(Lukas 5: 12-16)
Injil Lukas sangat jelas dibagikan tentang motif perjalanan. Jadi Yesus sedang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, Dia sedang tidak berdiam di satu kota, Dia tidak menjadikan satu kota itu rumah, tetapi kota itu adalah tempat Dia lalu. Jadi di dalam Injil Lukas tekanan yang utama adalah tujuan akhir Kristus yaitu datang ke Yerusalem. Di Yerusalem Dia akan dihakimi, diberikan hukuman dan mati di kayu salib, inilah tujuan yang paling akhir. Tetapi untuk sampai pada tujuan itu, Lukas membagikan Yesus melakukannya dengan perjalanan dan sambil berjalan sambil mengajar, sambil berjalan sambil menyembuhkan, sambil berjalan sambil mengerjakan hal-hal yang sifatnya mujizat. Maka Injil Lukas secara utuh membagikan kepada kita bijaksana bagaimana mengerti ada satu poin utama dari dalam hidup, tetapi tidak menjadi reduktif dengan mengecilkan seluruh hidup hanya kepada tujuan itu saja tanpa mempedulikan yang lain. Dia tidak mengabaikan orang sakit kusta dengan mengatakan “tolong jauhi Aku, Aku punya target dan harus mencapai itu”, Tuhan tidak lakukan itu. Maka meskipun pekerjaan utamaNya adalah untuk menjadi korban, mati di kayu salib. Tetapi Lukas membagikan seluruh perjalanan Kristus untuk Dia sampai ke kayu salib, itu adalah perjalanan yang penuh berkat dan penuh dengan bahagia bagi setiap orang yang bertemu dengan Dia. Termasuk dalam bagian ini, Yesus sedang berada dalam satu kota, kota apa bahkan tidak dianggap penting oleh Lukas, tapi intinya kota ini adalah kota Yesus singgah untuk nanti Dia berjalan ke kota lain. Tetapi di kota ini Dia bertemu dengan orang yang sakit kusta. Waktu kita mau menafsirkan kusta itu seperti apa, banyak hal yang sulit untuk kita pahami, tapi kalau kita baca dari Imamat 14 dan 15, Saudara akan menemukan bahwa kusta adalah penyakit yang sangat ditakuti, sangat menular, dan sangat mungkin untuk menjadi wabah di dalam satu komunitas. Kusta ini menjadi simbol untuk kecemaran dan pengasingan. Maka siapa yang kena penyakit kusta mesti disingkirkan, dan waktu disingkirkan dia menjadi simbol pengasingan. Dan simbol pengasingan ini tidak selamanya, ketika dia sembuh, imam mengatakan dia sembuh maka dia boleh kembali setelah melewati ritual yang ada di Kitab Imamat. Jadi ada penerimaan kembali setelah sebelumnya ada pengasingan. Seluruh dunia membahas keterasingan di mana aku menjadi korban dan hal di luar aku menyebabkan aku terasing. Tetapi Alkitab membahas secara lain. Alkitab tidak mengatakan “kamu terasing karena orang lain mengasingkan kamu”, Alkitab tidak mengatakan seperti Karl Marx “kamu terasing karena orang-orang penting mengasingkan kamu keluar dari sini”. Alkitab mengatakan keterasingan kita itu terjadi karena kita pilih untuk mengasingkan diri. Kita terasing dari Tuhan karena kita pilih menjauhi Tuhan, kita terasing dari sesama karena kita pilih untuk menjauhkan diri sehingga kita mengasingkan diri dari sesama. Mengapa orang konflik dengan orang lain? Sartre kemukakan teori yang sangat menyindir kita semua, dia mengatakan “konflik kita terjadi karena menganggap diri kita pusat dan semua orang lain ada untuk diperalat oleh kita. Waktu alat itu tidak berfungsi sebagai mana mestinya, aku marah. Dan karena aku marah, akhirnya aku menjadi konflik dengan dia”. Dan gawatnya orang lain pun berpikir sama, orang lain merasa diri merekalah pusat, lalu kita hanya alat. Jadi kita mengatakan “kita pusat, orang lain alat”, orang lain juga mengatakan dirinya pusat, kita dan yang lainnya hanya alat. Semua sama-sama mengklaim sentralitas dan menganggap orang lain alat. Karena saling mengklaim diri sentralitas dan menganggap orang lain alat, akhirnya orang marah satu dengan yang lain. Marah, karena “aku marah karena kamu tidak berfungsi seperti semestinya”. Orang lain juga kecewa “mengapa engkau tidak berfungsi sebagaimana mestinya?”. Akhirnya semua minta dirinya yang diberikan fokus, itu sebabnya konflik tidak berhenti. Maka manusia berada dalam keterasingan.
Dan di dalam Kitab Imamat ada simbol yang sangat baik untuk menggambarkan keterasingan yaitu simbol penyakit kusta. Kusta adalah penyakit yang sangat berbahaya. Maka Tuhan memakai ini pun menjadi simbol keterasingan. Setiap orang yang terkena kusta mesti keluar dari komunitas dan setelah itu mereka berada dalam komunitas sendiri yang diusir dari tempat asal mereka. Mengapa mereka harus diusir? Yang pertama karena takut menularkan penyakit, tapi yang kedua yang paling penting adalah karena penyakit ini menjadi simbol keterasingan dosa. Tuhan mau ketika orang melihat orang kusta yang diasingkan, orang langsung menidentikan dirinya seperti orang kusta itu. Dalam penjelasan para rabi, dikatakan bahwa kusta itu ada 2, kusta secara fisik yang kelihatan secara kulit dan kusta rohani. Dan dalam penjelasan Kitab Imamat dikatakan kusta fisik waktu dilihat gunanya adalah menyadarkan orang Israel bahwa ada kusta rohani yang membuat kita dijauhkan dari Tuhan. Kita menjadi terasing karena kita sendiri punya penyakit kusta di dalam diri kita. Maka orang kusta ini menjadi simbol, mereka dikeluarkan dari komunitas dan mereka hidup terasing, mereka hidup kesepian, mereka hidup tanpa ada lagi interaksi antar manusia. Orang kalau sudah kena kusta, kalau dia dekat dia harus mengatakan “najis”, lalu orang yang mendekat akhirnya menjauh kembali. Mereka berada dalam keadaan dimana mereka dulu tidak seperti itu. Dulu mereka bisa berelasi dengan baik, sekarang setelah itu hilang, mereka baru sadar apa yang mereka anggap biasa ternyata itu anugerah besar sekali. Kita sering mengabaikan relasi antar pribadi karena menganggap ini biasa. Kita sering mengabaikan jabat tangan karena kita pikir jabat tangan itu biasa. Ini sesuatu yang biasa, tidak ada orang yang menganggap jabat tangan itu spesial. Tetapi kalau Saudara sudah dikeluarkan dari kesempatakan menjabat tangan orang, baru Saudara tahu jabat tangan dengan orang itu sangat berharga. Maka mereka menjadi simbol “inilah pengasingan yang terjadi ketika orang sudah jatuh dalam dosa”.
Maka meskipun mereka berpenyakit seperti simbol dosa, mereka tidak tentu harus disamakan dengan orang berdosa. Mereka dipakai Tuhan untuk menjadi simbol itu saja. Tapi kusta itu sendiri bukan dosa, maka meskipun kusta harus disingkirkan, ini adalah orang-orang yang menjadi contoh untuk kecemaran dari dosa. Maka waktu orang mendekati orang sakit kusta, ini tidak menjadi dosa. Ini yang disalah mengerti oleh orang Israel, tetapi Yesus tidak salah mengerti. Di ayat 13 Yesus mau mentahirkan orang itu lalu menyentuh dia. Orang itu waktu melihat Yesus langsung tersungkur di tanah, harusnya dia berteriak “najis”, lalu orang yang mendengar ini akan menjauh. Tapi dia tidak sanggup kehilangan Yesus juga. Maka dia tidak berteriak “najis”, suruh Yesus menjauh, tapi dia langsung sujud tersungkur di tanah, dia mau mohon Yesus untuk sembuhkan, tapi dia sadar dia tidak berhak mendapatkan kesembuhan ini. Setelah dia tersungkur dia berteriak “Tuhan, kalau Engkau mau sembuhkan aku, tolong sembuhkan. Tuhan Yesus menyembuhkan dengan banyak sekali cara, dan setiap cara yang Dia pilih punya makna dalam luar biasa. Maka pada bagian ini Yesus menyentuh orang itu, padahal bagi pandangan orang Israel menyentuh orang kusta berarti menularkan dosa, bukan cuma penyakit. “Karena orang kusta najis, kalau dekat-dekat maka akan najis juga. Maka kalau ada orang sakit kusta mendingan jauh-jauh, mereka sentuh apa, kita haramkan barang itu, mereka ada di mana kita najiskan daerah tempat mereka berada”. Tetapi Tuhan Yesus tidak demikian, Yesus menyentuh orang itu untuk sembuhkan. Waktu orang itu disentuh, saya tidak tahu perasaannya secara spesifik, tapi dia pasti akan merasa begitu berharga pada saat itu. Karena setelah sekian lama ada orang yang rela sentuh dia kembali. Maka Yesus menyentuh dia, mungkin untuk membangunkan dia dan mengatakan “kamu sudah sembuh”. Satu sentuhan yang bukan hanya menyembuhkan kulit dari orang itu, tapi juga menyembuhkan kejiwaan dari orang itu. Orang itu mengatakan “akhirnya ada 1 orang yang menerima saya”. Akhirnya ada 1 orang yang mengatakan “mari kamu dan Saya ada dalam satu relasi yang baik, mari Saya mau sembuhkan engkau”, dan itu dilakukan dengan sentuhan. Bisakah Tuhan Yesus dari jarak jauh mengatakan “sembuh kamu, tolong jangan dekat-dekat”? Bisa. Tapi mengapa Tuhan Yesus harus menyentuh orang itu? Karena Tuhan Yesus mau menyatakan Dia mau menerima orang itu bukan hanya menerima dia meskipun cacat di kulit tapi mau menerima dia, meskipun dia sudah dianggap cacat di seluruh mata Israel.
Maka orang Israel ketika melihat orang kusta itu sering membuat kotak-kotak untuk membuat mereka berada di dalam level yang jauh, mereka membuat kotak-kotak secara rohani, “kalau engkau kusta, jauhi saya. Kalau sudah sembuh maka engkau dekat”. Kita sendiri sering membuat kotak-kotak di dalam hidup, kita sering mengkategorikan manusia dengan kategori yang remehnya bukan main, Saudara mungkin tanpa sadar juga lakukan ini, membuat kotak, kira-kira orang ini levelnya di mana. Dan kadang-kadang kotak yang kita buat itu namanya kotak ekonomi, maksudnya kita mau lihat orang ini pantas diletakan di mana, ekonomi sehat, ekonomi setengah sakit, ekonomi sakit, ekonomi setengah mati, atau ekonomi mati. Maka kita tidak boleh mengkategorikan orang dengan prinsip-prinsip yang tidak esensial. Saya tidak bilang Saudara tidak boleh menghargai orang berdasarkan prestasi, say ahanya mengatakan biarlah prestasi yang kita hargai itu benar-benar prestasi yang berkualitas dari seseorang. Orang kalau punya bijaksana, keadilan, punya prinsip berbelas kasihan, mau dia kaya atau miskin, dia adalah orang hebat. Orang kaya yang penuh belas kasihan adalah orang hebat, orang miskin penuh belas kasihan juga orang hebat. Orang kaya yang jahat ini orang jelek, orang miskin jahat juga sama jeleknya. Maka pengkategorian kita harus kita ubah. Tapi pengkategorian yang paling bahaya itu bukan berdasarkan ekonomi, suku, pengkategorian yang paling bahaya adalah berdasarkan rohani. Kita mulai membuat kotak mana rohani dan mana tidak. Lalu orang yang masuk kotak ini adalah orang hebat, orang yang tidak lakukan ini adalah orang yang jelek. Tetapi celakanya kotak yang kita buat pun terlalu sepele. Saudara hati-hati, Jonathan Edwards menulis sampai 4 buku untuk menunjukan bahwa kita tidak bisa sembarangan menila rohani orang. Membuat kotak-kotak berdasarkan prinsip-prinsip yang salah dan ini membuat orang menghakimi dengan cara sangat kejam. Kitab Imamat tidak pernah bilang orang kusta itu karena berdosa, kitab Imamat hanya mengatakan kusta menjadi simbol penolakan Tuhan, bukan berarti orang kusta ditolak Tuhan. Itu sebabnya ketika orang kusta dinilai dengan penghakiman yang salah, ini kejam sekali bagi mereka. Mereka diusir, mereka sudah mendapat luka di kulit, lalu orang mengatakan “kamu sedang dikutuk oleh Tuhan”. Perkataan yang gampang menghakimi orang lain ini sangat dibenci Tuhan. Maka Tuhan Yesus memulihkan bukan hanya menyembuhkan di dalam kulit, tetapi juga menyembuhkan kerinduan orang itu untuk diterima kembali. Yesus menerima orang berdosa. Sedangkan orang berdosa belum tentu menerima orang berdosa lain. Saya tidak mengatakan ini untuk membuat Saudara tidak lagi mengawasi satu sama lain, kita mesti tetap awasi satu sama lain. Saudara mesti lihat siapa di antara kita yang sedang berada di dalam keadaan bahaya untuk jatuh ke dalam dosa. Lalu Saudara mesti bertindak dengan tegas mengatakan “kamu sedang dalam bahaya”. Ini sama sekali tidak termasuk dalam pengkategorian yang saya katakan. Saudara lihat orang berdosa lalu Saudara tegur sebagai orang yang juga sama-sama berdosa yang peduli kepada orang itu lalu memberikan teguran, ini baik. Tapi kalau Saudara menyingkirkan orang karena merasa “saya suci, dia kotor”, itu yang tidak baik. Dan ini sangat banyak berkembang di dalam kerohanian yang sempit.
Zaman dulu dari Perjanjian Baru sampai sekarang, salah satu kebahayaan gerakan spiritual adalah seringkali ada kecondongan ekstrim. Farisi begitu baik di awalnya, mau menekankan kehidupan spiritual yang baik, kesucian hidup. Tapi setelah mereka menjalankan kesucian, mereka mulai singkirkan orang-orang yang dianggap gagal. Mereka mulai membentuk komunitas eksklusif yang menyatakan “kami orang baik, yang lain minggir, karena kalian semua orang jahat”. Ini bahaya yang terus mengancam sampai sekarang. Marilah kita tidak menjadi orang elit dalam spiritual. Orang yang membedakan kesukuan, menganggap dirinya elit karena suku. Orang yang membedakan ekonomi, menganggap dirinya elit karena punya ekonomi tinggi. Orang yang menganggap rohaninya baik, menganggap diri elit secara spiritual lalu yang lain itu adalah kelompok rendahan. Termasuk kelompok seni, orang yang suka musik agung, terkadang membuat spiritual elitis “kami ini orang-orang elit yang mengerti musik agung, yang lain cuma dangdutan, maka orang lain rendah”, ini pun mental yang tidak baik. Saya sering mengkritik musik jelek, bukan karena merasa diri lebih baik, tapi karena saya merasa kamu yang menikmati musik jelek bisa juga menikmati musik bagus, mengapa terus jelek? Kalau orang terus makan makanan junk food, lalu Saudara mengatakan “ini ada makanan sehat, ayo pindah ke sini”. Tapi spiritual elitis mengatakan “kamu makan junk food ya, ya sudah ini ada tembok pemisah antara aku dan engkau, dan kita tidak mungkin bersatu lagi”. Ini namanya spiritual elitis. Dan orang-orang kusta di luar tembok elit ini dan mereka tidak mungkin kembali. Tapi Tuhan Yesus justru terima kembali. Maka Injil Lukas ini menjadi hantaman bagi orang-orang yang merasa diri benar. Ketika merasa diri benar, Tuhan mereka mau jangkau orang-orang itu. Lalu Tuhan memanggil mereka kembali, menyentuh mereka lalu mengundang mereka kembali kepada Dia. Maka kita serongkali punya konsep yang begitu dangkal, menghakimi orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan Tuhan, lalu merasa sedang mewakili Tuhan. “Tuhan benci kamu maka aku pun benci kamu”, tapi Tuhan mengatakan “Aku tidak becni dia, justru Aku akan tegur kamu karena kamu benci dia”. Ini sebabnya di dalam bagian ini Tuhan Yesus bukan hanya memulihkan tapi juga menyentuh dengan cara menyentuh itulah Dia menyembuhkan orang ini, setelah ini orang itu sembuh. Setelah orang itu sembuh, Tuhan mengatakan “jangan lapor kepada orang lain”, ayat 14. Di bagian ini Tuhan Yesus mengatakan “kamu sekarang sudah sembuh, tapi jangan lupa ajaran Taurat. Penyakitmu bukan hanya penyakit kulit, tetapi simbol untuk penolakan. Kamu sudah mendapat anugerah menjadi simbol penolakan, kamu harus menyelesaikannya dengan datang kepada imam”.
Maka orang yang sudah sembuh dari kusta ini datang kepada imam dan menurut aturan Imamat dia harus membawa 2 ekor burung. Yang pertama akan disembelih oleh imam dan darahnya akan dimasukan dalam satu tempat tanah liat, lalu darah yang ada di dalam tempat tanah liat ini akan menjadi satu wadah, akan menjadi satu sarana untuk membaptis burung yang lain. Maka burung yang lain akan dicelupkan ke dalam darah. Lalu dengan keadaan berdarah, burung itu akan dilepaskan, terbang tinggi. Ini merupakan simbol dipulihkannya kembali orang Israel kepada Tuhan. Dan yang menjadi simbol itu adalah orang kusta, “setelah engkau memberikan persembahan ini, imam akan mendeklarasikan engkau bersih dan engkau sudah boleh kembali kepada komunitasmu yang sejati”. Maka ini adalah simbol yang sangat indah. Tuhan mengingatkan kepada orang kusta ini “kamu bukan hanya punya masalah penyakit, tapi kamu punya kerohanian yang harus dipulihkan, menjadi simbol untuk semua orang”. Maka siapa yang melihat orang kusta harusnya memberikan kepada dirinya satu refleksi “aku pun sedang berada di dalam pengasingan”. Maka ketika kita dipulihkan, kita ingat “sekarang saya tidak lagi diasingkan. Aku tidak lagi diasingkan dari Tuhan dan sesama”. Demikian juga kita tidak bisa mengatakan “aku dan Tuhan sudah pulih” tapi relasi kita di dalam komunitas belum. Ini yang dicontohkan dari orang kusta, setelah mereka tahir, mereka harus tunggu dulu sampai 7 hari tetap masih dalam pengasingan meskipun sudah boleh masuk kota. Setelah itu bawa lembu, bawa domba untuk menjadi korban yang boleh dimakan oleh imam. Setelah mereka persembahkan korban ini, maka mereka harus gunduli kepala mereka. Setelah itu memakai baju yang benar, bukan lagi baju compang-camping sebagai tanda kusta, dan mereka boleh kembali kepada masyarakat. Inilah pemulihan yang indah. Jangan lagi mengatakan “engkau adalah alat yang mau saya manfaatkan, berfungsilah sebagaimana harusnya”. Saudara kalau masih pakai pandangan ini sampai kapan pun tidak punya relasi yang benar. Tapi ketika Saudara mau belajar mengatakan “apa yang bisa aku perbuat bagimu?”, di sini ada pemulihan di dalam relasi. Saudara tidak lagi terasing dalam relasi. Mari kita belajar mempunyai keluasan hati untuk tidak lagi terasing, tetapi sungguh-sungguh hidup dalam cara yang Tuhan mau.
Ayat 15 mengatakan “kabar tentang Yesus makin jauh tersiar dan orang berbondong-bondong datang kepadaNya”,waktu orang dengar tentang kesembuhan langsung berbondong-bondong datang. Yang dimaksudkan dengan kesembuhan bukan hanya kesembuhan soal fisik, tetapi Tuhan Yesus sedang memberikan sesuatu yang jauh lebih dalam yaitu apa yang bisa memulihkan seseorang dalam relasi dengan sesama umat Tuhan. Kalau kita belajar seperti ini, kita akan mempunyai kelimpahan hidup yang Tuhan tawarkan. Hidup dalam komunitas di mana kita tidak lagi terasing, hidup dalam komunitas dimana kita mempunyai satu kelompok yang benar-benar cinta Tuhan dan dicintai Tuhan dan benar-benar kembali kepada Tuhan. Inilah yang Tuhan mau nyatakan dalam kisah penyembuhan orang sakit kusta. Mari kita mengingat diri kita sebagai orang-orang kasihan yang terus berada dalam pengasingan karena kebodohan kita. Kita bodoh lari dari Tuhan, kita bodoh mementingkan diri sendiri dalam relasi, akhirnya ini yang terjadi terus. Kiranya Tuhan menguatkan kita, memberikan kepada kita segala pengertian yang kita perlu untuk hidup damai dengan Tuhan dan sesama.
(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)