bukan manusia hati batu yang tidak merasa apa-apa. Bayangkan keindahan waktu Dia melihat ke bawah, kemudian dengan perasaan sangat haru, Dia mengatakan kepada Maria bahwa Yohanes adalah anaknya, dan kepada Yohanes, ini adalah ibunya. Yohanes sangat terkesan dengan kalimat ini. Sehingga dia langsung memahami relasi antara orang Kristen satu dengan yang lain seabgai relasi yang dititip oleh Tuhan, bukan relasi yang dibuat secara alami. “Siapa ibuKu, siapa ayahKu? Mereka yang melakukan kehendak Allah itulah ibuKu, itulah ayahKu, itulah saudara-saudaraKu”, demikian kata Yesus. Ada redefinisi akan sebuah keluarga, ada relasi yang lebih dekat dari kondisi biologis, saya punya orang tua, tapi ada sesuatu yang lebih indah dari relasi orang tua secara fisik yaitu relasi di dalam Kristus. Ini sesuatu yang kadang-kadang kita lupakan, kita berpikir bagaimana Kekristenan bisa membuat keluarga kita baik. Tapi mungkin yang lebih tepat lagi kita berpikir “bagaimana keluargaku bisa membuat aku Kristen, sehingga aku menikmati persekutuan dengan orang Kristen juga”, bahkan melampaui apa yang Tuhan percayakan di dalam relasi yang natural. Jadi Yohanes mendapatkan kesan seperti itu, mengapa Yohanes bisa mendapatkan kesan seperti itu? Karena ketika Kristus ada di kayu salib, kerinduan Dia di dalam keadaan hancur adalah supaya orang menikmati korban yang dia lakukan dengan menjadikan satu sama lain saudara. Sebuah pengertian yang sangat mendalam diterima oleh Yohanes. Dan pengertian ini bukan pengajaran teori, tapi Yohanes menemukan keindahan ada Sang Manusia rentan yang mewakili saya, yang mendapatkan anugerah karena dia punya Tuhan. Maka Saudara bisa mengatakan “Kristus adalah Sang Teladan kami karena Dia mengajar kepada kami apa artinya berseru ketika berada di dalam keadaan perlu diselamatkan”. Yesus perlu diselamatkan? Apakah Dia bukan selamat? Bukan selamat dalam pengertian status, selamat dalam pengertian bahaya. Yesus sudah mau mati dan Dia berseru dan Dia mati. Tapi Allah mendengarkan Dia maka Dia bangkit. Yesus mengatakan “Aku tahu Engkau selalu mendengarkan Aku”, dan Dia membangkitkan Lazarus. Dan di atas kayu salib Dia berseru kepada Allah dan Dia tahu Allah mendengarkan, maka Dia bangkit. Petrus mengatakan di dalam Kitab Kisah Para Rasul “karena kesalehanNya Allah mendengar Dia dan membangkitkan Dia”. Jadi Tuhan mendengar doa Kristus dan membangkitkan Dia. Ini yang dimiliki oleh orang percaya, Saudara punya Tuhan berserulah kepada Dia. Seperti apa itu berseru? Lihat Kristus, “Dia kan Allah yang stabil, yang tidak punya kesulitan kami”. Saudara percaya dewa-dewa Yunani yang omong kosong, Saudara harus percaya Kristus yang Firman penuh. Waktu Saudara berbicara tentang Kristus, Saudara akan sadar Saudara sedang berbicara tentang pengharapan bagi manusia yang real yang Saudara bisa alami, yang Saudara bisa bertumbuh menuju kearahnya. Ini bukan kondisi ideal yang jauh dari Saudara, tetapi kondisi real yang Tuhan mau ada pada kita. Itu sebabnya ketika Kristus berseru di atas kayu salib, kita dapat penghiburan, “Engkau pun berseru kepada Allah, saya mau belajar seperti Engkau berseru kepada Tuhan”. Maka Mazmur 33 mengatakan “berbahagia bangsa yang Allahnya Tuhan. Sebab engkau mempunyai Allah yang dari Dialah pertolongan itu”. Dari mana datangnya pertolongan? Dari Tuhan. Daud punya pengertian gunung batu karena dia lari dari 10.000 pasukan Saul yang mengejar dia, dia yang cuma ditemani 600 orang. Saudara kalau berada dalam keadaan Daud, takutnya seperti apa? Kadang-kadang kita tidak bisa punya perasaan yang tertentu karena kita belum pernah alami. Saudara belum pernah mengalami rasanya dikejar orang. Ketakutan seperti itu ketakutan benar-benar mengerikan. Ketakutan yang membuat kita mengatakan “Tuhan, kalau saya bisa lewati hari ini, saya akan jadi orang yang berubah”. Luar biasa mengeringkan. Lalu Saudara mengatakan “saya belum pernah punya pengalaman itu”, baca Alkitab, lalu belajar untuk memahami kalau saya ketakutan seperti apa ya? Ini baca cerita yang baik, cerita membuat kita mempunyai perspektif tentang hidup yang limpah. Orang yang senang cerita, dalam pengalaman orang lain, dalam budaya yang lain, akan menjadi limpah sebagai manusia. Karena dia tidak terkurung dengan kesukaannya sendiri. Saudara ingin mempunyai kesukaan yang berubah, belajar cerita, belajar menikmati cerita. Belajar memahami pergumulan cerita kisah dan ketika Saudara memahami cerita itu indah, kisah itu memperkaya saya, Saudara akan sadar Alkitab itu melampaui semua cerita dalam hal ini. Maka ketika Daud sedang dikejar-kejar, 10.000 kejar dia, yang ada cuma 600, lalu mereka harus sembunyi terpisah-pisah karena mereka tidak mungkin menemukan gua yang bisa menampung semua orang. Sebagian sembunyi di sini, sebagian sembunyi di situ, bayangkan kalau pasukan Saul menemukan 1 gua, lalu kepung gua itu mati semua. Maka Daud dengan beberapa orang sembunyi di sebuah gua dengan ketakutan sangat besar. Lalu mereka cuma tahu berseru kepadaku Tuhan, “Tuhan, akankah Engkau menyelamatkan kami saat ini? Akankah Engkau menolong kami? Akankah Engkau memberikan kepada kami hidup? Bolehkah kami lihat hari esok? Ketakutan ini ketakutan yang benar-benar nyata. Saya sudah akan mati, bolehkan Engkau tolong saya?”, seruan seperti ini seruan yang tidak akan berguna jika dilemparkan kepada kekosongan. Siapa yang akan tolong engkau di atas sana? Maka ketika kita berseru tidak ada yang dengar, itu kasihan sekali. Lalu kita menghibur diri dengan kata-kata kosong, seolah-olah ada yang dengar. Orang yang menyembah berhala, bawa korban berseru kepada kekosongan, kasihan bukan main. Maka ketika orang mempunyai Tuhan, Mazmur mengatakan “berbahagialah kamu karena bukan kekuatan raja yang akan tolong kamu”, Daud tidak bisa minta tolong kepada raja siapa pun. Kalau dia minta tolong kepada Raja filistin untuk menyerang Saul, dia penghianat dan dia tidak berani menghancurkan umat Tuhan karena dia cinta Tuhan. Lalu dia minta tolong kepada siapa? Kepada Saul? Saul itu yang mau bunuh dia, minta tolong kepada panglima Saul. Panglima Saul adalah kaki tangan untuk membunuh Daud, siapa tempat harapan Daud? 600 Orang yang berkumpul pada dia bukan tentara yang sanggup melawan tentara Saul yang begitu banyak. Kalau begitu apa yang harus mereka lakukan? Mereka didesak cuma bisa berseru kepada Tuhan, tapi Mazmur 33 mengatakan justru itu bahagia sejati sebagai manusia, jika engkau terdesak dan sadar cuma bisa berseru kepada Tuhan. Dan waktu itu ada sebuah karakter indah dari orang-orang yang sudah berseru kepada Tuhan yaitu jiwa yang menanti-nantikan Tuhan. Hanya berharap Tuhan tolong, hanya berharap Tuhan kasihan, ternyata ini keunikan mempunyai Tuhan. Bangsa-bangsa bahagia karena mereka bisa berseru kepada Tuhan dan Tuhan yang menjadi pengharapan mereka. Mazmur 33 sangat penting karena kalau Saudara hidup di dalam zaman kita sekarang, baik di dalam usaha, baik di dalam kerjakan ini itu, kita sangat aman dengan yang namanya backing. Kalau hidup dalam ketakutan, mengapa berseru kepada yang akan backing kamu? Tidak perlu backing. “Kalau tidak perlu backing, nanti usahaku dilawan sama usaha orang lain yang juga punya backing bagaimana? Saya mesti punya punya backing, kalau tidak saya akan sulit di dalam berusaha”. Tidak bisa. Minta tolong kepada Tuhan, kerjakan bagianmu yang harus kau kerjakan. Lalu hal-hal seperti ini jangan mau menjadi orang yang mengandalkan kekuatan politik dan militer ataupun kepolisian untuk membuat kita aman. “Bapak bicara tidak realistis”, engkau yang tidak realistis karena kau tidak berTuhan. Jika benar ada Tuhan, maka engkau hanya mungkin tenang jika mengandalkan Dia. Kalau mengandalkan yang lain sulit bukan main. Tapi kan mengandalkan Tuhan bisa dilakukan dengan mengandalkan orang lain? Tidak, Saudara tidak bisa mengandalkan orang lain menjadi penolong Saudara. Kadang-kadang kita hidup di dalam keadaan dimana kita terpaksa harus melakukan apa yang seharusnya kita tidak perlu lakukan. Tapi jangan melakukan itu dengan pengharapan “setelah kamu saya bayar, kamulah harapan saya”. Tidak ada harapan. Harapan hanya mungkin dimiliki ketika kita berseru kepada Tuhan. Kondisi real di dalam negara kita, ketika orang mau mengerjakan sebuah usaha yang baik, selalu diganggu oleh orang-orang yang terus minta keuntungan, terus minta dibayar, kalau tidak akan dipersulit. Minta dibayar kalau tidak dipersulit, itu orang jahat. Orang yang minta dibayar supaya dia bisa tolong dan tidak mempersulit, orang itu pasti akan dihukum oleh Tuhan jika dia tidak bertobat. Maka orang yang terpaksa bayar karena diancam begitu, apa boleh buat, dia adalah korban. Saya selalu lihat orang yang terpaksa mengeluarkan uang karena didesak oleh polisi yang jahat, yang mau minta uang dan lain-lain. Yang harus memberikan uang itu korban. Maka jangan punya pikiran “saya beri uang, kamu jadi pelindung saya”, tidak. “Saya beri uang karena terpaksa, sistemnya begitu kacau. Tapi saya tidak pernah mengandalkan kamu jadi pelindung saya”, itu yang harus kita miliki. Kadang-kadang ada hal yang kita tidak bisa lari di dalam situasi real, tapi jangan berikan hatimu untuk tunduk dan mengandalkan siapapun selain Tuhan.