Lalu yang kedua, nama Tuhan diidentikkan dengan Israel, maka israf berlindunglah kepada Tuhan. Sekarang kita tidak mengerti apa itu berlindung kepada Tuhan karena kita juga tidak mengerti apa itu memuji Tuhan. Kita tidak mengerti apa itu meratap karena kita tidak mengerti apa itu doxology. Doxology jadi ilmu pengertian yang kita taruh di kepala, tapi tidak pernah jadi insting pertama kita. Siapa tidak tahu memuji Tuhan, dia juga tidak tahu bagaimana berlindung kepada Tuhan. Orang narsis mana bisa berlindung kepada Tuhan? Karena segalanya tentang diri. Dia tidak berlindung kepada Tuhan, dia berlindung tentang proyeksi dia tentang Tuhan dari dirinya, ini dikritik Feuerbach. Feuerbach mengatakan bahwa semua orang pada akhirnya akan jadi atheis, karena proyeksi Tuhan mereka sebenarnya dari diri, lama-lama mereka akan sadar “yang aku sembah dari Tuhan sebenarnya adalah sifatku yang aku mutlakkan. Aku punya sifat mutlak aku taruh di Tuhan. Lama-lama saya lihat Tuhan ya lihat saya”, ini namanya bukan manusia diciptakan berdasarkan gambar Allah tapi Allah diciptakan berdasarkan gambarku pribadi. Feuerbach sebenarnya adalah guru Kekristenan yang penting meskipun dia atheis, karena dia peringatkan orang Kristen, “hei orang Kristen, agamamu agama asli atau palsu? Kalau agama palsu, berarti Tuhanmu palsu. Karena Tuhanmu itu cuma proyeksi dari kemuliaanmu. Kamu ingin mulia dan kamu taruh kemuliaanmu pada Tuhan”. Banyak orang mengatakan “aku berlindung kepada Tuhan”, tapi dia tidak mau repot-repot kenal Tuhan. Orang-orang dari tradisi Karismatik selalu gampang mengatakan “terpujilah Tuhan, aku mau berlindung kepada Tuhan”, tetapi mereka bahkan tidak mau kenal Tuhan, tidak ada doktrin yang penting bagi mereka, yang penting bagi mereka adalah berkat, doktrin tidak penting. Padahal doktrin membuat orang kenal Tuhan, berkat itu adalah efek tambahan yang Tuhan berikan kepada kita yang kita dapatkan karena anugerah Tuhan. Maka siapa tidak mau kenal Tuhan, dia bukan orang Kristen. Itu sebabnya siapa mengatakan “nama Tuhan identik dengan saya, Tuhanlah segalanya, bukan saya”, siapa biasa memuji nama Tuhan, dia akan menikmati Tuhan jadi perlindungannya, dia akan menikmati Tuhan jadi Kota Bentengnya, dia akan menikmati Tuhan menjadi gunung batunya. Daud adalah orang yang dari remaja tahu bagaimana memuji Tuhan, “apapun dalam hidup saya adalah untuk kemuliaan Tuhan. Nyawaku Silakan ambil demi kemuliaan Tuhan”. Sekarang tidak banyak orang berseru seperti ini. Ketika diskusi dengan satu rekan waktu masih sekolah teologi, saya mengatakan kepada rekan “saya tidak keberatan mati bagi Tuhan, kalau Tuhan mengambil nyawa saya demi Dia, saya rela. Saya mau siapkan itu”. Saya dengar Pak Tong mengatakan “Tuhan ambil nyawa saya untuk Engkau”, maka dia menjadi hamba Tuhan. Saya mau tanya diri sebelum saya masuk sekolah teologi, saya siap mati bagi Tuhan atau tidak? Kalau tidak, jangan melangkah masuk sekolah teologi. Akhirnya saya masuk lalu saya diskusi dengan teman saya mengatakan “saya siap kalau Tuhan mau saya mati untuk Dia”, lalu teman saya mengatakan kalimat bijak “itulah bodohnya banyak orang, dia tidak siap pun akan mati”. Saudara mengatakan “saya tidak siap mati bagi Tuhan”, apakah dengan mengatakan tidak siap mati bagi Tuhan, Saudara jadi hidup kekal”. Ada orang bertanya “umur berapa?”, “umur 302”, bagaimana bisa? Karena aku tidak siap mati bagi Tuhan makanya aku hidup terus”. Banyak orang tidak siap mati bagi Tuhan, tapi nanti akhirnya mati juga. Makanya aneh bagi saya, “siap mati untuk Tuhan?”, “tidak”, “selamat, kamu akan sampai 1.000 tahun”. “Bapak siap mati untuk Tuhan?”, “tidak siap”, “berarti nanti akan 10.000 tahun”, ini contoh. Jadi tidak ada gunanya Saudara mengatakan “saya tidak berani mati untuk Tuhan, saya tidak siap”, tidak siap juga tetap mati, jadi lebih baik belajar siap. Ini penting, belajar siap dengan kematian. Kita ini hidup di dalam zaman dimana obat-obatan sudah canggih, perawatan sudah canggih, sehingga mau tidak lagi menjadi ancaman bagi kita. Minggu lalu saya sharing ketika tahun 2015 KKR Regional, naik ojek dan ojek itu lewat jembatan yang goyang terus. Saya pikir “ini ojek kalau goyang stangnya, lalu ada kayu-kayu sudah patah, sudah hancur, dia goyang lalu jatuh, mati tidak ya? Sebelum saya tanya ojeknya sudah jawab “pak baru berapa hari yang lalu yang mati disini”. Akhirnya saya sampai kembali ke rumah pendeta, saya mengatakan “Ibu Pendeta katanya ada jembatan yang mengerikan?”, pak, banyak anak yang setiap hari lewat situ, banyak orang lewat situ, mau-tidak mau. Mereka setiap hari berurusan dengan maut, lalu kita mengatakan “untung saya tidak”, kata siapa? Kita juga tiap hari berurusan dengan maut. Ancaman maut bagi Saudara mungkin bukan ancaman jembatan, tapi ancaman double cheeseburger. Makin makan, jantung tersumbat, tiba-tiba besok mati. Jadi maut sangat dekat dengan kita, mari siap mati. Jangan terus abaikan fakta bahwa kita akan mati. Semakin kita abaikan fakta bahwa kita akan mati, makin kita tidak menikmati hidup. Apa tidak terbalik? Pasti bener, bukannya kalau saya abaikan kematian semakin menikmati hidup? Tidak, karena kematian menjadi titik akhir dari rancangan hidup saya. Saudara mesti punya target sebelum mati mau kerjakan apa, lalu kejar itu. Sebelum mati harus lakukan apa? Saudara kejar itu. Saya sangat ingin dalam doa pribadi saya mau kembali kunjungi tempat yang pernah saya datangi, saya pernah diminta menangani KKR Regional atau KPIN atau kebaktian Pan Tong di mana. Atau saya perlu diundang menjadi pengkhotbah rally doa untuk KPIN di manapun. Saya ingin lagi datang ke tempat itu. Saya pernah lihat Aceh, saya pernah datang ke Sumatera Utara karena KPIN dan acara Pak Tong. Saya pernah datang ke daerah Batam dan Kepulauan Riau Saya pernah kemana-kemana. rindu sekali untuk kunjungi. Akhirnya mulai ada perasaan dalam hati “sebelum mati mau kunjungi lagi semua tempat ini membuat kebaktian disebut, membuat KKR kalau bisa”. Saudara jadi punya target sudah menyadari bahwa hidup harus diisi dengan apa, tapi makin kita abaikan kematian, makin kita pikir kita mau hidup seribu tahun, makin tidak jelas arahnya. Makin hari dibuang, makin nganggur makin dibuang-buang waktu. Siapa mengatakan “Tuhan hidupku di tangan Tuhan, matiku di tangan Tuhan, justru ada arah hidup in?”. Ini bukan sombong “bapak sombong ya? mengatakan siap mati untuk Tuhan”, bukan sombong, tapi memberi arah bagi hidup, ini penting sekali. Itu sebabnya siapa yang terbiasa memuliakan hanya nama Tuhan, dia juga dapat berkat boleh menjadikan Tuhan tempat perlindungannya, “di dalam Tuhan aku berlindung, di dalam Tuhan aku aman”. Daud dikejar-kejar maut dan dia mengatakan “Tuhan, bolehkah aku berlindung kepadaMu?”. Tuhan mengatakan “pasti bisa, karena engkau sudah terbiasa memuji Tuhan. Mengapa begitu? makin Saudara terbiasa memuji Tuhan, makin Saudara tahu muliaNya dia, makin tahu mulianya Dia, makin Saudara aman didalam dia. Yang tidak biasa puji Tuhan, tidak mengerti mulianya Tuhan, karena pengertian kita bukan pengertian menerima, pengertian kita adalah pengertian komunal. Ini prinsip yang banyak orang tidak tahu “apa itu belajar? belajar itu berarti sudah ada dalam sebuah komunitas yang Saudara terima, Saudara komunikasikan kembali” itu baru belajar. Saudara belajar apa, Saudara menghafal itu tidak bisa menjadikan sudah mengerti. Saudara menerima, Saudara tanya, ini membuat Saudara belajar. Saudara kenal Tuhan tetapi Saudara tidak mengungkapkan dalam doxology yang murni. Saudara tidak mengatakan “Tuhan Engkau agung karena engkau menciptakan segala sesuatu”, ini pengulangan. Saya mengetahui melalui memuji Tuhan, “oh Tuhan aku memujimu”, mengapa Puji Tuhan? Sebab engkau adalah Allah yang besar, Engkau adalah Allah yang agung, Engkau adalah Allah yang mulia, ini yang saya tahu saya keluarkan kembali ke Tuhan. Saya makin beriman kepada Tuhan yang adalah mulia, yang agung, yang adalah besar. Makin kenal Allah yang mulia karena memuji Dia, makin saya tenang waktu saya meratap kepada Dia. “Tuhan Engkaulah gunung batuku”, kata Daud, dan Daud menjadi tenang karenanya. Ini nama Tuhan, maka Israel dilatih untuk hanya punya nama Tuhan untuk dimuliakan dan hanya punya nama Tuhan sebagai tempat perlindungan. Dari semua konsep inilah saya harap kita mulai belajar tentang nama, baru dari situ apa yang dikatakan di dalam Filipi 2 menjadi bermakna, di dalam nama Yesus. Karena setelah Israel, ada satu peristiwa yang belum lagi pernah terjadi dalam sejarah yaitu nama Tuhan dan nama manusia satu. Siapa Kristus? Allah. Siapakah Kristus? Manusia. Siapa Dia yang namaNya menjadi nama di atas segala nama? Ini yang akan kita di pertemuan berikutnya. Hari ini kita sudah belajar latar belakang pengertian nama, dan berikutnya kita semakin mengerti mengapa Filipi mengatakan “di dalam nama Yesus bertekuk lutut segala sesuatu, di dalam Dia, Tuhan karuniakan nama di atas segala nama”. Hari ini sampai disini. Kiranya Tuhan pimpin kita makin mengerti Kitab Suci dengan cara yang indah dan limpah.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)