Tuhan begitu memberkati gerejanya dengan repertoir musik yang bernilai dan berkualitas, sekaligus dapat dinyanyikan bersama namun layak untuk memuliakan Tuhan. Begitu banyak harta karun yang ada di dalam buku nyanyian dan pujian yang ada di tangan kita, sayangnya banyak orang Kristen yang melupakannya, namun di luar gereja begitu dihormati dan dijunjung tinggi.
Lagu “What a Friend We Have in Jesus” diciptakan pada tahun 1855 oleh seorang pendeta baptis bernama Joseph Scriven. Begitu aneh untuk seorang yang secara pribadinya mengalami pergumulan hidup yang begitu besar dapat menciptakan himne yang indah dan intim kepada Tuhan. Waktu muda, sebuah peristiwa yang begitu menyedihkan hatinya terjadi pada dirinya secara berulang, yaitu calon istrinya tenggelam sehari sebelum mereka menikah. Tak putus asa, ia pun mencoba untuk menikah lagi, namun beberapa hari sebelum menikah tiba-tiba tunangannya jatuh sakit dan meninggal.
Mengalami kejadian tersebut, Joseph membulatkan diri untuk sepenuhnya bekerja di ladang Tuhan di Amerika dan Canada. Bekerja jauh dari kampung halamannya di Irlandia, ia mendapat kabar bahwa ibu joseph mengalami sakit di rumahnya. Mementingkan pekerjaan Tuhan di seberang lautan Joseph menuliskan sebuah syair “What a Friend We Have in Jesus” untuk menghibur hati ibunya, yang merupakan buah penghiburan yang diberikan Tuhan di dalam kehidupannya.
Lagu dan syair yang begitu indah dan berkualitas ini lalu terkubur di dalam kerendahhatian penciptanya selama lebih dari 20 tahun. Sampai seorang pengkotbah besar bernama D. L. Moody dan Ira D. Sankey mempopulerkannya dalam KKR mereka. Setelah itu musik ini tersebar ke seluruh dunia dan menjadi himne yang bukan menghibur seorang ibu yang sedang sakit, tetapi penghiburan seluruh dunia.
Seorang komposer indonesia, bernama Ismail Marzuki mendengar lagu ini dan menggubahnya menjadi lagu kebangsaan bernama “Ibu Pertiwi“, ia melihat esensi lagu ini yaitu penghiburan dan pengharapan di dalam penderitaan. Marzuki adalah seorang muslim, yang menciptakan lagu bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, namun ia mengambil sebuah lagu himne untuk digubah menjadi lagu nasional.
Dunia melihat gereja dan kekristenan memiliki harta karun seni yang luar biasa besar dan berharga, hal ini tidak akan tercipta tanpa kesadaran akan pengorbanan Kristus dan kasih-Nya kepada kita. Bagaimanakah dengan kita? Diperhadapkan dengan seni dan musik warisan pergumulan orang yang takut akan Tuhan, yang begitu berharga. Akankah kita menyanyikannya kepada Tuhan? Atau kita mencampakannya?