Kita mau tahu dulu apa yang Roma katakan tentang dosa yang mencengkeram itu. Apakah ini hanya sekedar bicara tentang ketidak-mampuan saya mengalahkan hawa nafsu yang busuk dan jelek itu? tentu itu termasuk. Tapi ada satu hal lain yang parah mencengkeram kita dan yang paling mencengkeram kita sudah Paulus jelaskan di pasal 5, yaitu kesatuan kita dengan Adam. Dosa Adam adalah dosa yang mencengkeram kita. Apa dosanya Adam? Ini perbandingan Adam dan Kristus yang jelas di pasal 5, kita sudah bahas, dosanya Adam adalah dia melihat dirinya yang utama. Dia mau jadi seperti Allah tanpa mengerti seperti apa atau siapa Allah, dengan makan buah pengetahuan yang baik dan jahat, dia bisa menjadi seperti Allah. Dia ingin menjadi yang utama. Maka kesalahan dari Adam, dalam kita baca dalam Kitab Kejadian, adalah kesalahan tentang doktrin Allah. Yang salah dari doktrin Allahnya Adam adalah Adam tidak mengerti siapa Allah, yang dia tahu Allah adalah tokoh eksklusif dari dia sehingga dia ingin menjadi sama. Bukankah ini sesuatu yang wajar, Saudara punya aspirasi menjadi sesuatu yang lebih hebat dari Saudara. Saudara lihat Tuhan dan mengatakan “Dia pribadi yang paling sempurna, saya ingin seperti Dia”. Saudara ingin seperti Dia, dan ular mengatakan “tidak perlu repot-repot, kamu silahkan makan apa yang Tuhan larang dan kamu akan menjadi seperti Tuhan”. Moltmann mengatakan error terbesarnya Adam adalah dia tidak tahu, sama sekali tidak tahu siapa itu Allah. Dia tidak tahu bahwa menjadi Allah menuntut dia untuk berkorban lebih dari pada dia menjadi manusia. Kita semua tidak kenal Tuhan, karena kita tidak tahu seberapa rela Tuhan menghancurkan diriNya untuk ciptaan, kita tidak tahu ini. Adam hanya tahu posisi Tuhan itu posisi enak, dia tidak tahu Tuhan rela menghancurkan diri untuk ciptaan. Adam tidak pernah tahu bahwa Allah akan mengorbankan AnakNya yang tunggal menjadi manusia, mati di kayu salib. Adam tidak pernah tahu bahwa Allah adalah Pribadi yang rela kehilangan seluruh reputasi demi menyatakan cinta kepada dunia. Ini tidak diketahui oleh Adam. Adam hanya tahu ada posisi enak yaitu Tuhan. Dan kita seringkali memahami Tuhan dengan cara yang salah, separuh, mirip dengan tradisi Anselm. “Tuhan adalah yang paling tinggi, yang pikiran kita bisa pikirkan”. Tapi Luther tantang “jangan hanya itu, Tuhan juga adalah yang paling rendah, yang pikiran kita pun tidak mau menjelajahi”. Tuhan rela berada di tempat yang bahkan kita tidak mau berada. Tidak ada yang mau di atas kayu salib. Itu sebabnya di dalam buku Our Program, Abraham Kuyper membandingkan Revolusi Perancis dengan Kekristenan. Revolusi Perancis tidak tahu bahwa yang pantas menjadi pemimpin hanya Tuhan. Mereka menggantikan satu model diktator dengan model diktator yang lain. Ini erornya manusia, manusia berpikir “kalau saya dapat kesempatan menjadi Tuhan, menjadi berkuasa, saya bisa menjalankannya”, tidak bisa. Di buku itu menarik sekali, Kuyper mengatakan bahwa manusia tidak bisa berotoritas atas pensilnya, tidak bisa berotoritas atas bukunya. Manusia bisa klaim “saya pencipta buku”. Tapi Kuyper mengatakan Allah adalah yang memastikan ciptaanNya menjadi sempurna. Maka kalau Dia menguasai pikiran kita, akan menjadi sempurna. Kalau Dia menjadi yang berotoritas, berdaulat, semua akan baik, ini tidak bisa digantikan. Saudara tidak bisa menggantikan Tuhan karena hanya Dia yang bisa membuat baik. Perhatikan kalimat Kuyper “hanya orang Kristen yang bisa membuat baik”, itu omong kosong. Dia mengatakan “hanya Tuhan yang bisa membuat baik”. Itu sebabnya dia menekankan kelangsungan Tuhan dan ciptaan, tidak ada mediasi. Tuhan berdaulat penuh atas setiap aspek, tidak ada mediasi, ini penting dipahami dari pikiran Kuyper. Kalau Saudara mau mengerti siapa Tuhan, Saudara mesti tahu satu hal Dialah yang berdaulat, Dia langsung menguasai dan kuasa Dia membuat yang dikuasai menjadi bangkit. Dia pamer kuasa dengan mengatakan “kerelaanKu berkorban akan memulihkan kamu”. Kerelaan Tuhan menjadi kosong akan memulihkan kamu. Kita terus berpikir tentang power lalu kita kenakan power ke Tuhan, mengapa Tuhan berkuasa? “karena Dia lebih hebat dari yang lain”, itu yang kita pahami. Mengapa Adam tidak bisa menjadi Allah? Karena Adam waktu ingin menjadi Allah, menunjukan sifatnya yang mementingkan diri, dan orang yang mementingkan diri tidak mungkin berkorban. Kesalahan Adam memahami Tuhan adalah dia tidak tahu kalau Tuhan rela mengosongkan diri, dia tidak tahu Tuhan menghancurkan reputasinya demi manusia. Adam adalah pencari reputasi, tapi Tuhan mengatakan “kamu tidak mengerti Aku, Aku justru kosongkan diri”. Saat itu Adam belum tahu, tapi Petrus, Yakobus, Yohanes, kita orang Kristen tahu itu. Allah rela di atas kayu salib, ini yang manusia tidak mengerti. Maka ketika Adam mau menjadi reputasi tinggi, mau menjadi seperti Allah, waktu itu dia masuk ke dalam dosa yang mencengkeram, yang tidak bisa diubah oleh apa pun. Dosa yang mencengkeram dia dan juga kita, yaitu dosa menjadikan diri sebagai yang utama, lalu membuat tindakan apa pun itu menjadi tindakan yang berfungsi mengangkat reputasi, apa pun itu. Moltmann pernah mengatakan di dalam The Crucified God, martir pun bisa menjadi reputasi. “Aku rela mati bagi Tuhan”, supaya namanya bisa dikenang. Tapi martir yang sejati tidak pernah pikirkan ini. Martir yang sejati adalah yang takut dan bergumul, dan memutuskan “kalau saya harus mati, biarlah mati’, mereka tidak pernah pikir efeknya nanti. Mereka tidak sedang membangun patung heroik yang besar. Mereka bukan pamer kepahlawanan, mereka cuma ingin setia, karena mereka pikir tidak ada cara lain untuk mencintai Tuhan selain setia. Polikarpus sampai akhir hayatnya tidak pernah mengatakan “aku berani mati”, dia minta dibebaskan, dia minta kalau bisa diampuni. Tapi kalau syarat pengampunannya adalah mengkhianati Yesus, dia mengatakan “kalau begitu saya harus mati”. Jadi tidak ada jiwa mau membangun patung marble. Manusia bukan perfect yang akan menjadikan dirinya patung yang tanpa cacat, seperti patung dari tradisi Yunani klasik. Demikian juga di dalam teologi, kita tidak jadi orang yang berusaha pamerkan betapa mulianya kita, bahkan di dalam martir. Para martir bukan tokoh yang paling hebat, meskipun akhirnya dihargai oleh gereja, tapi mereka tidak pernah punya ide itu. Mereka tetap takut dan tidak ada cara lain untuk membalas cinta Tuhan selain setia. Cuma untuk menyatakan cinta kepada Tuhan, dan itu tujuan Taurat. Kamu mau menunjukan cintamu kepada Tuhan dan sesama? Jalani Taurat. Jalani kesetiaan apa pun resikonya. Bukan karena kita menjadi orang yang berani atau orang yang menunjukan kehebatan kita untuk dicatat dari generasi ke generasi. Maka Paulus mengingatkan, “maukah kamu yang sudah selamat ini, bebas dari cengkeraman dosa?”. Yang pertama tentu harus tahu dulu apa cengkeraman dosa. Cengkeraman dosa adalah reputasi yang terus-menerus kita kejar, itu salah satunya. Ini merusak kita sebagai masyarakat juga. Intinya Paulus ingin mengatakan cengkeraman dosa yang paling besar adalah diri. Diri hidup untuk diri, diri ingin pamer diri, diri ingin tekan orang lain demi diri, ini problem mendunia. Jadi Paulus mengatakan ini namanya kehidupan duniawi, ini namanya kedagingan. Saudara harus pahami waktu Paulus mengatakan kedagingan, itu tidak ada kaitan dengan tubuh. Paulus mengatakan kedagingan berarti segala sesuatu yang bisa ditampilkan keluar itu menjadi tujuan utama hidup orang-orang di dunia ini, segala sesuatu yang bisa dilihat dunia.

Maka Martin Luther menangkap dengan tepat tentang teologia salib. Dia mengatakan teolog sejati adalah teolog yang mencari hal-hal tersembunyi dari Tuhan, bukan mencari hal-hal yang dipamerkan. Tapi Moltmann mengatakan kalau kamu mau menjadi Kristen, jangan lupa lambang utamanya salib. Dan salib itu adalah ketiadaan reputasi. Yesus dipaku di kayu salib, reputasi apa yang bisa Dia bangun? Semua kehebatan Dia itu hancur di salib. Dia pernah membangkitkan orang yang mati, Dia celikan orang buta, Dia punya ribuan pengikut, Dia pernah memberi makan 5.000 orang laki-laki, bukankah ini reputasi yang dibangun dengan luar biasa capek dan hebat? Tapi itu semua runtuh ketika Dia disalib. Saudara mau berargumen dengan orang Yahudi, pasti kalah. Injil Yohanes membagikan ini secara kontras sekali, setelah Yesus membangkitkan Lazarus, peristiwa berikutnya adalah Dia mati. Yesus membangkitkan Lazarus, tapi Dia tidak sanggup menolong diriNya? Dan kematian Yesus bukan kematian yang terpaksa, Dia bukan gagal, Dia bukan orang yang tidak punya pilihan, Dia sengaja pergi untuk mati. Salib adalah tujuan Dia. Kehancuran reputasi adalah tujuan Dia. Sesuatu yang kita tidak pernah mengerti, karena seumur hidup kita membangun reputasi. Kehancuran reputasi Allah juga yang Dia kejar di atas kayu salib, karena tidak ada orang dalam pikiran yang beres mau punya Allah yang ternyata habis di kayu salib pekerjaanNya. Apa yang hebat dari Allah kita kalau salib menjadi tujuanNya? Maka dalam pandangan Paulus, Allahnya orang Kristen sulit dimengerti oleh orang Yahudi. Saya tidak bisa terima Allah yang pekerjaan utamanya adalah salib. Dan Moltmann mengingatkan banyak orang Kristen tidak mengerti betapa hinanya salib, kecuali dia melihat salib sebagai penghancur reputasi. Apakah Saudara mau mengaitkan diri dengan sesuatu yang berpotensi membuat semua reputasi hancur? Itu salib. Sekarang kita tidak punya pengertian itu tentang salib, karena salib sudah sangat mulia. Pujian-pujian yang agung adalah tentang salib, karya yang paling besar adalah tentang salib, puisi yang paling indah adalah tentang salib, teologi yang paling populer, ironisnya adalah teologi salib. Jadi salib seperti kehilangan maknanya, karena sekarang orang sudah melihat mulianya salib. Kekristenan sudah mengubah itu. Yang tadinya lambang kematian, sekarang menjadi lambang kehidupan. Yang tadinya melambangkan kehancuran reputasi, sekarang adalah identitas orang Kristen. Kita mungkin sulit memahami salib sampai kita menafsirkan salib sebagai penghancur reputasi. Mari kita pikir hal apa yang paling ingin kita bangun dalam hidup kita, hal apa yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup untuk diri? Lalu Saudara pikirkan sesuatu yang bisa hancurkan itu, itulah salib. Salib adalah yang paling bisa hancurkan apa pun yang Saudara inginkan untuk diri dalam hidup Saudara. Maka sangat sulit untuk memegang salib, sangat sulit untuk tidak lari. Kita tidak mengerti mengapa murid-murid lari, kita hanya tahu mencibir. Ada murid yang sampai telanjang dan lari, itu memalukan. Murid-murid tidak mengerti mengikuti Yesus, bukan, Saudara dan saya yang tidak mengerti salib. Andaikan kita mengerti betapa menghancurkannya reputasi salib itu, Saudara akan lari bersama murid-murid yang lain. Lari dari salib adalah reaksi yang umum pada saat itu. Dan Yesus dengan unik mengatakan “kesanalah Aku hendak pergi, ke salib”. Salib menjadi identitas utama. Maka saya mengatakan orang Kristen punya lambang salib, bukan kubur kosong. Padahal kubur kosong akan sangat membantu kita dalam penginjilan. Tapi herannya Paulus tidak mengatakan “aku pergi untuk memberitakan Kristus yang bangkit”, di Korintus, dia mengatakan “aku pergi memberitakan Kristus yang tersalib. Bagi orang Yahudi sebuah batu sandungan, bagi orang Yunani, suatu kebodohan. “Tapi itu yang aku beritakan, pemberitaan tentang salib”, kata Paulus. Jadi ini yang ditekankan dalam Roma 6. Engkau tahu apa yang membuat engkau terperangkap dalam dosa, yaitu cengkeraman, engkau budaknya.

« 3 of 4 »