Di dalam ayat-ayat yang kita baca ada pengertian yang sangat kita kenal yaitu Allah yang memelihara dan melakukan segala sesuatu. Dia menopang kehidupan kita, Dia mengatur dan merancang segala sesuatu sehingga dalam segala hal Allah turut bekerja. Ini tema yang sangat dikenal oleh banyak orang Kristen. Ini juga menjadi tema yang kita jadikan kekuatan dalam keadaan sulit, dalam keadaan seperti apa pun, Allah turut bekerja. Tapi hal yang harus kita ketahui bahwa ayat ini merupakan kesimpulan dari pergumulan yang khas di Perjanjian Lama, yaitu pergumulan dari orang-orang saleh dalam keadaan yang penuh penderitaan. Ini menjawab pergumulan Ayub atau Yeremia ketika dia menuliskan kitab Ratapan. Dan ini merupakan salah satu bagian dari literatur Perjanjian Lama yaitu keadaan sulit yang dialami oleh orang-orang saleh, lalu orang-orang saleh memanjatkan segala ratapannya kepada Tuhan. Misalnya kita bisa baca ini di dalam Mazmur 88, salah satu contoh ratapan yang sangat pilu waktu kita baca. Kita juga bisa melihat Kitab Ratapan dari Yeremia, kita juga bisa melihat apa yang dituliskan dalam Kitab Ayub. Seluruh literatur ini menjadi satu gaya di dalam Perjanjian Lama yang dimiliki oleh orang-orang percaya ketika mereka berada dalam kesulitan. Tapi biasanya kita melihat kesulitan dan mengatakan “Tuhan, mengapa terjadi kesulitan? Bisakah Tuhan memberikan jawaban mengapa saya mengalami penderitaan? Biarlah Tuhan yang menolong saya melihat bagaimana cara menjalani jalan keluar dari kesulitan ini”. Tapi kalau kita membaca Yeremia, Ayub, maka kita tahu pergumulan mereka bukan sekedar ada kesulitan lalu ingin keluar, pergumulan mereka adalah pergumulan teologis. Mereka bergumul dalam hal yang sifatnya teologis, ketika mereka mengalami kesulitan yang besar, mereka mulai berpikir apakah Allah adil menimpakan kesulitan ini? Jawabannya adalah Allah pasti adil, tapi adilNya Allah dengan peristiwa yang mereka alami seperti tidak nyambung. Kalau mereka adalah orang fasik mereka orang jahat, maka hukuman Tuhan dalam bentuk penderitaan adalah wajar. Tapi kalau mereka orang benar dan mereka tidak mengalami hidup cemar seperti kebanyak orang fasik, mengapa kesulitan ini juga menimpa mereka? Jadi pertanyaan ini adalah pertanyaan yang kontennya teologis, siapakah Allah menjadi pertanyaan yang akan dijawab lewat pergumulan ini. Ini bukan hanya tentang “saya menderita, mengapa saya menderita?”, tapi pertanyaannya adalah “apakah Allah adil? Jika Allah adil, mengapa menimpakan ini kepada saya?”. Konteks paling terkenal dalam Perjanjian Lama untuk meratap adalah pembuangan. Di dalam pembuangan Israel ada orang-orang yang menyembah berhala, hidup penuh kecemaran, kalau Tuhan buang mereka, itu wajar. Tapi jangan lupa di pembuangan ada Daniel, Yehezkiel, dan Yeremia yang menderita di tengah kejahatan dari serangan bangsa-bangsa kafir, ada umat Tuhan yang saleh yang ikut menderita. Inilah konteks utama pergumulan di dalam Perjanjian Lama. Orang saleh akan bergumul sama seperti orang yang pikirannya dangkal. Semua orang bergumul, tapi mengapa kita bergumul, apa pertanyaan yang coba kita jawab itu menentukan perbedaan kualitas dari rohani kita. Ada yang bergumul kesulitan sedikit langsung mengeluh “Tuhan, seharusnya saya tidak mengalami kesulitan ini, harusnya saya tidak menderita, tolong Tuhan bereskan semua”. Tapi orang yang agung akan bergumul, “Tuhan, ketika Engkau menimpakan kesulitan, apakah ini hukuman? Jika ini adalah hukuman, apakah adil menimpakannya kepada saya?”. Maka Kitab Ayub memberikan contoh dari pergumulan seperti ini. Yang Ayub permasalahkan bukan mengapa dia menderita, tapi yang Ayub permasalahkan adalah apakah dosa dia sehingga dia menderita. Di sini kita tidak bisa menjawab memakai teologi yang tidak cocok dengan mengatakan “semua orang sudah berdosa, karena itu semua layak mendapatkan hukuman”. Tapi yang Ayub mau tekankan bukan karena semua orang berdosa maka layak mendapatkan hukuman, melainkan Allah yang adil adalah Allah yang tetap mau membenarkan orang pilihanNya. Ayub bukan orang suci, dia pasti orang berdosa, tetapi Tuhan membenarkan dia. Sama dengan Abraham, dia pasti orang yang berdosa, bagian dari budaya yang menyembah berhala, tapi Allah membenarkan dia. Kalau Allah yang benar membenarkan orang, salah satu karakter utama dari kata benar adalah adil, apakah adil Tuhan menimpakan hukuman kepada orang yang benar dengan hukuman yang sama yang Dia timpakan kepada orang fasik? Sehingga Ayub bertanya “apakah Allah adil, apakah saya bersalah?”, dari keduanya harus dipilih satu. “Allah adil dan saya bersalah atau saya tidak bersalah dan ada yang salah dengan Allah?”, Ayub dengan jujur bergumul. Dan Tuhan menghargai pergumulan demikian. Di dalam Mazmur 88, pemazmur juga bergumul “saya tahu kesulitan, saya melihat penderitaan, aniaya, teman-teman meninggalkan saya, dan hal-hal yang mengancam jiwa saya. Sepertinya teman yang saya alami hari demi hari hanya kegelapan”. Ini juga dipertanyakan oleh pemazmur, “jika aku orang benar dan aku dipanggil menjadi bagian dari umat, mengapa hal yang penuh damai dan sukacita seperti menjauh dari saya. Apakah ini hukuman?”, ini jadi pertanyaan yang coba dijawab.
Kita tahu apa yang terjadi di Kitab Ayub dan biasanya orang akan mengatakan “tidak perlu memikirkan tentang penderitaan Ayub, karena di bagian final Tuhan memulihkan Ayub. Bahkan banyak hal yang Tuhan lipat gandakan bagi Ayub. Jadi jangan khawatir penderitaan itu sementara, tapi bahagia yang besar itu ada di final”. Tapi masalahnya itu bukan yang ditanya Ayub. Ayub tidak tanya “apakah keadaan saya ini akan diperbaiki atau tidak?”, yang dia tanya adalah “keadaan saya sekarang ini karena hukuman atau bukan? Kalau bukan karena hukuman, mengapa ada seperti ini?”. Mengapa di dalam ciptaan Tuhan yang Dia desain bisa ada kesulitan, penderitaan, kesedihan, bahkan kematian, apakah Tuhan salah desain? Di kisah penciptaan di Kejadian, dikatakan Allah menciptakan langit dan bumi, dan Allah yang mencipta bukan hanya memberikan satu aktivitas penciptaan di awal, setelah seluruh ciptaan jadi berjalan sendiri di dalam prinsip yang sudah ditanamkan, bukan seperti itu. Allah yang mencipta juga Allah yang menopang, membawa seluruh ciptaan menuju keadaan yang sudah Dia rancang. Maka di dalam teologinya Perjanjian Lama tidak ada tempat untuk mengatakan kekacauan dan kesulitan yang terjadi di dalam dunia itu tidak ada kaitan dengan Allah, tidak ada sangkut paut dengan Tuhan. Kesulitan dan kekacauan yang terjadi itu karena intervensi setan, ini tidak ada dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama jauh lebih bahaya kalau mengatakan Tuhan cuma menguasai sebagian, dan sebagian lagi setan yang mengatur, itu jauh lebih rusak pengertiannya dari pada mengatakan “segala sesuatu yang terjadi didesain oleh Tuhan”. Apa masalah dengan mengatakan “Tuhan hanya mengatur sebagian, sebagian diatur dan dikacaukan oleh setan”? Masalah besar yang didapatkan adalah Allah tidak berdaulat. Dan kalau kita menyembah Allah yang tidak berdaulat berarti kita menyembah berhala, karena ini isu yang diangkat dalam Perjanjian Lama. Apa beda Allah dengan dewa bangsa-bangsa lain? Bedanya adalah Allah langit dan bumi, Pencipta segala sesuatu, Dia meletakan manusia untuk berkuasa atas binatang di darat, burung di udara dan ikan di laut. Manusia berkuasa atas binatang, bukan menyembah binatang. Itu sebabnya dalam Perjanjian Lama, tidak ada tempat bagi berhala karena Allah adalah Allah yang mengatur segala sesuatu, Dia berdaulat. Dan kata berdaulat bukan kuasa yang ditekankan, berdaulat identik dengan memelihara. Ketika Saudara mendengar Allah berdaulat, yang pertama muncul adalah kedaulatan karena power. Indonesia negara berdaulat karena berhasil mengusir penjajah, karena memerintah sendiri, tidak ada negara lain ikut campur, itu namanya berdaulat. Kita sering berpikir Allah berdaulat, sama dengan Allah mengatur semua, tidak ada intervensi, punya kekuatan untuk singkirkan musuh, tapi bukan itu. Berdaulat berarti Allah pelihara semuanya. Kalau Tuhan memelihara dan mengatur semuanya dengan detail, harusnya tidak ada tempat untuk penderitaan, kesulitan, penyakit, apalagi kematian, kecemaran dan dosa. Ini yang dalam tradisi Kristen menjadi satu tema yang namanya teodisi. Orang berusaha menjawab mengapa Allah yang mengatur semua dengan kuasa dan pengaturan yang detail atas segala sesuatu, mengizinkan adanya kejahatan, penderitaan, bahkan kematian. Apakah ini baik bagi Tuhan? Jika tidak baik, mengapa Tuhan memberikan hidup seperti ini? Dalam pengertian orang Yahudi di Perjanjian Lama, mereka memahami bahwa Allah memberi damai sejahtera, namun di sisi lain, Allah seperti membiarkan ada yang kacau terjadi di dalam dunia ini. Apakah Allah kita Allah keteraturan atau kekacauan? Keteraturan. Kalau begitu banyak hal yang sepertinya tidak nyambung, ada kekacauan di dalam ciptaanNya dan Allah bukan penyebab kekacauan. Kalau begitu mengapa ada kekacauan? Apakah Allah kurang kuat? Satu pertanyaan ditanyakan dalam dialog mengenai agama natural oleh David Hume. Dikatakan Allah mampu mengatur tapi Allah tidak mau mengatur, makanya ada kejahatan, penderitaan, penyakit, keadaan buruk. Atau Allah itu baik tapi Dia tidak mampu, Dia maunya membuat baik tapi ada kejahatan, ada keburukan, kekacauan, kematian. Jadi yang mana? Inilah yang ditanyakan David Hume, apakah Allah mampu tapi tidak baik atau Allah baik tapi tidak mampu? Orang Kristen mengatakan Allah baik dan Allah mampu. Kalau Allah baik dan mampu, dari mana kejahatan? Kalau Saudara membaca sejarah filsafat, sudah banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Ada yang mengatakan bahwa pengertian tentang yang baik dan jahat pun adalah sesuatu yang sifatnya progres, bukan sesuatu yang sifatnya foto. Kita tidak bisa melihat foto lalu mengatakan “ini jahat”, karena ada progres dan pada akhirnya terjadi kebaikan, kita bisa jawab itu. “Jangan khawatir, sekarang memang buruk, tapi nanti akan baik.” Tapi bagaimana dengan orang yang sedang mengalami keadaan gelap itu? Apakah kita bisa mengatakan kepada dia “jangan khawatir, nanti akan ada terang”. Yang menjadi permasalahan bagi orang-orang yang berada dalam keadaan kacau dan gelap adalah mereka ingin tahu dimana keadilan Allah? Kalau Allah adil, mengapa ini terjadi pada orang benar? “kalau saya bersalah, maka saya tidak akan komplain apa pun kepada Tuhan”, ini isu dari Kitab Ayub. Kadang-kadang orang baca Ayub dan mengatakan “saya ingin memberi tahu jawaban bagi permasalahan saya di dalam Kitab Ayub”. Tapi permasalahan kita bukan permasalahan yang digumulkan oleh Ayub. “Sama pak, saya dan Ayub sama-sama menderita”, tapi Ayub tidak sedang menanyakan penderitaan, Ayub sedang menanyakan apakah Allah adil, dimana keadilan Allah yang menimpakan hal ini.