Bagaimana Dia menang? Mengapa Kristus menang? Karena Dia rela taat. Inilah pengertian yang indah, yang dibagikan dalam satu buku dari Soren Kierkegaard, dia menulis buku Sickness unto Death. Kierkegaard banyak merenungkan tema-tema Alkitab, dia pemikir yang agung sekali. Dia memikirkan kematian Lazarus, waktu Yesus akan pergi ke Betania, murid-murid mengatakan, “Kami dapat kabar bahwa Lazarus yang Engkau kasihi sakit.” Tapi Yesus sengaja tinggal lebih lama di kota tempat Dia tinggal. Mengapa tidak buru-buru datang ke Lazarus? Kemudian Dia mengatakan kalimat yang membuat Kierkegaard merenung, “penyakit ini tidak membawa kepada kematian. This sickness was not unto death.” Kematian ini bukan menuju kematian. Tapi setelah itu Yesus sendiri yang kabarkan, “Lazarus sudah tidur,” murid-murid mengatakan, “Untung dia tidur. Dia bisa sembuh,” “Bukan, tapi dia sudah mati.” “Mati? Tapi Engkau baru bicara penyakit ini tidak akan membawa kematian. Sekarang Engkau bicara Lazarus sudah mati,” bagaimana bisa mensinkronkan ini? “Penyakit yang membawa kematian tidak akan membawa kematian, Engkau mengatakan seperti itu. Sekarang Engkau mengatakan mati, berarti penyakit itu membawa kepada kematian?” “Tidak, karena Aku akan membangkitkan.” Maka, Kierkegaard mendapat insight yang bagus sekali, kematian kalahkan manusia, karena Kristus tidak hadir. Tapi kalau Kristus hadir, maka kematian pun membawa perubahan yaitu kebangkitan. Ini sesuatu yang unik. Maka dia merenungkan tentang sickness unto death, dan dia tulis buku itu. Penyakit yang membawa kepada kematian. Dia mulai bergumul tentang kesenangan sekaligus ketakutan kita terhadap tema kematian. Mengapa tema kematian begitu banyak bertahan di dalam setiap kebudayaan? Semua kebudayaan ada cara untuk memakamkan yang mati dan caranya selalu ada filosofi di baliknya, tidak ada yang tidak. Kalau ditanya “mengapa kau kuburkan orang, mengapa bakar, mengapa bakar di tengah laut, mengapa lakukan ini?” “Ada filosofinya.” Bahkan kebudayaan dari Indian Amerika Selatan yang memakan yang sudah mati pun ada filosofnya. Mengapa yang mati dimakan? “Supaya terus berbagian di dalam aku.” Kita tidak mengerti bagaimana manusia membuat kebudayaan yang sebenarnya sangat erat kaitan dengan kematian. Itu sebabnya Kierkegaard merenungkan tema ini, memikirkan kematian adalah bagian penting dari kebudayaan.