Filipi 2: 5-11, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!.”
Kita sudah membahas mengenai kerelaan Kristus untuk kehilangan kemuliaan yang dipancarkan setara dengan Allah. Dia mengambil pernyataan pancaran dari seorang hamba. Dan di dalam pengertian dari Kitab Suci, terutama di dalam surat Paulus, ternyata ini adalah cara menyatakan diri yang sangat agung dari Tuhan. Martin luther menyadari ini di dalam Heidelberg Disputation, dia mempunyai tema teologi yang sangat penting bahwa mulianya Allah adalah mulia yang tidak diantisipasi oleh manusia. Tidak ada yang sangka bahwa ternyata kemulian Allah dinyatakan lewat kerendahan. Allah mulia? Iya, tahu dari mana Dia mulia? Karena Dia rela rendahkan diri. Waktu Dia rela kosongkan diri, Dia bahkan rela mati di kayu salib, ini adalah kemuliaan tentang Tuhan yang tidak pernah ada dalam pikiran manusia. Ini kita sudah dengarkan di pertemuan yang lalu, ketika manusia memikirkan tentang Tuhan, maka manusia punya satu insting bahwa Tuhan itu adalah yang paling tinggi. Maka beberapa pemikir sudah menyatakan ini misalnya Blaise Pascal mengatakan di dalam diri manusia ada kerinduan akan yang tidak terbatas dan agung. Juga di dalam pengertian dari Anselm di abad pertengahan, dia mengatakan bahwa Allah adalah yang paling tinggi yang pikiran manusia bisa pikirkan. Demikian juga dikatakan oleh seorang yang meskipun seorang atheis, tapi tetap mengikuti jalur pikiran yang sama, yaitu Ludwig Feuerbach yang mengatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi kesempurnaan yang memang manusia miliki. Jadi manusia memikirkan tentang Tuhan yang tinggi dan besar dan agung.
Kitab Perjanjian Baru memberitakan tentang Tuhan yang rendah, yang hina, yang rela kosongkan diri. Bagi Paulus ini adalah sesuatu yang melampaui kemampuan manusia berpikir, ini paradoks. Waktu kita berpikir, Tuhan lebih tinggi dari yang mampu kita pikirkan, ternyata arah pikiran kita tentang mulia pun salah. Apa itu mulia? Paling tinggi itu mulia. Tapi Yesus mengatakan bukan, paling tinggi itu bukan mulia, paling tinggi itu kalau sudah mulia rela merendah itu baru tinggi. Sudah tinggi rela turun, itu baru tinggi. Sudah agung rela hina, itu baru tinggi. Dan ini tidak mampu dipikir oleh manusia. Itu sebabnya Paulus dan Luther memiliki konsep berpikir yang tidak ada pada manusia lain. Tuhan tidak bisa kita pahami dengan sepenuhnya, karena kita terus berpikir yang mulia itu pasti tinggi, kalau kedudukanku tambah tinggi, aku tambah mulia. Kalau aku tambah hebat, aku tambah mulia. Kalau aku tambah diakui, aku tambah mulia. Kalau karierku makin naik, aku makin mulia. Tetapi ada perkenalan tentang kemuliaan Tuhan, yaitu kemuliaan yang rela turun, kemuliaan yang rela kehilangan kemuliaan, kemuliaan yang rela kehilangan ketinggian posisi sebagai Allah dan mengambil posisi sebagai budak. Kita mempunyai konsep tentang budak yang kadang-kadang dikacaukan dengan kata hamba, karena hamba jadi seperti perkataan mulia. “Siapa engkau?” “hamba Allah,” “Wah, hamba mulia,” tidak ada konsep hamba mulia di dalam Alkitab. Alkitab pakai kata doulos, servant, atau bahkan slave. Jadi, di sini Tuhan yang mulia mengambil posisi manusia paling rendah.
Filipi adalah kelompok manusia yang sangat menyukai tradisi Romawi, mereka bangga diakui sebagai kota yang penting bagi Roma. Dan mereka bangga bahwa mereka mengadopsi begitu banyak budaya Roma. Meskipun kota Filipi didirikan oleh seorang raja Makedonia dan ada di dalam wilayah Yunani, tetapi mereka sangat bangga mempunyai kedudukan yang diakui oleh Romawi. Sehingga semua gaya pikir Romawi, kebudayaan Romawi, semua cara berpikir tentang masyarakat sosial dari Romawi itu sangat dianut oleh orang Filipi. Dan mereka tahu lapisan-lapisan dari masyarakat, ada kelompok warga Roma, ini kelompok paling tinggi. Orang dapat anugerah dianugerahkan kewargaan Roma ini merupakan kewargaan penting yang hanya mungkin didapatkan oleh kelahiran, kalau memang ada di kota Roma. Atau mendapatkannya lewat keturunan karena ayahnya adalah seorang warga negara Roma. Ini level kewarganegaraan nomor satu. Kalau Saudara bukan orang Roma, dianugerahkan warga Roma berarti Saudara punya jasa besar sekali bagi kekaisaran Roma. Di level kedua adalah warga umum dari Peninsula Italia. Level ketiga adalah warga federati, ini adalah warga yang dianggap orang Roma karena menjadi tentara bayaran. Level 4 adalah warga luar yang kebetulan hidup di dalam wilayah yang dikuasai oleh Roma. Level bawah yang bahkan tidak masuk di dalam jajaran 4 tadi adalah budak, budak tidak perlu disebut. Hamba tidak perlu dimasukkan dalam level masyarakat karena statusnya sebagai manusia pun dianggap tidak penting, tidak dianggap manusia seutuhnya, ini manusia level paling rendah. Baik di dalam budaya Roma ataupun di dalam budaya Yunani, maupun di dalam budaya Israel budak adalah posisi rendah yang tidak dihargai sama sekali. Namun Kitab Suci memberikan posisi yang unik pada budak yaitu di dalam Kitab Yesaya, Sang Mesias yang adalah Raja seluruh kitab di dalam Perjanjian Lama menggambarkan Mesias sebagai Raja. Sang Mesias, Sang raja digambarkan sebagai budak di dalam Kitab Yesaya.
Yesaya adalah kitab yang mendahului cara berpikir Paulus, tentu Paulus banyak dipengaruhi oleh Yesaya. Maka Yesaya menggambarkan tentang Sang Mesias yang digambarkan sebagai hamba, “Hamba-Ku yang setia.” Inilah Mesias. Allah mengatakan, “Hamba-Ku akan berhasil, Dia akan ditinggikan karena Dia pernah jadi rendah.” Dia pernah mengalami keadaan yang manusia tidak mau ambil keadaan itu. Dia pernah berada dalam keadaan buruk sehingga kita mengatakan, “Saya tidak mau nasibku seperti Dia.” Dia tidak mempunyai figur yang bagus karena penuh dengan derita. Dia tidak mempunyai tubuh yang baik karena penuh dengan luka dan Dia tidak punya keadaan yang baik karena Dia sedang direndahkan dan mau dimatikan. Tetapi, Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia dihancurkan oleh karena kesalahan kita, bilur-bilur yang Dia terima membuat kita sembuh. Ini adalah Sang Hamba yang menderita, tema yang sangat agung dari Yesaya. Hamba menderita, memang wajar hamba menderita. Semua hamba di bumi menderita. Mana ada hamba yang sukses hidupnya. Lalu ketika ditanya, “Kamu hidupnya sukses?” “Iya, saya sangat sukses.” “Apa yang kamu lakukan?” “Saya jadi hamba,” tidak ada. Maka kedudukan hamba memang selayaknya disejajarkan dengan penderitaan. Tetapi ternyata Yesaya berbicara tentang figur yang sangat agung. Dia berbicara tentang Sang Mesias. Mengapa Mesias jadi hamba, mengapa Mesias mau disiksa, mengapa ini digambarkan oleh Yesaya? Tidak ada penjelasan lebih detail dari Yesaya. Yesaya hanya menjelaskan bahwa oleh di bilur-bilur Dia kita sembuh, oleh kondisi hina Dia kita sembuh. Tetapi, Paulus menangkap tema ini dan Paulus mengatakan bahwa setiap orang Kristen mesti belajar dari Kristus yang rela mengosongkan diri dan menjadi hamba. Ini bukan hina, ini kemuliaan, yang rela jadi hamba itu orang paling mulia.