Saya akan membahas di bagian pertama bagaimana kehadiran Kristus memperkenalkan Sang Bapa. Lalu di kebaktian sore, saya akan membahas bagaimaan kehadiran Kristus memperkenalkan Roh Kudus. Di dalam abad ke-20 banyak gerakan teologi yang sangat kritis terhadap liberal, terutama karena pengaruh seorang bernama Schleiermacher. Schleiermacher mengatakan bahwa setiap orang perlu untuk memiliki perasaan bergantung pada Tuhan dan itulah inti beragama. Apa itu agama? Agama berarti ada perasaan total bergantung, total dependance, kepada Tuhan. Bergantung total, berserah total, dan menyerah total kepada yang absolut. Tapi akhirnya agama Kristen di dalam pengaruh dari Schleiermacher menjadi begitu subjektif, menjadi begitu inward, ke dalam, kalau saya melihat diri saya ke dalam lalu saya menemukan perasaan ingin bergantung, saya menemukan bahwa psikologi saya tidak mungkin bisa utuh kecuali saya bergantung kepada Tuhan, maka itu adalah agama yang mengandalkan keagamaan kepada perasaan di dalam. Perasaan subjektif di dalam menjadi inti dari agama. Itu sebabnya banyak tokoh di abad ke-20 yang mengkritik gerakan ini sebagai gerakan mendapat wahyu lewat agama. “Saya beragama lalu saya mendapatkan pencarian ke dalam tentang agama. Saya mencari ke dalam lalu saya menyadari kebutuhan saya untuk bergantung kepada Tuhan”, dan dari situ muncul agama. Sehingga agama ini adalah agama yang muncul lewat perasaan beragama. Saya punya perasaan beragama dan perasaan itu yang membentuk agama. Agama dari mana? Dari perasaan perlu bergantung, perasaan agama. Perasaan agama membuat agama, itu salah. Agama harusnya dibentuk oleh wahyu. Agama dibentuk oleh pernyataan dari Tuhan dan bukan oleh sesuatu dari dalam diri manusia. Saudara dan saya kalau mencari dalam diri hanya akan menemukan kejahatan, egois dan juga segala sifat-sifat yang dibenci oleh Tuhan. Tapi kalau kita terus mengandalkan perasaan di dalam, maka agama yang kita dirikan akan mendorong Tuhan menjauh dari sistem ibadah dan agama. Kalau saya mengandalkan diri untuk mengenal Tuhan, Tuhan akan terdorong semakin jauh, “Tuhan harus mirip dengan apa yang saya cari, kalau Tuhan tidak mirip dengan apa yang saya cari, maka saya akan singkirkan sisi itu dari Tuhan”. Itu sebabnya liberalisme akan mendorong orang untuk mencari Tuhan melalui apa yang saya perlu atau apa yang saya pikir saya perlu. Lalu saya akan tangkap atau saya akan pegang Tuhan berdasarkan ide saya tentang siapa Tuhan. Tapi di abad ke-20, ada seorang bernama Karl Barth mengkritik hal ini. Banyak hal dari Karl Barth yang memang kita tidak setuju, tapi banyak hal yang perlu kita pelajari dengan serius dari tokoh besar ini. Saya terus mengatakan kepada mahasiswa di STT, mahasiswa yang saya ajar bahwa mereka harus belajar tokoh-tokoh penting meskipun ada sisi ngawurnya, “kamu harus punya kedewasaan untuk tahu ngawurnya di mana, tapi juga harus punya kepekaan untuk tahu jeniusnya dimana”. Dari pada Saudara baca orang biasa yang baik. Orang biasa yang baik kurang insightful, lebih baik orang nakal yang pintar, asalkan Saudara tahu nakalnya dimana, Saudara bisa lokalisir nakalnya dan Saudara dapat berkatnya. Lebih baik baca buku yang agak-agak menyerempet sesat tapi pintar, lebih baik baca buku yang pernah memengaruhi dunia meskipun ada sisi sesat, dari pada Saudara membaca buku yang tidak ada pengaruh apa pun meskipun baik. Tapi Saudara perlu bijaksana untuk tangkap hal mana yang baik, hal mana yang perlu dipegang dan hal mana yang Saudara harus buang sama sekali. Itu sebabnya saya ingin kita tahu apa yang Barth kritik dari Schleiermacher.
1 of 5 »