Kant mengatakan manusia sudah dewasa, tidak dipengaruhi oleh apa pun, cara berpikirnya ditentukan sendiri. Tapi ini adalah satu konsep yang sebenarnya kekanak-kanakan. Orang dulu akan percaya bahwa manusia itu berpikir karena ada kuasa dan roh di luar dia. Tapi itu benar, dikuasai oleh roh, dewa, dan dikuasai oleh kuasa di luar manusia. Dan kuasa itu, roh-roh itu akan menguasai manusia, bukan merasuk, ada kerasukan tapi ada juga dipengaruhi. Cara Saudara berpikir akan dikuasai oleh kuasa di luar Saudara. Jadi saya punya kondisi ditentukan dari luar. Tapi ini tidak berarti saya tidak bertanggung jawab, karena tetap sayalah yang mengeksekusi pengaruh itu. Saya pikir ini bijakana penting bagi pengertian keadilan dari zaman kuno. Mengapa dulu yang percaya mereka dipengaruhi dari kuasa luar, tapi tetap menyatakan tindakanmu harus dihakimi? Karena mereka percaya apa yang mempengaruhi tidak bertanggung jawab, apa yang engkau ekspresikan itu yang akan dituntut pertanggung-jawabannya. Saudara bisa punya kecenderungan mencuri, tapi Saudara tidak boleh mencuri. Maka kalau dia melakukan, dia bersalah. Hal ini harus jelas, bahwa bagi orang kuno tindakan Saudara harus tetap dipertanggung-jawabkan meskipun mereka percaya ada banyak kekuatan yang mempengaruhi kita. Maka kita perlu belajar dari dunia kuno mengenai pengaruh dan tanggung jawab. Kita di zaman modern percaya individualisme “pengaruh itu datang dari diriku”, tapi begitu kita melakukan hal yang salah, kita lempar pengaruh keluar. Ini terjadi karena lingkungan atau ini terjadi karena kecenderungan dari dunia roh atau apa pun. Tapi herannya dalam dunia psikologi abad 20, trendnya berbelok kembali. Dunia psikologi percaya, terutama di dalam aliran psiko analisis, Freud mengajarkan bahwa kecenderungan kita dikuasai oleh hal-hal yang membentuk pribadi kita, yang tidak bisa mengerti dengan tuntas. Ada kekuatan di luar kita yang adalah bagian dari kita, yang masing-masing punya keunikan. Keunikan untuk memberikan tendensi marah, keunikan untuk memberikan tendensi tenang, dan lain-lain. Ada begitu banyak tendensi di dalam diri kita, sehingga kita sulit memahami siapa kita sebenarnya. Jadi kita ini sebenarnya berada di dalam keadaan dimana kita tidak mengerti mengapa kita bisa begini. Saya pikir ini adalah tema yang sangat menggelikan karena kembali lagi ke pengertian kuno. Maka sebelum kita menghina ide-ide kuno, harap kita ingat bahwa kecenderungan manusia untuk kembali ke ajaran yang lama itu besar sekali. Dengan pengertian itu Paulus mencoba membahasakan hidup oleh roh. Paulus ingin mengatakan bahwa kamu punya cara pikir dikuasai oleh sesuatu di luar kamu. Ada kuasa dosa dan maut, dan ada kuasa roh. Pikiran roh itu seperti apa, pikiran dosa dan maut itu seperti apa, ini yang Paulus mau bagikan. Tapi pertama-tama kita harus tahu dulu bahwa bagi orang kuno pikiran kita dipengaruhi dari luar dan Paulus mengatakan “bukan dewa-dewa yang mempengaruhi, tapi kuasa dari luar yaitu dosa dan maut, dan kuasa dari luar yaitu roh. Yang mana yang engkau pilih?”.

Sekarang kita masuk dalam bagian berikut yaitu cara berpikir dalam daging. Di ayat 5 dikatakan “mereka yang hidup di dalam daging memikirkan hal-hal yang dari daging”. Daging bukan fisik kita, kalau Saudara tahu daging itu hanya fisik, tidak ada maknanya mempelajari dengan pengertian itu. Yang dimaksudkan daging adalah cara hidup lama yang berpusat ke diri. Ketika orang berpusat ke diri, dia tidak mungkin hidup sebagai manusia. Manusia diciptakan untuk mengekspresikan diri keluar dan menerima ekspresi dari orang lain dari luar. Saudara dan saya akan menjadi manusia yang makin mengenal diri ketika Saudara berinteraksi dengan orang lain di luar diri Saudara. Saudara tidak mungkin menjadi bertumbuh jika Saudara tidak berinteraksi keluar. Jadi manusia adalah makhluk komunal, makhluk yang bersekutu, karena itu manusia perlu relasi. Dan keragaman relasi itu yang akan membentuk personalitas seseorang, manusia akan menjadi semakin utuh, makin limpah kemanusiaannya kalau dia berinteraksi dan berelasi dengan orang lain. Kita tidak bisa menganggap remeh hal ini, karena tanpa menganggap penting untuk berelasi dan berkomunikasi, Saudara akan semakin kehilangan kepribadian Saudara. Ketika manusia mengurung dirinya menjadi makhluk anti sosial pada waktu itu dia kehilangan kepribadiannya, dia tidak di-design untuk itu, dia harus berelasi keluar. Dan ini yang sebenarnya ditekankan oleh Taurat, Taurat mengharuskan kita berelasi keluar. Mana bagian dari hukum Taurat yang tidak dilakukan secara komunal? Ketika engkau mengalami apa, engkau harus menghindarkan diri terlebih dahulu dari ibadah, misalnya. Perempuan yang sedang datang bulan jangan beribadah dulu, itu ada kaitan komunalnya. Tapi aturan itu berkait dengan penerimaan kembali, saya tidak sempat jelaskan itu sekarang. Tapi intinya adalah ketika manusia dalam keadaan tidak tahir, baik laki-laki maupun perempuan, dua-dua ada bukan cuma perempuan, maka mereka tidak boleh dulu berada dalam kumpulan ibadah, mereka harus menyingkir dulu. Tapi tujuan dari perintah itu adalah ketika mereka sudah pulih, mereka boleh dibalikan, dan momen dikembalikan ini yang sebenarnya jadi perayaannya. Jadi peraturan yang berkaitan dengan fisik individu pun itu ada kaitan dengan komunitas. Manusia tidak diciptakan untuk hidup tersendiri, manusia harus berelasi. Peterson mengatakan manusia itu diciptakan untuk perang, bergumul, itu desainnya. Bukan perang fisik saja tapi perang batin juga. Yesus pun jadi manusia, Dia bergumul. Kalau kita mau bebas pergumulan karena tidak mau merasakan yang buruk, maka kita tidak akan merasakan yang baik juga. Jadi bahaya kalau Saudara menolak untuk meresikokan diri oleh karena mudah kapok karena perasaannya terlalu sensitif, lebih baik kita belajar untuk terluka untuk terus jalankan. Sehingga kita suatu saat akan menikmati senanganya berelasi dengan orang yang tepat, senangnya berelasi dengan orang yang baik. Manusia didesain untuk mengekspresikan diri keluar dan menerima ekspresi dari orang lain di dalam sebuah komunitas, itu yang akan membuat kita menjadi orang, kalau tidak kita akan menjadi batu. Relasi akan mempertumbuhkan kita sebagai manusia. Dan relasi itu akan membuat kita menjadi limpah karena bertemu dengan orang yang beragam. Maka kita akan dilatih untuk melihat keluar dari relasi yang diatur oleh Tuhan, itulah Taurat. Mengapa kamu tidak boleh menganggap bahwa hasil ladangmu sepenuhnya adalah milikmu? Karena Tuhan ingin melatih kita mengekspresikan diri keluar. Jadi kalau Saudara payah dalam hal perpuluhan, itu sudah dosa besar. Itu termasuk salah satu dosa yang membuat kita tidak bisa lepas dari keserakahan. Ketika orang tidak setia dengan perpuluhan, dia pasti serakah. Jangan mengatakan “saya tidak serakah”, pasti engkau serakah. Salah satu tanda orang itu penyembah mamon adalah dia tidak setia dalam hal perpuluhan. Saya punya ukuran simple dan ini berdasarkan pengalaman, orang yang gagal memberikan perpuluhan adalah orang yang serakah pada umumnya, orang yang cinta uang lebih dari apa pun. Itu sebabnya ketika Saudara diukur tentang kecintaan kepada Tuhan, ukuran pertama adalah perpuluhan dulu. Saya bilang setia dalam perpuluhan, saya tidak mengatakan Saudara harus mengorbankan kekurangan Saudara. Saudara sudah sulit makan, tapi mesti kasi ke gereja, bukan. Tapi perpuluhan, Tuhan akan cukupkan hidup kita lewat yang 90%, itu pasti. Tuhan atur perpuluhan di Taurat, sepersepuluh dari hasil ladangmu bukan milikmu. Mengapa Tuhan atur ini? Supaya engkau menjadi manusia yang tahu bagaimana berbagi dari miliknya yang memang dikhususkan untuk orang lain. Ini keindahan dari menjadi umat Tuhan. Dan Tuhan tidak mengatakan “kamu sebulan harus memberi berapa”. Tuhan mengatakan perpuluhan, jadi tergantung dari yang Saudara dapatkan. Saudara dapat besar, Saudara beri perpuluhan yang seimbang dengan yang Saudara dapat. Saudara dapat kurang, tetap sama, perpuluhan. Tidak ada perintah Tuhan yang terlalu berat, keserakahan kita yang membuat menjadi berat. Jadi Taurat mengatur supaya Saudara hidup dalam komunitas dengan berbagi. Tuhan mau ada saling memberi, komunitas manusia yang berinteraksi satu sama lain, memberi satu dengan yang lain, itu sangat diperlukan untuk kita sendiri bertumbuh menjadi manusia yang baik. Interaksi dengan orang adalah hal yang baik bagi kemanusiaan kita, tapi dosa akan mengubah itu, pola pikirnya berubah. Pola pikirnya adalah “kalau bukan saya yang perhatikan diri saya sendiri, lalu siapa lagi?”, ini pola pikir dosa. Alkitab mengatakan “jangan khawatir, yang memelihara kamu adalah Allah”. Yang membuat Tuhan paling marah ketika Israel keluar dari Mesir adalah ketika Israel tidak tahu bahwa Tuhan yang akan berperang bagi mereka. Mereka lihat orang yang tingginya 3 meter, langsung kaget. Tapi Tuhan sudah tunjukan “mengapa kamu takut kepada orang seperti itu? Aku yang akan berperang bagi kamu”. Maka Daud menjadi seorang yang membalikan ketakutan Israel dengan berperang melawan Goliat. Lalu dia berani mengatakan “saya mendatangi engkau dalam nama Tuhan”, ini kehebatan yang luar biasa, dia berani karena ada Tuhan. Lalu terbukti dia menang, seolah Tuhan ingin menghajar pembaca Taurat dan ketika mereka membaca Bilangan “bodoh sekali Israel, masakan mereka tidak tahu kalau Tuhan mampu memimpin berperang? Untung ada cerita Daud yang tahu Tuhan mampu memimpin berperang”. Tapi seharusnya kita tertegur dengan cerita itu, karena cerita Israel gagal perang, karena mereka takut berperang dengan orang Kanaan yang besar, itu harus menegur kita dengan mengatakan “mengapa kamu masih takut, padahal Tuhan yang akan berperang untuk kamu, Tuhan yang akan memimpin kamu”. Jadi yang memelihara kita itu Tuhan, bukan kita. Maka kita tidak bisa mengatakan “saya yang memelihara diri saya”. Saudara harus bertanggung jawab, itu pasti. Saudara harus punya perencanaan keuangan, itu pasti. Saudara harus bekerja giat, itu pasti. Tapi Tuhan yang memelihara. Maka kesembronoan adalah dosa, tidak benar. Tapi tidak percaya Allah akan mencukupkan, sebenarnya itu juga dosa. Kita diizinkan Tuhan untuk bergumul dan mengetahui “Akulah yang akan memelihara kamu”, dan ini yang membuat kita bersukacita untuk menjalani hidup bersama dengan Tuhan. Tuhan mengatur segala sesuatu dengan baik, supaya orang bisa menikmati hidup bagi orang lain. Tapi dosa membalikan dengan mengatakan “tidak bisa, kamu harus perhatikan dirimu, mengutamakan dirimu”. Saudara memperhatikan diri itu bukan sesuatu yang berdosa, Saudara memperhatikan tabungan untuk diri, bagaimana diri bisa mendapatkan kecukupan, bisa membeli rumah yang semampu Saudara, sebisa mungkin sebaik yang Saudara bisa beli, itu bukan masalah. Tapi yang menjadi isu itu bukan masalah “saya mencukupkan diri saya”, yang menjadi isu adalah waktu Saudara melakukan segala hal, kita tidak menyadari bahwa kita ini bagian dari komunitas dimana kita punya tugas komunal, punya aspek yang harus didedikasikan ke orang lain. Part itu yang harus jalan.

« 2 of 3 »