Jadi Krestologi, ucapan-ucapan spektakuler tentang diri hamba Tuhan. Lalu eulogi, ucapan-ucapan spektakuler tentang jemaat itu adalah cara paling efektif untuk membuat seorang jadi menarik. Kalau dengar Paulus, kita selalu dikatakan dosanya, lalu kita disuruh bertobat. Kalau dengar pendeta ini, mengapa kita bisa jadi senang? Ternyata kita ini spesial”, akhirnya orang pindah. Gereja pecah bukan karena organisasi beda tapi karena ajaran beda. Itu sebabnya Saudara perhatikan untuk kehidupan bergereja kita sekarang, adakah gereja pecahkan diri dari gereja lain secara organisasi atau secara ajaran? Kalau secara ajaran, waspadai. Kalau Saudara mengatakan “untung kalau gereja pecah, itu ajarannya-ajarannya masih bagus, yang lain-lainnya tidak. Jadi tidak apa-apa gereja pecah. Yang pentingkan ajarannya masih bagus. Ajaran bagus tapi musiknya tidak, ajaran bagus ibadahnya tidak, ini sesuatu yang aneh. Karena ibadah harus ada dasar doktrinnya, Saudara kalau memutuskan mau pakai musik apa misalnya, itu mesti ada penjelasan yang sehatnya mengapa pakai musik ini dan saya ragu penjelasan menyenangkan manusia adalah penjelasan yang Alkitabiah. “Mengapa pakai musik ini? Karena orang senang. Mengapa tidak boleh? Kalau orang senang, boleh dong”. Saya rasa itu bukan penjelasan yang tepat untuk liturgi dan ibadah. Karena di dalam Kitab Suci konsisten dinyatakan ibadah adalah satu-satunya aktivitas yang sepenuhnya untuk menyenangkan Tuhan dan dari situ kita dapat berkat. Mengapa kamu dapat berkat dalam ibadah? Karena Tuhan berkenan hadir, karena Tuhan senang. Kalau begitu coba berikan argumen Tuhan senang jenis musik ini, baru kita bisa oke-kan musik itu diterima. Kalau Saudara mengatakan “musik kita kurang ramai instrumennya, cuma piano, kurang bagus. Coba tambahkan listrik, tambahkan drum, tambahkan yang lain-lain”, saya akan minta dengan hormat coba jelaskan alasan yang sehatnya mengapa perlu pakai ini dan alasannya harus kita sepakati ibadah untuk menyenangkan Tuhan. Coba beritahukan kepada saya mengapa drum membuat Tuhan lebih senang? Apakah di sorga Tuhan juga dengarnya Led Zeppelin? “Di surga Tuhan dengarnya Led Zeppelin, di sini kita kasi piano, Dia mana mau dengar. Mari kita berikan musik yang mirip Led Zeppelin”, seperti itu kan? Tuhan di surga dengan Beatles atau Tuhan di surga dengarnya K-Pop, maka mari kita membuat musik yang lebih mendekati itu”, itu argumen yang tidak masuk akal. Coba pakai pikiran sehat selalu minta orang menjelaskan, jangan langsung marahi orangnya. Kalau ada orang mengatakan “saya mau kritik musik di GRII”, silahkan, apa yang mau dikritik? “Saya pikir musik di GRII terlalu banyak menekankan individu dan Tuhan”, misalnya. “Benar juga, terlalu banyak aku dan Tuhan. Nanti kita tambahkan lagu-lagu yang menekankan komunitas”, misalnya, ini contoh. Atau Saudara memberikan argumen “ibadah kita musiknya itu terlalu dominan”, misalnya, “sepertinya pianonya terlalu keras dan singer-nya terlalu keras sehingga jemaat nyanyi pun tidak dengar suara sendiri”, ini masukan yang bagus karena ibadah adalah sesuatu yang bersifat komunal. Saudara dilibatkan menjadi peserta, bukan dilibatkan menjadi penonton saja. Kecuali ketika berinteraksi dengan firman, Saudara menjadi pendengar. Maka argumen-argumen seperti ini perlu kita dengar. GRII harus menjadi gereja yang mau terima masukan, jangan jadi gereja sombong yang cuma tahu “saya benar, orang lain pasti salah”. Tapi kalau masukannya tidak sound, tidak sesuai akal sehat apakah kita harus terima? “Ayo pakai musik yang sesuai dengan selera anak muda”, sepertinya ibadah harusnya tidak begitu. Kalau kamu mau punya pesta ulang tahun yang memikat anak muda, silahkan, tapi ini tidak bisa diterapkan di gereja. Ini yang harus kita pahami, ada hal-hal tidak bisa diterapkan di ibadah. Saudara hobi main bola, bukan berarti di dalam kebaktian ini kita akan berikan ada bola dilempar, Saudara tangkap. Kalau nanti Saudara sudah bosan dengar khotbah, mendadak ada orang tendang bola ke Saudara supaya Saudara segar lagi, tidak bisa. Jadi ada banyak hal yang penting di tempat lain tapi tidak bisa dilibatkan di ibadah. Saudara menjadi dokter, Saudara melayani orang sakit di klinik, Saudara tidak melakukan itu waktu ibadah. “Sekarang kita masuk ke dalam pemeriksaan tensi. Ibadah berikutnya setelah pujian kedua pemeriksaan tekanan darah. Mari dokter-dokter periksa tekanan darah dari jemaat”, tidak ada di ibadah seperti itu. Harap ini kita pahami. Mari pikir baik-baik, kalau gereja pecah karena doktrin, karena ajaran demi mempopulerkan pendeta yang baru, demi mempopulerkan seorang pemimpin yang baru, itu bahaya bagi gereja. Kalau gereja terlalu toleran mengatakan “kami punya aliran beda dengan aliran utama”, gereja itu ada dalam bahaya. Sedih sekali melihat kalau gereja yang tadinya aliran Injili makin terpikat ke dalam tradisi Karismatik hanya demi alasan popularitas. Mengapa alasan popularitas menjadi alasan utama? Coba berikan argumen yang sound mengapa popularitas itu penting. Popularitas itu penting bagi setan. Di dalam Kitab Suci, ayat 20 Paulus mengatakan “semoga Allah segera menghancurkan iblis”, ini berkait dengan argumen tadi. Gereja pecah karena ada pemimpin mau pecah. Mengapa mau pecah? Karena dia mau populer sendiri, dia mementingkan perutnya, dia mau jadi hebat. Bagaimana cara jadi hebat? Buat ajaran Krestologi yang menekankan pentingnya dia, berikan ajaran eulogi yang menekankan pentingnya jemaat. Tidak memberitakan firman akhirnya gereja pecah. Hati-hati, itu mirip setan. Jadi Saudara coba pikirkan baik-baik, saya berkhotbah bukan cuma untuk GRII tapi juga harap ada orang dari gereja lain mendengarkan demi gerejamu. Kalau Injil tidak diutamakan, ajaran Alkitab yang sehat tidak diajarkan, ajaran yang sesuai dengan Alkitab yang dipahami secara argumen berdasarkan akal sehat tidak dibagikan, itu gereja mau ke mana?

Gereja Injili gampang terpikat tradisi gaya Karismatik, karena gaya Karismatik begitu populer. Tapi popularitas itu bukan hal yang utama. Mengapa kejar popularitas? “Supaya jemaatku bertumbuh”, apa gunanya jemaat bertumbuh secara artifisial? Saya ingat ketika kita adakan KPIN di Beteleme. Beteleme itu Betlehem versi Sulawesi Tengah, orang Sulawesi Tengah mengatakan Betlehem jadi Beteleme. Di Beteleme itu kita adakan KPIN di lapangan di pinggir jalan utama, trans Sulawesi. Ini sangat seru, jadi Saudara menyeberangi jalan untuk siapkan KPIN, lalu ada orang tanya “Pak ini kan Pak Tong lagi khotbah, kalau ada orang lewat naik mobil, itu kita hitung mendengar khotbah juga tidak?”, tentu dia hanya bercanda dan saya tahu dia bercanda, saya cuma ketawa menanggapinya. Tapi kalau benar itu dilakukan, itu kan angka artifisial. Apa gunanya membanggakan diri dengan angka artifisial? “Berapa jemaat yang mendengar khotbah?”, “8,000”, “dari 8.000 berapa yang benar-benar mengerti?”, “8”, berarti tidak ada gunanya 8.000. Jadi kalau kita mengatakan “mari kita membuat gereja kita besar”, pertanyaannya adalah bagaimana cara membuat gereja besar? Pak Tong pernah sindir seorang panitia dari Luis Palau, waktu itu Luis Palau mau datang, ada panitia mau membuat besar kebaktian itu. Luis Palau seorang pengkhotbah yang sangat baik, tetapi Pak Tong mengingatkan “in order to big what you must compromise? Supaya jadi besar kamu kompromi apa? Hati-hati, jangan kompromi, kalau kompromi membuat kamu besar, itu besar artifisial, itu besar pura-pura. Itu seperti Saudara taruh foto artis di Facebook Saudara, tidak ada gunanya. “Saya tidak punya pacar, saya ingin dikenal orang, saya mau punya akun Facebook atau akun Instagram supaya saya dikenal laki-laki yang ganteng dan laki-laki ganteng mau nikah dengan saya”, lalu Saudara taruh foto artis, tidak ada gunanya. Nanti orang naksir Saudara karena dipikir Saudara mukanya mirip artis itu, setelah dilihat ternyata tidak. Saudara mirip artis itu setelah dia ketabrak truk, jadi ini bukan fakta. Waktu Saudara lihat diri dipoles dengan cara yang artifisial, tidak ada gunanya. Waktu gereja jadi besar secara artifisial juga tidak ada gunanya. GRII Bandung nanti akan punya tempat 1.300 orang, lalu kita isi dengan cara apa? Dengan cara artifisial? Tidak ada gunanya, yang dengar khotbah berapa? “8.000”, yang benar-benar dengar berapa? Mungkin 8. Ada orang mengatakan “di Bandung ada khotbah-khotbah yang sampai 4000-5000”, itu masih kecil di Youtube begitu banyak orang, puluhan ribu, ratusan ribu. Lalu saya mengingatkan yang dengar, kita lihat di situ ada 3.000, 4.000, 5.000, banyak dari mereka cuma dengar semenit itu sudah masuk hitungan. Jadi di Youtube itu tidak bisa jadi patokan, sudah dengar khotbah? Tidak, mereka cuma akses satu menit lalu bosan, klik yang lain, itu sudah termasuk hitungan. Jadi dari ribuan orang yang nonton, berapa yang nonton dari awal sampai akhir? Mungkin cuma berapa puluh. Lalu berapa yang benar-benar mengerti? Mungkin cuma berapa belas. Kalau begitu apa gunanya bangga dengan angka yang besar? Itu sebabnya kalau gereja mengatakan “saya mau jadi populer, Kekristenan harus berkembang di Indonesia”, tolong Kekristenan berkembang dengan cara yang esensial bukan dengan cara yang artifisial. Maka kalau gereja Injili terlalu tertarik sama gereja Karismatik, saya mau tanya satu hal, apa kontribusi gereja Karismatik di dalam perkembangan Kekristenan di Indonesia? Ini tolong dijawab. Kalau Saudara mengatakan “massa yang besar”, apakah massa yang besar itu tanda ada kontribusi? Setelah itu massa yang besar kenal apa, massa yang besar mengerti apa tentang Tuhan, massa yang besar itu dibuat mengerti Alkitab seberapa besar? Atau jangan-jangan massa yang besar itu dikucilkan dari mendengar khotbah yang benar, terus diberikan khotbah yang bersifat Krestologi bukan Kristologi, yang bersifat eulogi, bukan bersifat faktual menegur dosa. Kalau terus diberikan sanjungan, diberikan pengertian muluk-muluk, diberikan “kalau kamu beriman, kamu tidak mungkin sakit”, ini gereja akan membuat Kekristenan berkembang secara artifisial, secara palsu. Tolong kembali kepada fakta, jangan terlalu banyak ditipu dengan hal yang muluk-muluk dan palsu.

« 8 of 9 »