Apa tugas manusia? Tugas manusia adalah lanjutkan rancangan Tuhan di dalam kedaulatan penetapanNya. Apa yang Tuhan tetapkan akan digenapi oleh manusia. Tuhan akan kerjakan lewat manusia. Seluruh hal yang Tuhan rancang akan terjadi, tetapi not without human being, tidak tanpa manusia. Segala hal Tuhan akan digenapi lewat manusia. Jadi penciptaan manusia sangat khusus. Tuhan ciptakan manusia karena Tuhan punya rancangan membuat seluruh ciptaan menjadi ciptaan yang baik, menjadi ciptaan yang dimenangkan untuk Tuhan. Tapi siapa bisa lakukan itu? Karena Adam sudah jatuh dalam dosa, kejatuhan Adam di dalam dosa menggoncangkan pengertian tentang gambar dan rupa Allah. Di dalam sepanjang sejarah mulai dari Agustinus sampai abad 21, orang terus berpikir tentang siapa itu gambar Allah. Tokoh pertama yang saya baca di dalam sejarah gereja, tokoh pertama yang mengumulkan tentang manusia itu Agustinus. Siapa manusia, nafasnya dari Tuhan, jiwanya perlu Tuhan, tapi siapa kita? Kita adalah makhluk paling indah di mata Tuhan. Tapi kita juga adalah makhluk paling buruk di mata Tuhan. Tidak pernah ada makhluk ciptaan yang membangkitkan murka Tuhan sebesar manusia. Pernahkah ada tertulis Tuhan melihat iblis, tindakannya begitu kacau maka Tuhan sakit hatiNya? Tidak ada. Tapi manusia berdosa, kacau, hati Tuhan sakit. Maka Agustinus mengatakan manusia indah karena Tuhan menempatkan manusia berelasi dengan Dia. Tetapi manusia juga sangat menyedihkan Tuhan, sangat menghancurkan hati Tuhan, yang paling Tuhan cintai sekarang menjadi yang paling Tuhan benci. Lalu tokoh terakhir adalah Michael Walker, di dalam buku tentang doktrin manusia, dia mengatakan setiap kali kita melihat kejahatan manusia, kita langsung bingung tentang apa itu gambar Allah. Apakah orang ini bisa disebut gambar Allah? Kita pakai contoh Hitler bunuh begitu banyak orang, inikah gambar Allah? Ketika orang-orang kejam menghancurkan sesama manusia, inikah gambar Allah? Apa itu gambar Allah? Maka ada pergumulan di dalam sejarah gereja mengenai siapa gambar Allah. Kita tidak dengan mudah memahami keindahan manusia karena manusia sudah begitu dalam dirusak oleh dosa. Kadang-kadang ketika Saudara berelasi dengan seorang manusia, Saudara menemukan bahwa makin Saudara kenal dia dengan dalam, makin Saudara sulit untuk menemukan konsep gambar Allah yang sejati. Ketika kita berpikir lagi tentang apa itu gambar Allah, dia mulai pikir gambar apa itu apa? Bisakah Saudara melihat manusia dan mengatakan “puji Tuhan gambar Allah yang sejati”? Tidak bisa. Tapi mengapa manusia tetap disebut gambar Allah? Ini pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Kita masih gambar Allah? Iya, karena kita disiapkan untuk ditebus. Kalau kita disiapkan untuk ditebus, berarti orang yang tidak ditebus bukan gambar Allah? Dia gambar Allah yang rusak, gambar Allah mengandung potensi. Kalau di dalam buku Peta dan Teladan Allah, Pak Tong mengingatkan manusia punya potensi, gambar Allah punya potensi ditebus, setiap orang punya potensi ini. Tapi kalau dia keras hati, dia menolak Injil, maka potensi tetap cuma jadi potensi. Saudara bisa punya potensi mempunyai pengetahuan yang banyak, tapi kalau Saudara malas belajar tidak ada gunanya. Saudara bisa punya pengetahuan yang limpah andaikan Saudara mau baca lebih banyak. Tapi karena Saudara malas baca, pengetahuan limpah itu cuma potensi. Saudara punya potensi jadi atlet, tapi karena Saudara cuma nongkrong di sofa sambil makan snack, Saudara tidak pernah bisa jadi atlet. Saudara punya potensi jadi presiden, tapi karena Saudara terus melakukan tindakan-tindakan yang jahat, maka Saudara sulit menjadi seorang pemimpin yang baik. Setiap manusia ada potensi, tapi kalau potensi cuma potensi, ya berhenti di situ. Banyak orang bangga dengan potensi, tidak ada gunanya bangga dengan potensi. Potensi tidak ada guna kalau tidak dimurnikan, potensi tidak ada guna kalau tidak dimunculkan. Pikiran ini pertama kali muncul di dalam diri seorang bernama Aristoteles, dia sangat sulit menerima ajaran Plato. Dia adalah murid Plato dan dia sangat kagum dengan Plato, dia sangat ingin belajar dari Plato tapi dia sulit menerima doktrin dari Plato atau ajaran Plato yang mengatakan ada dunia ideal di luar sana dan kita cuma pecahannya, cuma bayangan semu. Kalau kita cuma bayangan semu berarti kita nothing. Maka bagi Aristoteles, inti dari keberadaan itu bukan ada di atas, tapi inti dari keberadaan ada di dalam bentuk potensi. Jadi potensi itulah yang ideal tapi belum muncul. Mengapa Aristoteles ngotot seperti ini? Karena dia berpikir penyelidikan alam tidak ada gunanya kalau ternyata yang ideal itu ada di sana. Di mana keindahan yang ideal? Di dunia sana, bukan di sini. Lalu mengapa saya mempelajari benda di sini? Bukankah ini tidak ada gunanya? Aristoteles senang mengamati segala sesuatu, dia mengamati segala hal, dia mengamati kucing, dia mengamati kuku kucing, dia mengamati apapun. Dia mengamati segalanya, dia menikmati mengamati alam, dia lihat alam, dia pelajari, dia tulis buku banyak sekali. Orang yang mirip Aristoteles ini adalah Jonathan Edwards, tulis segala hal tentang pengamatan dia. Begitu cinta alam sehingga apapun tentang alam dipelajari. Edwards pernah menulis tentang laba-laba membuat sarangnya, jadi cara laba-laba membuat sarang dan filosofi di baliknya. Mungkin kalau Saudara suka mengamati dan membuat tulisan, nanti ke depan bisa menjadi seperti Aristoteles atau Jonathan Edwards. Dia amati dia tulis, dia pelajari dia tulis. Aristoteles mengatakan “apa gunanya saya pelajari? Apa gunanya saya amati, kalau yang ideal di atas sana”. Saya melihat bunga bagus, lalu Plato mengatakan “ini bunga bagus, ini cuma bayangan. Yang bagus di atas sana, pelajari yang di atas sana, kontemplasi”. Bagaimana cara kontemplasi? Jangan lihat bendanya, karena bendanya tidak penting, yang diwujudkan oleh benda ini adalah dunia ideal. Bagaimana akses dunia ideal? Kontemplasi, bagaimana kontemplasi? Duduk tenang, tutup mata, berpikir tentang alam bawah sadarmu. Karena dulu kamu tinggal di dunia ideal tapi kamu menyeberangi sungai. Setelah kita tenggelam di sungai, kita lupa semua yang ideal. Tapi benarkah kita lupa? Tidak, masih ada di dalam, coba gali. Jadi Plato mengatakan “ayo merenung, ayo kontemplasi”. Aristoteles mengatakan “kontemplasi membuat mengantuk, saya maunya mengamati. Kalau saya mempelajari tentang kucing, saya lihat kucing, masa kontemplasi tentang kucing?”, ini bedanya Aristoteles dengan Plato. Plato menghasilkan seorang sastrawan, Aristoteles menghasilkan scientist. Karena kalau Saudara lihat kucing, Saudara amati terus, Saudara menjadi scientist, kucing kalau ngamuk, giginya jadi kelihatan. Tapi kalau Saudara lihat kucing lalu berpuisi, Saudara pengikut Plato, “kucing, oh kucing idealnya engkau, ekormu bagaikan konsep ide dari dunia ide, gigimu bagaikan konsep ide yang terpercik dari dunia ide. Oh kucing, you are nothing, ide segalanya”, ini puisi Plato. Aristoteles mengatakan “saya mempelajari kucingnya bukan dunia ide. Jadi saya tidak bisa tutup mata, saya tidak bisa kontemplasi, saya mesti buka mata”. Tapi pertanyaan yang muncul adalah kalau begitu yang ideal itu apa? Aristoteles mengatakan yang ideal itu potensi, potensi ada di dalam kucing. Maka kekucingan itu tidak berada di dunia ideal, kalau kekucingan berada di dunia ideal nanti jadi main kucing-kucingan. Kekucingan sejati ada di dalam diri sang kucing. Jadi sang kucing adalah kucing yang sejati. Coba tanya dia, kucing juga mengatakan setuju. Jadi kekucingan ada di dalam diri kucing, maka waktu kucing itu dilahirkan, dia kucing kecil tapi karena kekucingan ideal didalam kucing ini, apapun itu artinya Saudara terima saja, maka waktu dia besar dia jadi kucing besar. Tidak pernah ada kucing kecil begitu besar jadi anjing. Jadi ada yang sempurna tapi baru berbentuk potensi. Nanti yang potensi ini akan jadi aktual. Waktu Thomas membaca Aristoteles, dia mengatakan Aristoteles menjelaskan tentang Tuhan. Tuhan itu aktual murni, Tuhan tidak ada potensi, Tuhan sudah aktual. Kita ini masih potensi, itu jeniusnya Thomas Aquinas. Thomas Aquinas baca apa, dia ambil untuk mengembangkan teologi. Sedangkan banyak orang Kristen mengatakan teologi mesti bersih dari segalanya. Saudara kalau teologi bersih dari ilmu sekuler, ilmu bahasa pun tidak bisa dipakai karena ilmu bahasa itu sekuler. Waktu Thomas membaca Aristoteles, dia mengatakan Aristoteles pintar dan bisa dipakai untuk menjelaskan Allah. Siapa Allah? Allah itu aktual murni, Allah tidak perlu proses, Allah bukan potensi, tidak ada potensi dalam diri Allah, yang ada hanya aktual. Sedangkan di dalam diri kita, ada potensi yang perlu diaktualkan, apa potensi itu? Thomas mengatakan potensi itu adalah kebajikan sejati. Kamu orang yang punya potensi jadi baik, sayangnya potensi itu tidak ada guna kalau tidak diaktualkan, maka aktualkan. Tapi aku sudah berdosa mana bisa mengaktualkan kebajikan kalau diriku berdosa?Thomas mengatakan “bisa, pakai kehendak dan rasio”. Kehendak, ngotot dan rasio membuat kamu meninggalkan dosa. Ini yang Luther tidak setuju. Bagi Luther, Thomas mengatakan manusia sudah jatuh dalam dosa kecuali rasio dan kehendak. Maka Luther tulis The Bondage of the Will. Martin Luther tulis The Bondage of the Will, Calvin juga tulis Bondage and Liberation of The Will. Dua-duanya membahas tema yang sama. Jadi Luther mengatakan “tidak, kehendak manusia sudah diikat oleh dosa. Dosa membuat kehendak manusia ngawur, jangan andalkan kehendak untuk memunculkan potensi, kamu tidak bisa lakukan itu”. Kalau memang tidak bisa bagaimana? Ini yang jadi perdebatan antara Luther dan Erasmus. Erasmus mengatakan “mengatakan bahwa kehendak manusia sudah jatuh itu membuat manusia tidak ada pilihan selain menikmati dosa. Kamu jadi Antinomian, kamu mengajar seperti ini ke jemaat, jemaatmu akan rusak semua”. “Kami tidak punya kehendak baik”, “ya sudah, mau bagaimana? Bagaimana bisa jadi baik?”. Martin Luther mengingatkan kehendak baik hanya muncul ketika Tuhan perbaiki kamu. Luther adalah seorang retorik yang hebat, seorang pengkhotbah, dia bukan pengsistematisasi yang baik. Sebaliknya dengan Calvin, Calvin bisa sistemkan pemikiran yang jadi pergumulannya Luther, Maka Calvin mengatakan manusia tidak bisa mengandalkan kehendaknya untuk jadi baik. Lalu bagaimana? Ini pintarnya atau jenisnya sumbangsih Calvin, Calvin mengatakan tidak ada manusia berjuang sendiri, setiap orang mau jadi baik, berjuang di dalam komunitas. Dan setiap komunitas perlu kepala. Jadi yang membuat Saudara meninggalkan dosa dan punya kebajikan sejati, true virtue, itu bukan kehendakmu, itu bukan rasiomu, itu kesatuanmu dengan Kristus. Bagi saya ini salah satu kesimpulan dari Kitab Suci yang luar biasa. Saya sangat senang mempelajari para Reformator bukan karena mereka jenius di dalam pikiran seperti Aristoteles, tapi karena mereka pintar kaitkan jawaban dari Alkitab dengan pertanyaan manusia. Calvin pernah mengatakan membaca Alkitab mendapat jawaban, membaca filsafat mendapat pertanyaan. Jadi Saudara membaca filsafat dapat pertanyaan, Saudara membaca Alkitab mendapat jawaban. Kalau Pak Tong mengatakan Alkitab menjawab pertanyaan, filsafat mempertanyakan jawaban, ini susahnya. Orang kalau sudah belajar filsafat, jawaban dipertanyakan terus. Filsafat mempertanyakan jawaban, Alkitab menjawab pertanyaan. Kalau Calvin mengatakan filsafat dipelajari membuat kita bertanya, Alkitab dipelajari membuat kita dapat jawaban. Jadi bagi saya salah satu yang menjadi sumbangsih besar para Reformator adalah eksegesis Alkitab yang teliti, bukan pakai kesimpulan yang tidak terlalu sesuai dengan konteks, mereka coba pakai eksegesis yang teliti, menafsirkan dari Alkitab. Lalu coba sinkronkan dengan jawaban yang diperlukan. Dan ternyata jawabannya sangat indah. Bagaimana mengerti manusia kalau pikiran saya sudah cemar, kalau hati saya sudah cemar, saya ada di dalam dosa tapi saya harus jadi manusia yang punya kebajikan, ini pengertian Thomas. Kita punya potensi virtue, kita punya potensi bajik dan kita mesti aktualkan itu. Luther tidak menentang ini. Kalau Saudara menentang ini, Saudara jadi antinomian. Manusia berdosa, kalau begitu harus baik? Harus, “tapi kan kebaikan tidak menyelamatkan”, tidak ada urusan, ini bukan tentang keselamatan, ini tentang memulihkan kondisi manusia. Tuhan mau manusia punya kebajikan, maka dari dosa manusia harus jadi bajik.