Lukas 1: 52-55 “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya”.
Kita bersyukur karena Kristus hadir untuk memberikan perubahan yang sangat besar, ini yang diharapkan oleh orang-orang Israel bahwa ketika Mesias datang semua yang kacau akan menjadi baik kembali. Kerajaan-kerajaan yang rusak, yang menentang Tuhan akan dihakimi, dan Tuhan akan mengubah kondisi, mengubah keadaan. Ini satu pengertian yang orang Israel sudah pahami dari dulu, mereka tahu bahwa Tuhan adalah yang menaikkan raja untuk bertahta, Tuhan juga yang turunkan raja dari tahtanya. Tuhanlah yang mengganti pemerintahan. Jadi ketika mereka ditindas oleh raja yang kejam atau ketika Israel ditaklukan oleh kerajaan lawan, maka mereka bisa berseru kepada Tuhan dan Tuhan akan mengubah keadaan. Ini sangat penting karena sampai sekarang pun kita sangat dipengaruhi oleh kondisi politik. Kita tidak bisa memperhatikan hanya diri tetapi mengabaikan kondisi politik. Saudara mengatakan kepada anak, “nak, kuliah baik-baik, cari ilmu setinggi mungkin, cari koneksi sebaik mungkin, supaya kamu bisa punya pekerjaan yang baik”. Tapi kalau kekacauan politik terjadi, tidak peduli Saudara lulus dari mana, Saudara dapat gelar apa, Saudara punya keahlian apa, semua jadi tidak berguna. Ketika keadaan krisis datang, semua yang kita asumsikan stabil, hilang. Dan waktu kita sudah mempersiapkan diri dengan asumsi ada kestabilan, baru kita sadar persiapan diri kita ini tidak ada guna. Semua orang sadar betapa rentannya dia dan betapa tidak berdayanya dia, jika dia berhadapan dengan krisis. Setelah Perang Dunia yang kedua, salah satu bentuk teologi yang populer adalah teologi yang disebut dengan teologi krisis atau nama lainnya adalah teologi Neo-Ortodoks, ini tekanan ada pada kritik kepada alur sejarah. Jadi para ahli teologi seperti Carl Barth, seperti Bonhoeffer dan lain-lain di dalam aliran ini, sangat mengeritik tradisi teologi liberal. Mengapa mereka kritik liberal? Karena teologi liberal menganggap ada kestabilan di dalam sejarah dan mereka bisa prediksi apa yang akan terjadi. “Kerajaan Allah akan datang kalau kita mengajarkan moral kepada orang-orang. Kerajaan Allah akan menjadi nyata, keadilan akan terjadi, keteraturan akan terjadi kalau Kekristenanan menekankan pendidikan”, misalnya, dan ini seperti bisa diprediksi. Ini seperti pasti akan terjadi di Eropa. Ternyata prediksi itu salah karena ada Perang Dunia ke-2 dan semua yang diharapkan hilang. Bahkan tadinya Perang Dunia 1 ini membuat teologi itu makin goyah, Perang Dunia ke-2 membuat teologi liberal hancur. Maka teologi krisis muncul dan mengatakan “kami sudah tidak percaya lagi dengan prediksi, orang mengasumsikan semua stabil ternyata tidak bisa stabil. Semua mengasumsikan keadaan baik ternyata tidak baik”. Mirip dengan orang-orang di Perjanjian Lama, mereka mengatakan “aman, karena ada Bait Suci”, tapi Yeremia mengatakan “tidak ada aman. Kamu mengatakan bahagia, kamu menyatakan damai sejahtera, tidak ada damai sejahtera. Kamu mengatakan di tengah-tengah kami ada Bait Suci, Tuhan akan membawa Kerajaan Babel menghancurkan Bait Suci”. Ini membuat kestabilan agama, kestabilan politik di Yerusalem dan kestabilan kerajaan Daud seperti jadi tidak ada guna, semua hancur. Dan ketika orang Israel berusaha kaitkan antara janji Tuhan dan krisis, mereka bingung bagaimana kaitkan janji Tuhan dengan krisis? Maka teolog krisis yang awal itu bukan Barth, tapi Yeremia, Yesaya, Yehezkiel, merekalah yang kaitkan antara fakta kekacauan dengan janji Allah. Bagaimana janji Allah tetap bisa dipegang di tengah-tengah kekacauan? Itu sebabnya teologi sangat penting. Di dalam zaman setelah Perang Dunia 2, baru orang sadar teologi penting ketika teologi itu diarahkan kepada hidup. Teologi memperhatikan fakta kehidupan sehari-hari, teologi memperhatikan kebutuhan jemaat, teologi memperhatikan pergumulan yang terjadi, baru teologi itu dirasa sangat menolong. Ini yang menjadi kerusakan di bidang teologi kalau teologi hanya berupa spekulasi yang tidak menyentuh pergumulan hidup dari gereja Tuhan. Teologi adalah untuk umat, untuk jemaat bergumul dan menang. Itu sebabnya ketika orang hidup di dalam krisis dan mereka membaca teologi yang menyatakan sejarah tidak stabil, kondisi pemerintah tidak stabil hanya kalau Tuhan intervensi dengan FirmanNya. Ketika Sang Anak Allah masuk ke dalam sejarah baru bisa ada harapan. Jangan berharap sejarah, jangan berharap pemerintah, jangan berharap kondisi stabil karena kita sudah rancang, berharaplah Tuhan intervensi, ini tema penting di dalam teologi krisis. Intervensi Tuhan memberikan harapan, tapi apakah kita berharap pada intervensi Tuhan? Saudara dan saya berharap pada apa? Kita punya iman yang kadang-kadang tidak menyentuh hidup. Orang berteologi untuk hidup, bukan untuk pengetahuan, dalam pikiran saya perlu Tuhan, saya perlu kehadiran Dia memimpin saya, dan ini inti dari teologi krisis. Kamu perlu Tuhan? Mari cari Dia, mari pelajari teologi. Sayang sekali jika kita tidak mengerti hal ini, karena kita kehilangan kekayaan dari teologi Kristen. Harap kita mau tahu apa yang teologi katakan tentang hidup yang mirip dengan apa yang orang Israel harapkan, “kami tidak bisa berharap pemerintahan akan baik, kami tidak bisa berharap bisa membangun kembali Yerusalem”, mereka sudah coba bangun, mereka sudah membuat tembok, tetap mereka tidak punya kekuasaan dari keturunan Daud. Mereka sudah bangun kembali Bait Suci, lalu Herodes sudah pugar jadi Bait Suci yang besar, tapi tetap mereka tidak punya Israel yang lama, tidak ada keturunan Daud memerintah, tidak ada otonomi pemerintahan, tidak ada Kekuasaan untuk menjalankan ibadah dan agama. Ini membuat mereka heran “kami sudah kerjakan semua, Bait Suci sudah dibangun, seluruh tembok Yerusalem sudah jadi, dimana kerajaan itu?”. Maka mereka mulai sadar tanpa datang Mesias tidak akan ada perubahan, tanpa Allah hadir tidak mungkin ada perubahan, dan kalau Allah hadir pasti ada perubahan, ini pengertian harus kita mengerti juga. Saudara mengharapkan Tuhan hadir, tapi Saudara tidak mengharapkan perubahan, itu aneh. Kita tidak mungkin harap Tuhan hadir dan Dia diam, kita tidak mungkin harap Dia hadir dan semua berjalan biasa seperti tidak ada perubahan, ini bukan yang dicatat di dalam Kitab Suci. Ketika Tuhan menyatakan diri terjadi goncangan di dalam sejarah, goncangan apa? Yang paling jelas adalah goncangan dari pemerintahan yang ada. Raja-raja dan orang-orang yang berpotensi jadi raja berlomba-lomba ambil kekuasaan. Firaun di dalam zaman ketika Israel ditaklukan oleh Mesir itu adalah dinasti yang ganti-ganti terus, orang-orang dari dinasti yang berlainan memimpin Mesir, sehingga dari awal Israel sudah sadar “yang kami takuti harus Tuhan, karena kalau kami takut kepada Firaun, dinasti dia tidak akan lama. Tidak lama lagi akan ada orang kuat yang dari dinasti lain dengan tentara yang kuat kalahkan pemerintah yang ada”, pemerintah ganti berganti, raja ditundukkan dan diganti dengan raja lain. Maka mereka sadar jika Tuhan tidak intervensi, keadaan akan begini terus. Yang potensi berkuasa akan berkuasa, yang punya kuasa akan ditaklukan oleh berpotensi berkuasa. Lalu di mana orang biasa, di mana rakyat miskin, di mana orang rendah? Hanya menjadi penonton untuk lihat “siapa lagi yang akan menindas saya sesudah ini? Sesudah kerajaan satu dinasti lewat, dinasti lain yang akan menindas saya siapa lagi?”. Seperti ada aturan kekal, kalau kamu miskin, kalau kamu tidak punya suara, kamu tidak punya pengaruh, tidak punya uang, tidak punya tentara, kamu selamanya akan ada di bawah. Dan kamu selamanya akan ditaklukan, meskipun pemerintah berganti mereka akan tetap ditaklukan. Ketika saya coba injili satu orang sopir taksi waktu keadaan mau pemilu di tahun 2014, saya memulai percakapan dengan tanya “bapak nanti pilih siapa?”, siapa tahu nanti bisa ada ujung untuk bicara Injil. Dia cuma mengatakan kalimat pendek “siapa saja lah, pak. Siapapun jadi, saya tetap cari uang dengan setir begini. Siapa pun jadi, kalau saya dipecat, tetap akan dipecat. Siapa pun jadi, saya juga tetap harus mati-matian cari uang, nanti anak-anak saya tetap kurang uang untuk kuliah, mau apa? Siapapun jadi terserah. Kita ini dibohongi terus”, kata dia. “Terus dibilang: pilih saya, pilih saya. Saya sudah capek, jadi saya nanti pilih tinggal hitung kancing. Pokoknya nanti saat masuk ke dalam tempat pemilihan, siapa pun terserahlah, saya sudah pesimis”, ini jadi suara yang kita maklumi, semua orang rendah akan mengatakan “siapapun pemimpinnya, saya tetap alas kakinya pemimpin, siapapun pemimpin saya cuma bawahan yang tidak ada arti”. Tuhan menyadari kekalnya sistem sosial seperti ini dan Tuhan intervensi. Kapan pertama Tuhan intervensi? Di dalam Kitab Keluaran, waktu Dia intervensi, Dia ubah Kerajaan Mesir yang besar ditaklukan oleh para budak. Ini siapa yang bisa ubah kalau bukan Tuhan, siapa yang bisa berikan pengharapan jika bukan Tuhan. Saya harap Saudara tahu pengharapan ini dan bersukacita karenanya.