Kita sudah membahas mengenai Taurat dan kefasikan orang-orang yang beragama. Kita sudah membahas bagaimana orang-orang yang mengatakan “jangan mencuri”, sendirinya mencuri, “jangan berzinah” sendirinya berzinah”. Dan kita sudah membahas konteks dari pencurian dan perzinahan ini adalah perampokan rumah berhala. Ada kelompok ekstrismis Yahudi yang bekerja sebagai gerombolan untuk membakar, menghancurkan bait-bait atau kuil-kuil dari agama lain. Mereka hancurkan patung-patung berhala, bahkan mereka mungkin membunuh imam-imam yang menyembah berhala itu dan mereka merampok harta di dalamnya. Lama-lama kelompok itu semakin besar dan akhirnya ditunggangi oleh orang-orang yang memang mau merampok. Mereka mau merampok tapi memakai alasan “kita melakukan pekerjaan kudus, kita mau hancurkan rumah berhala, kita mau bakar penyembah-penyembah berhala”, dan mereka menjadi perampok yang memakai kedok agama. Inilah konteks Paulus untuk menyindir orang Yahudi. Tentu tidak semua orang Yahudi seperti itu, tapi Paulus memunyai kebiasaan paling tidak di pasal 1 dan 2 untuk menyindir orang berdosa dengan memakai dosa paling besar, paling tidak dosa terbesar menurut pandangan umum. Dari zaman sebelum modern, yaitu zaman abad pertengahan atau pun zaman Alkitab, orang sering berargumen dengan memakai argumen yang diterima umum sebagai landasan. Seringkali orang-orang zaman itu, sampai pada zaman reformasi sebenarnya, memakai argumen seperti ini “kita sama-sama tahu bahwa ini adalah benar, maka saya berkata…”. Selalu harus ada pengetahuan yang dipercaya oleh kedua pihak, baru ada argumen lebih lanjut. Di dalam pasal pertama Paulus memakai argumen bahwa orang yang sangat berdosa, dia berdosa karena dia sudah meninggalkan Tuhan, dan karena dia sudah meninggalkan Tuhan maka menjadi orang yang secara seksual begitu rusak, melampiaskan hawa nafsu sehingga terjadi praktek homoseksualitas. Orang Yahudi pada waktu itu sama-sama tahu bahwa ini adalah dosa sangat besar. Terjadi di Kitab Kejadian, di Kota Sodom, juga terjadi di Kitab Hakim-hakim di sebuah kota di tanah Benyamin. Dari dua contoh kasus ini, orang-orang sama tahu bahwa penyimpangan seksual, homoseksualitas adalah dosa yang sangat besar. Maka Paulus memakai contoh ini baru dia berargumen “kamu semua sama berdosanya”, itu cara Paulus. Dia memakai contoh dosa paling besar setelah itu dia mengatakan “kamu pun tidak beda dengan mereka yang melakukan dosa ini”, itu sangat kena. Kalau dia hanya memakai contoh dosa-dosa kecil, agak sulit untuk membuat orang sadar bahwa dirinya berdosa. Seumpama saya mengatakan “anak saya pernah mencuri permen, sama seperti dia kamu pun berdosa”, Saudara tidak akan merasa tergerak “sama seperti anak bapak yang mencuri permen, lalu kenapa? Saya bisa bayar kembali permennya”. Tapi kalau Paulus mengatakan “sama seperti orang-orang ini penyembah berhala”, orang-orang Israel mengatakan “iya penyembah berhala, saya muak dengan mereka”. “Dan mereka begitu gawat hidupnya, sehingga mereka melakukan praktek homoseksual”, orang Yahudi semakin marah dan mengatakan “benar, ini memang dosa yang sangat besar”. Lalu Paulus mengatakan “tapi kamu juga sama, kamu pun pelanggar hukum Taurat”, ini kena. Demikian juga di pasal 2, Paulus mengatakan “kamu yang mengatakan jangan mencuri, kamu sendiri mencuri. Yang mengatakan jangan berzinah, kamu sendiri berzinah. Yang mengatakan jangan menyembah berhala, kamu sendiri merampok rumah berhala”. Ini Paulus katakan untuk mengingatkan kelompok-kelompok liar ini, gerombolan-gerombolan yang suka merampok bait atau kuil dewa lain, dan mereka melakukannya demi uang. Mereka dianggap kelompok penyembah berhala yaitu uang, dan mereka melakukan pencurian, perampokan, dan pembunuhan demi uang tapi pakai kedok agama, jahat sekali. Maka Paulus mengatakan “sama seperti mereka, kamu juga berdosa”, itu argumennya Paulus. Setelah Paulus mengatakan “kamu yang mengatakan jangan mencuri tapi kamu sendiri mencuri, jangan berzinah tapi kamu sendiri berzinah. Kamu yang mengatakan jangan menyembah berhala, kamu sendiri menyembah, merampok rumah berhala”.
1 of 6 »