(Kejadian 12: 1-9)
Kadang orang merasa sudah tahu tentang iman. Iman itu kan percaya, iman itu kan percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan satusatunya Juruselamat, iman itu kan anugerah Tuhan, kita tidak bisa usahakan apa pun juga. Kadang-kadang kalau kita tidak ditanya lebih lanjut, kita merasa kita sudah tahu apa itu iman. Kita pikir kita tahu, kita pikir kita merasa semudah itu bisa beriman, kita pikir kita tahu lumayan komplit, iman itu percaya kepada Yesus yang sudah bangkit, menebus dosa kita, menggantikan kita. Mudah menjawabnya, kalau ujian agama mungkin nilainya bisa A, kalau ujian tertentu seperti katekisasi bisa dapat 100. Tapi iman tidak sama dengan nilai pelajaran agama. Iman adalah sesuatu yang hidup, yang tidak hanya cukup dijawab oleh pengertian-pengertian kita saja yang sangat terbatas, dan kita tidak pernah kaitkan di dalam seluruh pengertiannya. Karena kalau kita ditanya hal-hal sederhana seperti ini, seringkali kalau kita dikejar dengan pertanyaan yang lebih mendasar, mungkin saya juga tidak tahu, Saudara juga tidak tahu. Kita rasa, asumsi, itu namanya bukan tahu, itu pra-pengetahuan, artinya kita berasumsi kita sudah tahu, dan mungkin selama ini kita seperti itu. Karena hidup Kristen kita bisa berjalan dengan pengertian iman yang ala kadarnya. Ala kadarnya itu kita percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, kita bisa hidup hari demi hari, kita masih bisa berdoa, kita masih bisa saat teduh, tapi ternyata iman seperti itu adalah iman yang ala kadarnya, yang sampai akhir membuat kita menjadi orang Kristen yang macet. Berapa banyak Saudara dan saya, mungkin sudah ada yang mengalami atau belum, merasa hidup Kristen begitu-begitu saja, macet. Memang tiap minggu ke gereja, mana berani tidak ke gereja. Karena iman rasanya cukup bergulir satu hari demi satu hari, iman itu “yang penting saya sudah baca Alkitab, sebelum makan berdoa, sebelum tidur berdoa, dan kemudian ke gereja setiap minggu”. Tapi itu adalah iman standar yang cukup saya dan Saudara bergulir sampai mati dan KTP kita tetap Kristen. Tapi kalau Saudara mau punya iman yang hidup, Saudara mesti pikir tiap hari seperti ini, pekerjaan Tuhan, beban yang Tuhan percayakan, ada di atas. Kalau iman kita di bawahnya, kita punya iman yang mekanis, bisa bergulir sampai kita mati, dan kita tetap Kristen, tapi kita sampai mati tidak pernah lihat apa-apa yang Tuhan kerjakan, sampai mati tidak pernah lihat kemuliaan yang Tuhan nyatakan, sampai mati kita tidak mempunyai kelimpahan hidup orang beriman yang katanya Kristen. Bukankah Kitab Ibrani mengatakan “iman adalah melihat hal yang tidak kelihatan”. Kalau saya tidak punya iman yang cukup untuk melihat, saya tidak akan melihat. Seperti Saudara ke Bromo, kalau Saudara naik sampai ke kawah, Saudara akan lihat sunrise yang bagus. Tapi kalau tidak naik ke atas, tidak akan bisa melihat indahnya sinar matahari, karena tidak sampai ke atas, tidak cukup levelnya untuk lihat. Ini yang sebenarnya Saudara dan saya harus kejar, minta kepada Tuhan “Tuhan, tolong beri saya iman yang cukup untuk sampai ke sini, supaya saya bisa lihat setiap sunrise itu luar biasa, setiap sunrise itu begitu indah, setiap sunrise itu Tuhan begitu ajaib”. Kalau setiap hari kita seperti itu maka hidup kita sangat hidup sebagai orang Kristen. Dan inilah yang kita sama-sama pikirkan, untuk jadi seperti itu apa yang harus kita lakukan. Kalau iman cuma diberi, apakah kita tinggal bengong saja, apakah kita tinggal tunggu, berdoa setiap hari, dan akhirnya iman itu akan bertumbuh? Kejadian memberikan kita satu bunga rampai, “hendaklah imanmu yang diberikan oleh Tuhan berjalan bersama Tuhan dan berakhir di dalam satu kemenangan di dalam Tuhan”.

Hari ini akan memikirkan 2 poin itu, what is your responbility of faith, apa kewajiban iman Saudara? Karena seringkali karena kita merasa karena iman itu anugerah, maka seolah-olah “kan bukan saya yang minta, Tuhan yang beri, jadi Tuhan yang tanggung jawab”, itu kesalahan besar. Iman memang diberi, tapi setelah itu kita diberi untuk bertanggung jawab. Bukankah Allah menciptakan manusia untuk hidup dan bertanggung jawab. Karena kalau bukan begitu, kita bukan manusia. Kita diciptakan untuk bertanggung jawab, maka di dalam hal iman pun kita punya satu responbility untuk beriman dengan tepat kepada Tuhan. Mari kita baca Kejadian 12:1-9, tanggung jawab pertama kita adalah faith is a matter of total and radical step, iman itu bukan hanya sekedar “saya setuju, saya mempercayakan hidup saya”, tapi harus ada tugas yaitu seberapa radikal Saudara beriman kepada Tuhan. Apa maksudnya radikal? Kita kadang-kadang sudah rancu, radikal adalah sama dengan ISIS, kelompok radikal, kita yang salah mengerti. Radikal, kata artinya adalah akar, seberapa berakarkah Saudara dan saya beriman kepada Tuhan? Seberapa besar perubahan secara akar kita beriman kepada Tuhan? Ini panggilan ketika Abraham disuruh pergi dari tanah, pergi dari sanak saudara, pergi dari bapa, seperti seolah-olah dia dicabut dari akarnya, dipindahkan dari Ur, dari nenek moyangnya, ke suatu tempat yang baru yang akan diberitahukan oleh Tuhan. Tanah di zaman itu bukan hanya sekedar pindah rumah, di dalam Alkitab setiap kali disebut tanah sama dengan apa atau cara hidup apa di atasnya. Jadi kalau pindah dari Ur pergi ke tanah yang lain, berarti cara hidup Ur dibuang semua, ditinggal. Karena cara hidup Ur di atas tanah Ur, kalau dia pindah ke tanah perjanjian, cara hidup di atasnya harus sesuai dengan perjanjian Tuhan. Maka perjanjian tanah ini merupakan perpindahan perncabutan seakar-akarnya yang cukup besar. Maka sama, Saudara dan saya ketika berpindah dari orang tidak percaya menjadi percaya, dari orang Kristen KTP menjadi orang Kristen sesungguhnya, maka sudahkah Saudara dan saya seakar-akarnya tercabut dan kemudian masuk ke dalam medium yang baru ini, tempat yang baru untuk hidup? Cara kita berpikir, cara kita kuliah, cara kita bisnis, cara kita mengerti mana yang baik dan tidak, mana yang berharga mana tidak, mana yang penting mana tidak, mana yang mahal mana murah, mana yang asyik mana tidak, mana yang keren mana tidak, semuanya tidak ada yang berubah. Ini sangat bahaya kalau Saudara dan saya tidak pernah berakar. jangan-jangan setiap hari kita Kristen KTP. Karena secara akar kita tidak pernah berubah tempat, mediumnya tidak pernah berubah, tidak ada perpindahan. Tapi tidak ada perpindahan secara pola pikir, itu sangat bahaya. Ini harus kita pikirkan, kita selama ini sekolah, kuliah, pilih apa pun, pertimbangannya apa? Terkadang kita tidak Kristen pertimbangannya. Saudara akan sulit sekali bertumbuh imannya. Karena iman kita tidak pada level yang sama dengan pekerjaan yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. Sampai mati Kristen, masuk sorga karena Alkitab yang mengatakan diberi imannya. Tapi begitu saja hidupnya, sama sekali tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa dipakai Tuhan. Saudara yang jadi orang tua, Saudara sekolahkan anak di sini atau di situ, pilihannya apa, mengapa sekolah di situ? Supaya anaknya dapat les Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, Bahasa Korea, 10 bahasa dicekokin ke anaknya, supaya apa? Tidak ada yang salah dengan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tapi Saudara dan saya tidak cukup radikal beriman kepada Tuhan, dalam arti “Tuhan, iman saya diberi oleh Tuhan, saya harus kerjakan itu untuk Tuhan”. Dalam hal apa pun juga, Saudara pakai kartu kredit, diskon makanan, Saudara makan tidak? Boleh makan, tapi mengapa makan, pertimbangannya apa? Itu yang kadang membuat kita berpikir “ya sudahlah, saya Minggu ke gereja, saya beri perpuluhan, saya pelayanan, saya datang PA. Tapi saya mau pakai kartu kredit, atau apalah, selama saya tidak mencuri uang orang, tidak masalah kan?”, salah. Saudara tidak cukup radikal untuk berpikir secara Kristen. Dan memang itu ternyata membuat hidup kita lebih sulit. Ini yang sebenarnya di dalam kisah Abraham, Abraham dicopot dari seluruh akar-akarnya, masukan dalam medium yang baru supaya dia bertumbuh menjadi punya pemikiran yang baru.

Di dalam hal ini Tuhan memberi ruang pergumulan, Abraham pun ada yang namanya delay, pergumulan, dan itulah iman yang hidup. Saudara untuk taat Tuhan, kalau Saudara otomatis bisa taat, saya tanda tanya. Tapi kalau kita ada pergumulan, justru itulah mungkin iman Saudara sedang bertumbuh. Di sini kalau kita baca bagian atasnya, Saudara akan menemukan daftar keturunan Terah, kemudian dia mengajak Abraham pergi, sebenarnya bukan Abraham sendiri, tetapi Terah. Ayat 31 dikatakan “lalu Terah membawa Abram, anaknya, serta cucunya, Lot, yaitu anak Haran, dan Sarai, menantunya, isteri Abram, anaknya; ia berangkat bersama-sama dengan mereka dari Ur-Kasdim untuk pergi ke tanah Kanaan, lalu sampailah mereka ke Haran, dan menetap di sana”. Maka kita seolah-olah dapat gambaran ternyata bukan Abraham yang inisiatif pergi. Tapi ini dijelaskan di dalam Kisah Para Rasul waktu kotbah Stefanus bahwa sebenarnya Abraham dipanggil Tuhan sejak dari Ur-Kasdim, dia somehow pergi bersama Terah ke Haran dan terjadi delay di Haran sekian tahun. Sampai akhirnya pasal 12 ketika Abraham dipanggil kembali oleh Tuhan dan setelah Terah mati, dia baru pergi ke Tanah Perjanjian. Maka terkadang di dalam pergumulan mengikuti Tuhan di dalam pergumulan beresponsible terhadap iman kita, kita bisa menemukan ada delay tertentu, atau ada pergumulan, atau hambatan tertentu dan itu adalah suatu hal yang real. Maka ada delay, kesulitan tentang keluarga, ada kesulitan yang namanya uang, ada kesulitan yang namanya social value yang ada di sekitar kita. Ketika Abraham menunggu janjiNya Tuhan, bukankah dia akhirnya menuruti suggestion-nya Sarah “tidak apa-apa ambil budak, nanti anaknya legal menjadi anakmu”, pada zaman itu hal seperti itu tidak masalah, itu bukan suatu perselingkuhan, kita tidak bisa melihat zaman sekarang. Zaman itu adalah tawaran yang sangat win-win solution. Sarah dan Abraham sepakat untuk Abraham menghampiri budak Sarah, karena anak dari budak ini nanti akan menjadi anak Abraham dan Sarah juga, itu tidak apa-apa. Saudara akan mendapati tawaran itu, win-win solution. Bukankah dunia ini selalu mengajari kita win-win solution? Saudara pasti akan mendapati itu ketika keluar dari gereja, dan saya juga, tawaran yang sama-sama untung. Tapi masalahnya, pertanyaan yang dilupakan adalah “is that radical?”. Saya kalau ambil tawaran itu, iman saya sudah radikal, berakar pada Tuhan tidak? Ternyata kadang-kadang kontra, win-win solution kadang berlawanan dengan iman kita yang radikal.

Kemudian hal kedua dalam responbility iman adalah faith is a matter of journey. Iman adalah perjalanan. Saudara kalau beriman Kristen berharap mendapat ketenangan batin yang tidak akan berubah, Saudara salah masuk ruang ibadah. Karena iman adalah perjalanan. Kita tidak diajar untuk mempunyai iman yang statis, yang tidak pernah bergerak, yang tidak pernah dikejutkan, yang tidak pernah dilatih oleh Tuhan, itu adalah iman yang pasti bukan dari Alkitab. Pertama Abraham, kalau Saudara lihat Abraham itu terus bergerak. Di Sikhem, Betel, Hebron. Dalam Bilangan 9, ketika orang Israel pergi dari Mesir, bukankah mereka dipimpin oleh tiang awan dan tiang api juga? Journey, tiang awan dan api berhenti pagi, berangkat sore, berangkatlah mereka. Berhenti satu hari, berhentilah mereka. Berhenti dua bulan, berhentilah mereka. Berhenti lebih dari dua bulan, disitulah mereka. Tapi ketika sesaat harus jalan, jalanlah mereka. Karena iman adalah perjalanan. Iman kita dilatih untuk iman yang berjalan. Mengapa berjalan? Karena Saudara dan saya punya duty of faith, tugas iman. Bukankah Efesus 10:2 mengatakan kita diberikan iman untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik yang telah Allah percayakan sebelumnya. Apa itu pekerjaan baik? Tolong orang dengan memberi makan? Bukan. Penginjilan? Iya betul, tapi bukan hanya itu. Di sini kita lihat di dalam perjalanan Abraham, kita menemukan 2 pekerjaan baik yang harus dilakukan. Secara sederhana Teologi Reformed mengelompokan menjadi mandat budaya dan mandat Injil. Tapi di dalam bagian bacaan kita, kita bisa melihat kita diberikan iman untuk bisa melakukan tugas, tugasnya adalah reclaiming, isu reclaiming, mengambil kembali, ini adalah isu peperangan. Saudara kalau dijajah, Saudara ambil kembali, ini namanya perang. Isu reclaiming ini seperti Saudara masuk ke tempat musuh, mengibarkan bendera Saudara dan kemudian musuh akan segera menyerang Saudara. Isu reclaiming itu harus ada di dalam pikiran kita semua ketika kita beriman kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus mau kita menjadi orang-orang yang me-reclaim kembali. Di dalam Abraham, Saudara coba perhatikan, dimana Abraham datang, apa yang dia buat di situ? Mezbah, sebelahan dengan pohon Terbantin di More, dan nanti ada dimana lagi. Berarti dia masuk dalam satu kawasan yang peribadatannya tidak mengenal Allah yang sejati, begitu dia masuk, dia seperti berjalan, me-reclaim kembali. Dan itu tugas Saudara dan saya, dimana pun Saudara pergi, Saudara seperti masuk ke satu tempat, apakah di situ Saudara sudah me-reclaim true worship kepada Tuhan? Karena kalau tidak demikian kita tidak melakukan pekerjaan iman, pekerjaan yang baik yang sudah Allah siapkan sebelumnya tidak kita lakukan. Karena Saudara dan saya diberi tugas untuk me-reclaim kembali milikNya Tuhan. Semua peribadatan, semua iman, semua orang harusnya menjadi milik Tuhan, karena Dia yang memberi dari awal. Tapi karena manusia jatuh dalam dosa maka terpencar-pencar.

Maka Saudara dan saya disuruh me-reclaim kembali semua iman ini layaknya didedikasikan kepada siapa. Dan kalau Saudara perhatikan, Sikhem menjadi tempat pertama Abraham diberi janji, nanti keturunannya akan banyak, pasal 12. Lalu ini terwujud berapa ratus kemudian, Saudara menemukan kota Sikhem lagi di dalam Alkitab? Lebih dari 500 tahun kemudian ketika Yosua selesai menaklukan seluruh Kanaan dan menantang seluruh Israel “hai Israel, hari ini pilih, mau beribadah kepada Allah, beribadah kepada allah nenek moyangmu di seberang Sungai Efrat, atau beribadah kepada allah orang Amori yang sekarang kamu duduki?”. Dan 3 pilihan ini selalu Saudara dan saya hadapi di dalam me-reclaim peribadatan yang benar, me-reclaim iman yang benar. Saudara akan berhadapan dengan ini, Allah sejati, allah nenek moyang Saudara, termasuk agama lain atau termasuk cara pengertian Kekristenan yang salah sama sekali, yang turun-temurun tapi Saudara tidak tahu isinya apa, atau allah orang Amori yang tanahnya mereka duduki, berarti allah kontemporer, versi Kristen yang macam-macam dengan pengajaran yang macam-macam, yang sekarang sedang trend. Tugas kita kedua di dalam iman adalah reclaim the land, me-reclaim kembali tanah. Karena setelah itu, Abraham berjalan dari Sikhem, Betel, Hebron. Dari Ur-Kasdim masuk ke Haran dari atas, dia melalui seluruh tanah itu seperti menginjak kembali step “ini punya Tuhan, ini punya Tuhan, ini punya Tuhan”. Kita sendiri punya field masing-masing, yang berkeluarga, keluarga ini miliknya Tuhan, yang bekerja, kerja ini milik Tuhan, yang dibisnis “bisnis saya ini millik Tuhan, yang di sosial media “sosial media ini punya Tuhan”. Bagaimana cara Saudara me-reclaim kembali dimana Saudara berjalan? Ini adalah tugas kita semua, karena iman itu tidak diam, iman itu bukan hanya untuk dimasukan di kulkas, kita keluarkan setiap hari Minggu, kita masukan ke microwave, jadi aman. Masukan ke kulkas lagi, hari Minggu masukan microwave lagi, ke gereja, jadi hangat, setelah itu masukan kulkas lagi, jadi aman. Tapi kita harus punya iman yang sifatnya punya semangat untuk me-reclaim kembali, untuk mengambil kembali. Saya tahu saya punya tugas yaitu saya harus tahu kepada siapa saya beribadah, saya harus tahu saya sudah ditebus oleh Tuhan Yesus karena itu impact-nya apa, di dalam society seperti apa, di dalam pekerjaan seperti apa. Dan harap ini menjadi pekerjaan kita semua, supaya kita membaca Abraham, kita tidak membaca “wah, sempurna sekali imannya”, tapi kita membaca ini sebagai kisah iman yang disempurnakan oleh Allah. Karena setiap orang imannya akan disempurnakan oleh Tuhan. Ibrani 12 mengatakan bahwa marilah kita memandang kepada Kristus yang akan menyempurnakan kita. Hanya dua pilihan, Saudara mereclaim atau Saudara yang di-reclaim oleh dunia.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkotbah)