31 Maret 2019
(Efesus 4: 17-32)
Vik. Dewi Arianti


Dari awal Alkitab mencatat bahwa Tuhan berfirman maka semuanya jadi, Tuhan menciptakan manusia dan kemudian manusia itu dimaksudkan untuk bertambah banyak. Sebelum manusia bertambah banyak, Tuhan terlebih dahulu memberikan firmanNya secara spesifik diberikan kepada makhluk ciptaan yang namanya manusia. Maka Allah berfirman kepada Adam dan Hawa, kemudian mereka diberikan suatu tugas untuk mengelola bumi ini. Tapi ternyata apa yang difirmankan oleh Allah ini tidak dijalankan oleh Adam dan Hawa sehingga mereka gagal. Dan kemudian hanya satu generasi setelahnya, Kain dan Habel, terjadi pembunuhan yang luar biasa sadis. Kain mengatakan kepada saudaranya “marilah kita pergi ke padang”, dan di situ dia membunuh adiknya. Darah Habel berseru-seru mempertanyakan keadilan Tuhan, dan di situlah Tuhan menegur Kain. Kemudian kita masuk terus dalam perjalanan kisah Alkitab, maka kita akan menemui kisah Nuh. Nuh menyatakan firman Tuhan dan ternyata sekian banyaknya manusia pada zaman itu, tidak ada satu pun yang mendengarkan kalimat-kalimat yang dikatakan oleh Nuh, yang adalah dari Tuhan. Hanya Nuh dan keluarganya yaitu 8 orang yang masuk ke dalam bahtera dan diselamatkan. Setelah keluar dari bahtera, manusia beranak-cucu, bertambah banyak, dan mereka sepakat satu dengan yang lain, berkomunikasi satu dengan yang lainnya untuk mengajukan satu proyek yang luar biasa hebat, membangun suatu gedung yang tinggi, menara sampai ke langit. Tapi semua komunikasi, perkataan mereka hanya untuk menentang Tuhan. Dari situlah Tuhan memilih satu umat, umat yang dimaksudkan karena Tuhan mau manusia menjadi banyak. Manusia yang banyak ini harus menguasai bumi, maka dipilihlah satu umat dan Tuhan memilih Israel. Namun di dalam perjalanan selanjutnya, Israel keluar dari Mesir, menerima firman Allah di Gunung SInai. Tapi setelah masuk ke Kanaan, setelah ratusan tahun kemudian mereka menjadi orang yang mulutnya memuji Tuhan, telinganya mungkin masih mendengar Tuhan, tapi hatinya jauh. Lalu kalau kita lihat lebih lanjut apakah Tuhan langsung membuang Israel? Tidak, Tuhan masih menyatakan firmanNya kepada Israel melalui nabi-nabi yang diutus. Sampai akhirnya dalam Kitab Yesaya kita menemukan bahwa mereka tak kunjung bertobat dan Tuhan mengatakan hanya akan sisa tunggul Isai yang akan diperbaharui. Maka akan ada kaum sisa dan tunggul Isai itu nanti akan memunculkan sesuatu yang baru, yang adalah Israel sejati. Dan kita tahu dalam Perjanjian Baru itu adalah di dalam Kristus, Tunggul Isai Anak Daud, di dalam Kristuslah menjadi satu perwakilan yang baru. Tadinya di dalam Adam, kepala yang pertama, manusia harus banyak tapi gagal. Kemudian sepanjang sejarah, dari Kejadian sampai Matius, maka kita melihat inilah Israel sejati, umat di dalam Kristus, kepala yang baru, yang mau dijadikan banyak memenuhi seluruh bumi. Karena waktu Tuhan Yesus naik ke sorga Dia mengatakan “pergilah ke seluruh dunia, jadikan segala bangsa muridKu dan ajarlah apa yang Kukatakan kepadamu”. Ini menjadi satu paralel. Di dalam menjalankan sejarah dari Kejadian sampai Perjanjian Baru, dan bahkan sampai sekarang, Allah menjadikan segala sesuatu dengan berfirman.


Ketika Allah merencanakan rencanaNya dari Adam sampai Kristus, Allah tak henti-hentinya memakai satu mode namanya berfirman. Dan ketika Kristus Sang Kepaal berkomunikasi dengan tubuhNya, Allah tak henti-hentinya memakai satu mode yang namanya berfirman. Sehingga kita bisa menjumpai dalam Roma 10: 17, iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus. Allah menyatakan kehendakNya dari penciptaan, menjadikan segala sesuatu dengan berfirman, Allah menyatakan kehendakNya dengan pewahyuan, revelation, dengan firman. Maka lewat firman, Allah berbicara dan berkata-kata. Dan perkataan bicara Allah adalah bicara yang sangat jelas. Bicara Allah bukan bicara yang tersembunyi, meskipun Allah tidak kelihatan tapi dalam satu PA Pdt. Jimmy pernah mengatakan “Allah itu tidak kelihatan, tapi firmanNya jelas. Berhala itu kelihatan tapi tidak ada firman, kalaupun ada firman, firmannya tidak jelas”. Kalau Saudara meneliti agama-agama tradisional, agama-agama daerah, Saudara akan menjumpai pendeta-pendeta mereka mengatakan “iya, Allah berkata kepadaku”. Tapi ada satu ciri, kalau itu bukan firman dari Tuhan, firmannya tidak bisa diakses untuk semua orang. Lain dengan Allah yang menyatakan diri dalam Alkitab. Allah yang menyatakan diri dalam Alkitab adalah firmanNya bisa diakses oleh semua orang, bahkan bisa diterjemahkan dalam berbagai macam bahasa supaya tidak ada satu suku yang rasanya tidak punya hak untuk mendapatkan akses itu. Dan mungkin ini sangat berbeda jauh dengan agama-agama lain, dan juga kebanyakan agama-agama tradisional. Semakin secret, makin tak terbaca, makin rahasia, maka semakin merasa mendekat kepada Tuhan dan semakin suci rasanya. Tapi ini kontra yang sangat besar, yang kita harus tahu bahwa Allah menggunakan firman itu dengan jelas, dengan maksud supaya kita mengerti apa yang dimaksudkan Tuhan. Karena Allah memaksudkan firmanNya menjadikan sesuatu. Allah tidak berfirman lalu menghilang, apa yang kita dengarkan masuk kiri keluar kanan. Allah menggunakan firman untuk menjadikan segala sesuatu. Dan Allah menggunakan firman supaya manusia melakukan segala sesuatu. Maka manusia yang adalah gambar dan rupa manusia, Allah menciptakan manusia bukan hanya share otoritas. Saudara bisa kreatif karena dishare Allah itu kreatif, maka Saudara dan saya dishare kreativitas. Allah itu menguasai langit dan bumi, maka kita di-share taklukanlah bumi, burung di udara dan ikan di latu. Kita di-share otoritasnya. Tapi ada satu hal yang kita juga di-share oleh Tuhan, yaitu kita di-share untuk bisa berkata-kata. Ketika kita bisa berbicara, bisa berbahasa, bisa berkomunikasi, bisa mengutarakan pendapat kita kepada orang lain, itu adalah sesuatu yang di-share oleh Tuhan. Maka kalau di-share oleh Tuhan, apa yang kita keluarkan dari mulut tidak boleh menjadi satu hal yang mutlak menjalankan rencana kita. Karena kita di-share, kalau di-share kita harus mengikuti yang men-share. Kalau Tuhan men-share otoritas maka tidak bisa otoritas diraup semua untuk kita. Kalau kita bisa berbahasa, berkomunikasi, berkata-kata, tidak mungkin kita lakukan memanipulasi kata-kata dan bahasa itu untuk grup dalam kepentingan kita. Dalam Buku Relasi, Tim Lane & Paul Trip mengatakan kerusakan berbicara atau komunikasi adalah ketika manusia mengambil hak Allah yang mutlak itu, ketika di-share dia pikir “ini milik saya. Komunikasi punya saya, bahasa punya saya, apa yang keluar dari mulut saya punya saya”. Maka di situ sebenarnya, menurut Tim Lane dan Paul Trip, Saudara dan saya sudah mencuri kemuliaan Allah. “Bicara itu adalah hak saya”, ini masalahnya, disini mulai terjadi kerusakan komunikasi dan relasi, karena terjadi battlefield di sini yaitu kerajaan kita vs kerajaan Allah. Kita kalau dikatakan di-share oleh Tuhan maka yang keluar tidak boleh dimanipulasi untuk diri sendiri. Maka ada konflik, kerajaan kita, kita pikir kerajaan kita dan kerajaan Allah. Lalu kemudian kita bisa juga konflik, “kerajaan saya, kerajaanmu. Kerajaan saya, kerajaan kalian. Kerajaan saya, kerajaan mereka”, karena kita pikir bicara itu adalah hak prerogatif kita. Kita take it for granted diciptakan bisa berbicara. Coba perhatikan di dalam Alkitab, adakah ciptaan lain yang bisa berbicara selain manusia? Tidak ada, semua tidak ada berbicara yang Allah berikan kepada kita. Kalau kita tidak mengerti kesulitan ini, maka kita akan masuk dalam cara komunikasi yang baik-baik, yang penting jujur. Apa itu baik-baik? Tidak sampai berantem, tidak mengeluarkan semua, tahu diri, berbijaksana sedikit. Atau kita masuk dalam nasehat “yang penting jujur, untuk apa munafik. Lebih baik saya, langsung bicara jujur”. Jujur itu tidak cukup.


Mengapa jujur tidak cukup? Mari kita lihat di dalam Efesus 5: 15-21. Salah satu aspek yang membuat runyam dunia kita adalah misalnya dalam relasi suami istri, orang tua anak, anggota gereja, tuan dan hamba, bos dan pegawai, apa pun juga adalah hal berbicara. Karena kita pikir itu milik kita. Sehingga apa yang kita nyatakan akan menjadikan sesuatu. Tuhan berfirman dan sesuatu terjadi. Maka ketika kita berkata-kata, kalau kita pikir itu adalah milik kita, kita akan menjadikan kerajaan kita, bukan kerajaan Allah. Kalau begitu bagaimana kita bicara kalau kita tahu bicara ini adalah share-nya dari Tuhan? Hal pertama yang harus kita tahu adalah bicara punya fungsi konstruktif. Saudara bisa perhatikan dari yang tidak ada menjadi ada. Apakah berarti kita bisa membuat dari tidak ada menjadi ada? Bukan seperti itu. Saudara bisa melihat ideologi itu dari tidak ada menjadi ada, karena perkataan. Ide, kita tidak bisa seperti Tuhan, creatio ex nihilo. Tapi Tuhan men-share-kan itu kepada kita, apa yang kita omongkan bisa membuat sesuatu menjadi ada. Karena kita sudah menjadi dosa, kita bisa saja membuat dari sesuatu tidak ada menjadi ada, yaitu masalah, dari tidak ada masalah menjadi ada masalah. Karena memang perkataan membuat sesuatu terjadi, tadinya tidak ada gosip jadi ada gosip. Sifat ini, kontruksi, membangun sesuatu, entah itu bagus atau jelek, tergantung apa yang kita komunikasikan. Kalau kita tahu kita di-share oleh Tuhan, Saudara meng-construct apa dalam perkataan yang Saudara keluarkan. Meng-construct kerajaanmu sendiri atau meng-construct kerajaan setan, atau meng-construct Kerajaan Tuhan dalam dunia ini? Ini hal yang mesti kita gumulkan baik-baik, di atas dasar inilah kita berbicara. Karena harusnya dalam berbicara kita ada Kerajaan Tuhan, ada rancangan Tuhan, ada kehendak Tuhan. Fungsi ini mesti kita perhatikan baik-baik, ini bukan seperti “saya takut kalau dikata-katain mama saya, nanti kualat”, ini versi bajakannya, kalau diomongi sesuatu nanti kualat. Tapi karena memang Tuhan memaksudkan dari perkataan itu akan timbul sesuatu. Ideologi bukan hal yang cuma diawang-awang, belum terjadi. Saudara bisa perhatikan dalam keadaan sosial kita akhir-akhir ini, ideologi memang hanya perkataan, tapi itu akan menjadikan sesuatu. Sama seperti ketika Saudara mendengarkan khotbah “ah, khotbahnya hanya ngomong saja”, Saudara jangan lupa khotbah akan meng-construct sesuatu. Dan kalau yang dikhotbahkan adalah firman itu akan meng-construct sesuatu dalam hidup Saudara. Kalau Saudara lewatkan terus satu mode yang Tuhan pakai untuk meng-construct sesuatu dalam pikiran kita, maka Saudara melewatkan anugerah Tuhan.


Hal lain, kalau begitu bagaimana kita berbicara? Tim Lane dan Paul Trip punya ide yang baik sekali, saya pikir ini sesuatu yang ingin saya share kepada Saudara yaitu kita berbicara, kalau kita di-share dari Tuhan, maka kita berbicara seperti kita adalah utusannya Tuhan. Kita adalah ambasador dari Kerajaan Allah. Kalau kita adalah utusan Kerajaan Allah, maka apa yang keluar dari mulut kita? Berita Kerajaan Allah, berita kehendak Allah, bukan kita menunggangi pakai agenda kita, memanipulasi itu kemudian kita bisa muter dan berbicara, itu manipulasi sekali. Kalau kita berbicara, apakah kita mengadakan kehendak Allah? Bukankah ini dosa Adam? Adam di-share bisa berbicara, kemudian di Taman Eden, dia bertemu ular, dia tidak bicara apa-apa. Seharusnya dia mengatakan “ular, mengapa kamu di sini? Seharusnya kamu keluar, kamu tidak ada bagian di sini”, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin karena Hawa terlalu cerewet, ngomong terus sama ular, omongannya tidak menandakan dia utusan Kerajaan Allah. Respon Hawa adalah respon kebanyakan ngomong tapi bukan keluar sebagai utusan Kerajan Allah, trap, masuk dalam dosa. Adam, utusan Kerajaan Allah, tapi tidak bicara. Dibiarkan saja, ketika ditawari Hawa, langsung saja diambil. Ini adalah satu poin critical yang kita perlu mengerti baik-baik. Kita di-share perkataan Tuhan dan ketika kita bicara, kita adalah utusan Kerajaan Allah. Maka dari sini Saudara bisa mengetahui bahwa jujur itu tidak cukup. Etis, sopan itu tidak cukup. Jangan salah logika “kalau begitu tidak perlu jujur dan sopan”. Tidak cukup tidak sama dengan tidak perlu. Kalau jujur tidak cukup, jadi harus bagaimana? Harus jujur included mendatangkan Kerajaan Allah. Saudara harus jujur yang mendatangkan Kerajaan Allah, Saudara harus etis, sopan yang mendatangkan Kerajaan Allah. Karena kalau kita hanya berhenti di jujur, berhenti di etis, Saudara tidak meng-construct apa pun juga, apakah begitu? Tidak, Saudara sedang meng-construct di tiga poin ini, entah Saudara meng-construct Kerajaan Allah, kerajaan kita sendiri atau kerajaan setan. Jadi tidak mungkin kita tidak meng-construct apa-apa, waktu kita tidak bicara dan bicara. Ini adalah hal yang penting sekali karena Tuhan Yesus pun waktu berada dalam dunia, Dia tidak pernah bicara sebagai bukan seorang utusan. Dia selalu mengatakan “apa yang Aku katakan adalah dari Bapa, bukan dari diriKu sendiri”. Ini adalah suatu hal yang mungkin kita luputkan, “jelas saja, Yesus kan menjadi manusia, jadi Dia harus dari Tuhan”, bukan. Dia tahu jelas bahwa Dia adalah utusan, Mesiah, yang diutus, yang diurapi. Dia tahu Dia utusan, tidak boleh bicara sembarangan, maka yang dikatakan adalah semua kehendak BapaNya. Mari kita buka beberapa ayat Yohanes 7: 16-18 “jawab Yesus kepada mereka: “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku. Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri. Barangsiapa berkata-kata dari dirinya sendiri, ia mencari hormat bagi dirinya sendiri, tetapi barangsiapa mencari hormat bagi Dia yang mengutusnya, ia benar dan tidak ada ketidakbenaran padanya”. Ini sangat jelas, kalau Saudara dan saya bicara atas kemauan kita sendiri, bicara atas dirinya sendiri, berarti mencari hormat bagi dirinya sendiri. Ini seperti yang saya katakan tadi, mencuri kemuliaan Allah ketika kita berbicara karena dari kita sendiri. Dari meng-goal-kan apa yang kita mau, tidak peduli Tuhan maunya apa, “utusan itu tidak terlalu penting, yang penting saya ngomong apa, jujur saja. Pokoknya saya keluarkan semuanya, supaya saya lega”, itu sama sekali tidak mendatangkan konstruktif apa pun. Tuhan Yesus saja berbicara dengan cara semua mode utusan. Kita lihat beberapa hal lagi Yohanes 8: 26-29. Kalau kita sebagai gambar dan rupa di-share bisa berkata-kata dari Tuhan, maka ketika Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, Dia adalah rupa Allah yang sempurna, Adam kedua, Adam terakhir yang menjadi perwakilan kita, maka Dia pun tidak lepas dari mode cara berbicara yang memang Tuhan desain yaitu mode utusan. Tuhan Yesus tidak pernah berbicara dari diriNya sendiri, perkataan Kristus adalah perkataan Adam terakhir yang menjadi wakil dari Allah, utusan. Utusan apa? Utusan penebusan dan pendamaian. Berkali-kali Tuhan Yesus mengatakan “apa yang Aku dapat dari Bapa”, sehingga punya point of reverence yang sangat kuat. Karena banyak orang mengklaim “aku ini utusan, aku dengar dari Tuhan, aku sudah membaca Alkitab 100x, aku ini utusan Tuhan”. Tapi kalau utusan Tuhan tidak punya point of reverence dalam hatinya adalah dari Bapa, maka kemungkinan besar dia akan menjadi utusan yang salah, atau utusan yang self-claim, self-appointed utusan. Tidak diutus tapi mengaku diutus. Di dalam Perjanjian Lama, kalau Saudara buka Yeremia 23, Saudara tahu ada nabi yang diutus dan ada nabi yang tidak diutus. Tapi nabi yang tidak diutus itu bicaranya lancar sekali dan kelihatannya bagus. Memang begitu, karena Yeremia 23:30, Allah mengatakan nabi itu mencuri firman dari temannya. Jadi bisakah yang diomongkan itu kelihatannya bagus tapi dia bukan utusan yang benar? Bisa, karena Alkitab mengatakan seperti itu. Yeremia 23: 21 “Aku tidak mengutus para nabi itu, namun mereka giat; Aku tidak berfirman kepada mereka, namun mereka bernubuat”. Ayat 30 “Sebab itu, sesungguhnya, Aku akan menjadi lawan para nabi, demikianlah firman TUHAN, yang mencuri firman-Ku masing-masing dari temannya”. Kalau Saudara dan saya mengerti kita adalah utusan dan mungkin Tuhan mengirimkan orang lain untuk mengingatkan kita dengan metode utusan juga, maka Saudara perlu standing point atau point of reverence yang betul yaitu kita mengerti biblical mindset, apa yang Tuhan rencanakan, Kerajaan Allah itu sebesar apa. Dan ini pasti growing, tidak mungkin 1 atau 2 kali kebaktian Saudara langsung tahu semua. Begitu growing, kita tahu satu biblical mindset, karena kita bisa mengantisipasi utusan yang tidak diutus oleh Tuhan. “Tapi dia bicaranya benar dari Alkitab”, sudah dijelaskan dalam Yeremia, dia mencuri firman dari temannya. Ada terjadi kasus seperti itu. Kita juga bisa self-appointed, “saya sudah berdoa dan rasanya saya mesti ngomong sama kamu”, kira-kira itu berapa persen self-appointednya? Saudara mesti mengeceknya dengan biblical mindset, karena kalau tidak kita akan salah gunakan kata-kata dari Alkitab. Saudara bisa memakai ayat menjadi peluru bagi orang lain. Kalau ada khotbah yang didengar oleh suami istri, suami pasti mengumpulkan peluru, sampai di rumah, amunisinya keluar semua, semua ayat keluar. Orang kalau hanya comot-comot tidak melihat biblical mindset, dia tidak tahu Kerajaan Allah sebesar apa, pasti hanya kerajaan dia yang ditegakkan. Waktu mendirikan kerajaannya, dia bisa pinjam peluru orang, caranya pinjam peluru Alkitab yang paling bagus. Atau alat pembenaran diri, kalau tidak jadi peluru bisa jadi perisai. Kita mudah sekali memakai segala tools yang adalah anugerah Tuhan. Atau Saudara memakai Alkitab sebagai buku primbon, kalau mau ujian, buka Alkitab. Mau cari pacar, buka Alkitab. Mau buka usaha, cari ayat. Itu terlalu mengerikan, itu mempoksa Alkitab. Kita bukan hanya miss-use, kita melecehkan firman Tuhan. Dan ini adalah hal yang sangat mengerikan karena kita ini utusan, utusan tidak boleh melecehkan yang mengutus kita. Saudara dosanya besar sekali. Seorang ambassador yang berkhianat, itu dosanya besar sekali. Kalau kita adalah ambasadornya Tuhan, dan kita mengkhinatai message Kerajaan Allah, kita bisa bersilat lidah dalam semua ayat, dan kita kocok-kocok kemudian keluar. Kita utusan yang mengkhianati Kerajaan Tuhan. Dan sebagai utusan harus berbicara yang mendatangkan Kerajaan Allah. Bukankah ini message Yohanes Pembaptis atau kalimat pertama Tuhan Yesus “bertobatlah sebab Kerajaan Allah sudah dekat”. Mengapa kalimat ini penting, message-nya apa mendatangkan Kerajaan Allah?


Mendatangkan Kerajaan Allah itu ada 2 komponen, pertama ada teguran pertobatan. Tetapi kalau orang ditegur “bertobatlah”, berarti apa harapan Saudara? Dia bertobat. Kalau dia sudah bertobat, dia kembali, kita harus terima. Jadi ada komponen kita mau menerima. Dari apa yang kita ucapkan, kita mau terima kalau dia kembali. Tapi ada komponen peringatan bertobatlah sebab Kerajaan Allah sudah dekat. Kerajaan Allah ini suatu frase yang bagi kita biasa-biasa saja, tapi bagi orang yang sedang bermusuhan, 2 kearajan, kalau dibilang “Kerajaan Allah sudah dekat”, dan di sini bukan Kerajaan Allah, Saudara seharusnya gemetar. Karena berarti kerajaan musuh sudah dekat, kita benar-benar bisa mati kalau kita tidak jalan damai, kita tidak menyerah, atau kita tidak berperang habis-habisan, kita pasti mati. Maka ini berita yang menakutkan sekaligus menenangkan “bertobatlah”, ada kesempatan kita tidak dilibas oleh Kerajaan Allah. Tapi ada juga kalanya habis kesempatan, kita akan dilibas oleh Kerajaan Allah. Maka sebagai utusan, kita punya message mendatangkan Kerajaan Allah adalah memanggil sebanyak mungkin orang untuk menerima Kerajaan Allah. Kita mau orang bertobat, kita mau orang berbalik, kita mau mendatangkan Kerajaan Allah yang menerima banyak orang, sehingga perkataan kita adalah perkataan punya aspek penerimaan. “Kalau terima terus, nanti bagaimana? Nanti kita tidak berani tegur orang”, bukan seperti itu. Ada poin yang lain yaitu kita kemungkinan bisa diperingati orang “Kerajaan Allah sudah dekat, kamu mesti berhati-hati”. Ini satu-satunya kesempatan, kalau itu sudah datang, tidak ada kesempatan. Kita menerima bukan karena takut konflik “sudahlah, kita berdamai saja dengannya, jangan ribut sama dia. Nanti repot, panjang urusannya”, tapi karena kita punya fungsi Kerajaan Allah sudah dekat. Tapi ada fungsi lain, tidak setiap kali ngomong sama orang terus-terusan menegurnya, ini kesulitan besar, karena Saudara punya tugas memberitakan penerimaan. Orang kalau bertobat, terima. Kalau Saudara terus meragukan pertobatan orang lain, Saudara tidak akan pernah menerima orang kembali, karena selalu tidak ada penerimaan, sulit sekali. Mendatangkan Kerajaan Allah, satu sisi bicara kita harus menerima, karena kalau dia ditegur dan bertobat, dan Tuhan mau menerima dia, hak apa kita tidak terima dia. Tapi satu sisi kita juga berani konfront karena Kerajaan Allah sudah dekat. Entah kamu dikonfront Kerajaan Allah nanti atau kamu meneriman peringatan saya. Karena kalau tidak, kamu akan habis, tidak mungkin ada kesempatan. Dan kalau kita utusan, kita mendatangkan Kerajaan Allah, maka seperti Tuhan Yesus di dalam komunikasi bicaraNya, Saudara dan saya mesti belajar poin ketiga yaitu utusan itu kontekstual, memperhatikan orang yang mendengar message kita. Kontekstual berarti kapan utama, kapan minor, kapan duluan, kapan belakangan, itu tidak boleh terbalik. Seperti ketika Tuhan Yesus berbicara dengan Petrus, sebelum menyangkal dan sesudah menyangkal. Dua tone yang sangat berbeda. Message-nya penerimaan dan peringatan, “bertobatlah sebab Kerajaan Allah sudah dekat”, ini dilakukan juga oleh Tuhan Yesus ketika Dia ada di dalam dunia, yaitu ketika Petrus mengatakan “Engkau tidak akan mati, itu tidak boleh terjadi”, Dia melakukan teguran yang sangat keras “setan, enyahlah engkau. Tapi ketika Tuhan Yesus sudah bangkit, bertemu dengan Petrus, Dia tidak mengulangi mode yang sama. Dia tidak mengatakan “setan, apakah kamu bertobat? Aku sudah bangkit”, tapi Dia mengatakan “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Dan di situ Saudara bisa tahu betapa tepatnya message sebagai utusan itu bicaranya tepat. Amsal mengatakan “perkataan yang tepat seperti apel emas di pinggan perak” itu luar biasa bagusnya. Dan ini memang tidak mudah, berbicara seperti ini perlu anugerah, perlu hikmat. Dan sekali lagi, kita perlu betul-betul menyadari 2 poin itu, kita bicara mendatangkan Kerajaan Allah karena kita di-share, bukan milik kita sepenuhnya. Kedua, kita adalah utusan, utusan tidak boleh bicara sembarangan. Utusan harus cocok dengan apa yang menjadi kehendak pengutusnya, ambasador harus cocok dengan negara yang mengutus, jangan menjadi pengkhianat.


Di dalam prinsip-prinsip ini, saya akan membawa Saudara ke dalam pengertian yang Efesus bahas, tetapi dari angle atau perkataan, bicara ini. Efesus 5: 22 sampai Efesus 6: 9. Kita akan melihat 3 pasang relasi yaitu suami istri, orang tua anak, tuan hamba. Mari kita melihatnya di dalam kerangka yang tadi dibagikan oleh Tim Lane & Paul Trip. Kalau Saudara tidak memakai kerangka itu, ketika Saudara membaca ini, Saudara akan segera mengoleksi peluru. “Dia kurang tunduk sih. Melakukan hal kecil saja tidak bisa, apalagi untuk mengasihi”, Saudara akan segera mengoleksi peluru, peluru untuk membalas lawan bicara kita. Kalau orang tua dan anak, “jadi papa bisanya hanya membangkitkan amarah, bagaimana bisa saya patuh sama dia”, Saudara akan segera koleksi peluru. Tapi kalau Saudara melihat ini dalam kacamata kita di-share, kita berbicara dari Tuhan dan kita adalah utusan, mari kita lihat sama-sama. Suami istri adalah orang yang bisa bicara satu dengan yang lain, dengan kedekatan tapi di dalam satu kerajaan. Suami istri kalau berantem sebenarnya satu idenya yaitu perang kerajaan suami dan kerajaan istri, “aku ikut kamu atau kamu ikut aku”. Tapi kalau kita lihat komunikasi atau bicara suami istri, tahu kalau bicara on behalf of Kerajaan Allah. Sama, istri juga tahu dia sedang bicara kepada suaminya sebagai utusan Kerajaan Allah yang setia kepada yang mengutus yaitu Tuhan, maka kita akan mendapatkan satu bicara yang baik. Mostly, saya tidak bilang semua, kebanyakan suami itu bicaranya kalau sudah marah. Karena suami normalnya bukan cerewet, tapi diam. Nanti bicaranya kalau sudah penuh, meledak amarahnya. Jadi mode komunikasinya hanya marah, karena tidak pernah tahu dia adalah utusan, tahunya hakim, tuan harus ditaati “tunduklah pada suamimu”, selesai kalau begitu. Mengapa banyak kekacauan dalam relasi suami istri? Karena mode suami seperti itu. Mode istri, sama yaitu seperti yang Amsal bilang, istri yang cerewet itu menetes terus. Memang itu tidak mendatangkan banjir bandang, tapi menetes itu menyebalkan dan merusak. Saudara taruh apa pun di bawah tetesan itu nantinya akan rusak. Kalau menetes terus, modenya sama yaitu kerajaan saya. Maka suami istri apa yang harus dikomunikasikan? Apa yang harus dibicarakan? Saya bicara kepadamu sebagai orang yang dicintai oleh Tuhan dan mencintai Tuhan. Sama, suami bicara kepada istri sebagai orang yang mengasihinya, dan istri bicara juga sebagai orang yang tunduk pada suaminya. Dan itu adalah satu kerajaan, jangan berantem. Kalau dua kerajaan pasti berantem karena interest “saya atau kamu yang menang:. Itu tidak bisa. Mode utusan, mode message Kerajaan Allah, Saudara kalau menangkapnya, sebelum Saudara bicara akan dipikir dulu, “ini modenya apa ya”. Saudara akan terhindar dari menyimpan peluru terlalu banyak. Itu betul-betul hal yang membahayakan. Kemudian relasi orang tua dan anak, anak mendengarkan orang tua dan tahu orang tua adalah utusan, paling tidak mereka hidup lebih lama dari kita, mereka punya wisdom yang lebih lama dari kita, mari kita dengar terlebih dahulu. Jangan langsung dibantah, mengatakan “sudah tahu semuanya”, sebenarnya belum tahu. Sebagai anak kita mesti mengerti orang tua, meskipun orang kita percara atau tidak percaya kepada Tuhan, kadang Tuhan menaruh otoritas orang tua di atas kita, maka kita mesti mendengarkan mereka. Memang tidak harus semuanya ditelan, karena mesti dipikirkan mode Kerajaan Allah. Waktu orang tua berbicara kepada anak juga sama, yaitu jangan membangkitkan amarah anak. Kalau kita bicara tidak memakai mode utusan, kita menasehatinya begitu terus, selalu apa yang kita mau. Karena apa yang kita omongkan selalu ada unsur what, apa yang kita bicarakan, why, mengapa kita mengatakan itu, dan how, ngomongnya kapan, bagaimana intonasinya. Itu hal yang termasuk di dalam poin berbicara. Dan kalau orang tua tidak memerhatikan 3 poin ini, untuk anak juga, kita akan membangun komunikasi yang saling membangkitkan amarah. Karena 2 kerajaan, kerajaan orang tua yang lebih senior, atau kerajaan yang lebih muda, kerajaan anaknya sendiri. “Kamu tidak tahu apa-apa, masih muda”, seperti itu pasti gagal. Atau sebaliknya, anak merasa “mami terlalu jadul, terlalu kolot, sekarang tidak begini, zaman sudah berubah”, 2 kerajaan. Tapi kalau 1 kerajaan, sama-sama orang tua bicara sama anak “ini tentang Kerajaan Allah, saya diutus dalam rumah ini bicara sama kamu”. Sebaliknya “ini tentang Kerajaan Allah, saya diutus dalam rumah ini untuk bicara mendengarkan orang tua atau memberi masukan kepada orang tua”, sebagai utusan dari Kerajaan Allah. Maka Saudara punya 1 mindset yaitu kita sama-sama adalah 1 kerajaan. Dan ini akan menghindarkan banyak hal. Lalu relasi tuan dan hamba, ini juga sama. Dan yang tidak ada di Surat Paulus adalah zaman dulu tidak ada medsos. Saudara di media sosial itu sangat penting, apa yang Saudara upload, masukan dalam status, apakah itu membuat Saudara dan saya dikenali sebagai utusan Kerajaan Allah atau tidak. Apakah kita meng-construct society dengan message Kerajaan Allah atau kita meng-construct society dengan our ego, kerajaan saya. Banyak kata yang sia-sia karena kita merasa kata-kata milik kita, kita bicara tidak meminjam mulut orang lain “saya bebas melakukan apa saja, terserah saya update status, ini akun saya, apa masalahnya? Tapi jangan lupa Saudara sedang meng-construct sesuatu, apakah meng-construct Kerajaan Allah atau meng-construct masalah?

Biarlah kita punya message yang penting, punya martabat yang mulia, punya kasih yang tulus, punya bijaksana yang kontekstual, dan punya kejujuran yang anggun seperti Kristus.