Lalu hal ketiga, buah selalu berkait dengan kenikmatan yang lebih dulu saya miliki untuk saya bagikan ke yang lain. Buah selalu berkait dengan keindahan hidup kudus yang saya sendiri suka, kemudian menular ke orang lain. Ini bisa kita lihat di dalam Galatia 5, Paulus menyatakan ada buah roh. Dan buah roh ini merupakan keadaan baik yang orang mau kejar. Di dalam zaman ketika Paulus menulis surat, orang-orang di dunia mengejar kehidupan yang tinggi. Ada beberapa versi tentang kehidupan yang tinggi, dan beberapa versi itu dirumuskan dengan sangat baik di dalam dunia filsafat. Jadi filsafat itu bukan ilmu debat atau ilmu yang menggali hal-hal tidak penting. Filsafat adalah pencarian kepada cara hidup yang baik, bagaimana manusia bisa sampai tahap taraf hidup yang baik, apa yang membuat manusia jadi baik? Ini yang dicari oleh filsafat. Ada orang, misalnya Plato menekankan pentingnya keadaan baik dengan kondisi seharusnya. Ini nanti diteruskan oleh Aristoteles, jadi kalau saya punya keadaan baik, saya mesti sesuai dengan kondisi seharusnya. Apa kondisi seharusnya dari manusia? Kalau Plato mengatakan kondisi seharusnya dari manusia adalah bersatu dengan kebenaran, bersatu dengan ide yang sempurna. Tapi Aristoteles mengatakan kondisi terbaik manusia ditentukan juga oleh lingkungan. Sama seperti sebuah kapal disebut kapal yang baik di dalam ilustrasi dari Plato, kapal jadi kapal yang baik kalau bisa berlayar. Tapi manusia tidak dihitung dengan kemampuan berlayar tentunya, manusia tidak bisa dikatakan manusia baik kalau tidak bocor di laut, itu bukan ukuran untuk manusia. Manusia disebut baik kalau apa? Ini yang dicari oleh banyak pemikir dari dalam dunia dan mereka semua setuju bahwa keadaan baik selalu berkaitan dengan bagaimana resepsi lingkungan terhadap kehadiran kita. Saudara tidak bisa disebut baik kalau semua orang di sekitar Saudara anti kepada Saudara. Kalau Saudara mengatakan “Pak, Paulus itu juga ditolak oleh siapapun”, benarkah Paulus ditolak oleh semua orang? Tidak, Paulus diterima oleh murid-muridnya, Paulus diterima oleh gerejanya. Kalau Saudara mengatakan “Tuhan Yesus ditolak oleh semua orang”, Tuhan Yesus ditolak oleh dunia yang tidak tahu cinta kasih, tidak tahu keindahan diterima. Maka Tuhan Yesus bukan tidak cocok di dalam dunia, Dia mempunyai komunitas yang di dalamnya Dia baik, di dalamnya Dia cocok, di dalamnya Dia diterima. Maka pengertian filosofi dan Alkitab mirip, filsafat mengatakan di dalam tradisi etika dari Yunani klasik, kalau kamu menjadi manusia yang baik, kebaikanmu akan di resepsi dengan baik, diterima baik oleh lingkungan yang baik. Lingkungan baik terima orang baik, lingkungan buruk tolak orang baik, lingkungan baik tolak orang buruk, lingkungan buruk terima orang buruk. Orang buruk tidak cocok di lingkungan baik, orang baik cocok di lingkungan baik. Maka sebelum kita lanjut, menurut mereka, kita mesti tentukan dulu apa itu baik, baik dinilai dengan cara apa? Tentu dengan cara etis, tidak ada cara lain menilai kebaikan selain merumuskan apa yang pantas dilakukan oleh manusia. Maka dunia etika dan kebaikan manusia ini tidak bisa dipisah. Saudara jadi orang baik kalau Saudara mempunyai etika yang baik. Etika baik seperti apa? Etika baik tidak bisa disamakan hanya dengan kesenangan saya. Saya senang tidak tentu orang lain senang. Maka siapa terus pikir kesenangan diri, sulit dianggap sebagai orang yang beretika. “Saya maunya ini, saya tidak peduli lingkungan saya. Saya mau datang janjian sesuai dengan keinginan saya. Saya melakukan apa yang saya mau, lingkungan tidak perlu mendikte saya”, ini tentu tidak cocok disebut orang beretika. Kalau saya dikatakan orang beretika, maka lingkungan akan mengatakan setiap tindakan yang saya lakukan cocok dengan lingkungan saya yang baik. Itu sebabnya etika adalah satu ilmu untuk menilai bagaimana manusia seharusnya dipahami sebagai manusia yang baik. Engkau baik karena apa? Tidak ada orang di dalam tradisi etika yang baik yang setuju kalau orang itu dianggap baik karena kaya, tidak pernah ada, “mari kita nilai orang baik karena kaya”. Maka orang yang suka jilat orang kaya, orang bodoh. Orang yang kagum sama orang kaya, orang bodoh. Orang yang cinta orang karena uang, itu orang bodoh, karena dia belum sampai pada level pengertian yang bijak, dia masih bodoh. Dia tinggal di dalam keadaan bodoh dan dia sulit akrab dengan kondisi lingkungan yang baik. Maka siapa bisa rumuskan etika yang baik, siapa bisa tentukan apa itu baik. Di dalam tradisi filsafat ini tidak dapat jalan keluar, baik itu apa? Plato mengatakan baik itu berarti dikonfirmasi kesalehannya oleh para dewa. Ada ibadah sejati, ada kesalehan, ada eusebia. Saya punya tindakan di-approve oleh para dewa, waktu dewa lihat saya, mereka senang, mereka tepuk tangan, “kamu bagus, kamu lakukan hal yang baik, saya senang”, itu yang dikatakan Plato. Tapi kemudian dia mengatakan lagi “dewa-dewa punya sifat bisa beda. Yang disukai oleh dewa perang, dibenci oleh dewa bijak. Yang disukai oleh dewa haus darah, dibenci oleh dewa keteraturan. Kalau begitu siapa dewa yang saya sembah, itulah yang menjadi standar etika saya”. Kalau begini kita mesti tanya apakah ada standar etika bagi para dewa. Ini juga penting untuk ditanya, “saya diatur oleh standar etika”. Standar etikanya berdasarkan siapa? Berdasarkan penerimaan para dewa, “para dewa terima saya, berarti para dewa juga punya favorit, tindakan mana yang mereka suka, tindakan mana yang mereka benci”. Lalu tindakan yang disukai dewa dan tindakan yang dibenci dewa itu ukurannya apa? Siapa yang mengatur para dewa? Apakah tindakan baik dijalankan dewa karena ada pengatur di atas dia ataukah tindakan baik terjadi karena dia memang ditentukan oleh para dewa. Dewakah yang tentukan atau ada prinsip di atasnya para dewa? Ini pikiran yang dalam sekali. Akhirnya Plato mengatakan dewa-dewa tidak bisa dijadikan ukuran karena dewa-dewa pun seringkali diatur oleh nasib yang mereka sendiri tidak kontrol. Berarti diatas para dewa ada pengatur yang lebih tinggi. Konsep baik bukan ada pada para dewa, konsep baik melampaui para dewa. Ini yang akhirnya dikembangkan lagi oleh Aristoteles, konsep baik membuat hidup jadi teratur. Saudara baik sebagai manusia, lalu barang baik sebagai barang, ini akhirnya membuat semua menjadi teratur. Itu sebabnya di dalam pikiran Aristoteles segala yang baik itu sudah masuk ke dalam dunia ini sebagai potensi. Ada aturan, ada hukum yang terwujud di dalam kehidupan kita masing-masing. Hukum ada di luar sana, tapi masuk ke dalam diri kita lalu mengarahkan kita menuju baik. Seluruh keadaan di dunia sedang berproses. Sekarang sudah baik? Belum, tapi nanti akan jadi baik. Mengapa nanti bisa jadi baik? Karena pada waktunya segala potensi yang ada di dalam akan jadi aktual, semua potensi baik akan keluar. Tapi pertanyaan masih belum terjawab, standar utama, hukum mana baik mana jahat itu dari mana? Hukum baik dan jahat datang dari mana? Semua ini pertanyaan buntu, kecuali kita kembali kepada sebuah kisah yang indah di dalam Kejadian pasal yang ke-2 dan pasal yang ke-3. Di pasal 2 dan 3 dikisahkan tentang pohon pengetahuan baik dan jahat, ini merupakan pohon yang penting untuk kita pahami dengan tepat. Kita lihat gambaran di dalam Kitab Kejadian begitu indah, begitu penuh dengan makna, begitu penuh dengan simbol, sehingga kita harus tafsir dengan hati-hati. Waktu kita tafsirkan Kitab Kejadian, terutama kisah penciptaan, kita melihat begitu banyak keindahan yang secara simbolik bersifat religi. Waktu kita tafsir, kita mulai tahu ternyata ada banyak makna yang tidak bisa dipahami secara literal. Kita mulai menyadari pengertian-pengertian di dalamnya sangat bersifat simbolik. Beberapa penafsir mengatakan “jangan baca simbolik, mesti baca literal”, tapi saya tanya literal menurut pengertian siapa? Literal menurut pengertian modern? Kalau literal menurut pengertian modern, itu akan bentur dengan cara baca mula-mula. Kalau kita pakai cara baca mula-mula, cara baca mula-mula sangat penuh dengan konsep yang bersifat other worldly, konsep yang bukan dari dunia ini. Konsep yang tidak sama dengan konsep orang modern tidak mungkin dibaca literal. Bahkan di dalam kata-kata Tuhan menciptakan binatang laut pun pakai banyak istilah yang tidak ada binatang riil-nya. Ada kata Tuhan menciptakan monster laut besar di dalam laut, ini pakai kata tanim. Apakah tanim itu nyata? Tidak nyata, tidak benar-benar ada. Saudara pernah ketemu monster laut? Waktu Saudara berlayar tiba-tiba ketemu misalnya Kraken, tiba-tiba dengan banyak tangannya dia lilit kapal Saudara, tidak ada, Saudara tidak ketemu. Lalu mengapa Kitab Kejadian mengatakan Tuhan menciptakan monster laut yang besar di laut? Karena tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan secara literal. Itu sebabnya waktu kita membaca Kejadian, ada pengertian pohon pengetahuan baik dan jahat. Apakah ini dibaca literal? Juga tidak. “Berarti pohonnya tidak benar-benar ada”, ini salahnya. Tidak literal tidak berarti tidak historis. Kadang-kadang orang yang menyerang penafsiran non-literal tidak mengerti perbedaan ini. Tidak literal tidak sama dengan tidak historis. Kalau saya memahami pohon pengetahuan baik dan jahat secara simbolik, bukan berarti pohonnya tidak benar-benar ada. Hanya saya harus memahami pohon itu dengan makna yang lebih daripada sekadar pohon biasa. Ini bukan pohon biasa, ini bukan pohon yang mendadak muncul lalu saya cuma bedakan dengan jenis, ada pohon apel, ada pohon durian, ada pohon pengetahuan baik dan jahat, tidak bisa. Pohon pengetahuan baik dan jahat mempunyai makna simbolik, dan di dalam sejarah pohon itu riil, ada. Taman Eden benar-benar ada di dalam sejarah, tapi taman ini tidak bisa ditafsirkan literal taman, ini bukan taman. Karena gambaran taman itu, taman yang benar ada, itu lebih bersifat temple like, lebih bersifat tempat suci dari pada cuma sekadar taman. Lalu taman ini punya makna apa? Maknanya tempat suci. Di dalam tempat suci mengapa ada pohon kehidupan? Karena Tuhan mau memberikan kekekalan keluar dari tempat suciNya. Lalu pohon pengetahuan baik dan jahat ini apa? Tuhan mau menyatakan kekekalan atau kehidupan yang baik mengalir dari tempat suci dan tempat suci mengekspresikan etika yang benar. Pohon pengetahuan baik dan jahat.

« 3 of 8 »