(Filipi 3: 4-14)
Sebelumnya kita sudah membahas kematian dan kebangkitan Kristus membuat kita yang tadinya seteru sekarang menjadi anak karena apa yang seharusnya menjadi nasib kita atau keadaan kita karena kita seteru, itu dipikul oleh Kritus. Apa yang seharusnya menjadi keadaan Kristus karena Dia Anak, itu diberikan kepada kita. Inilah konsep pembenaran oleh iman yang menjadi pengertian pertama yang kita bahas mengenai kematian dan kebangkitan Kristus. Tapi ini bukan satu-satunya pengertian yang Paulus miliki dengan limpah dalam surat-suratnya. Kalau kita sangat reduktif berpikir tentang kematian, berarti dosa dihapus, kebangkitan berarti kita mendapat pembenaran dan diselamatkan, maka kita akan sulit melihat kelimpahan yang lain dari surat-surat Paulus.

Maka berikutnya Paulus mengidentikan kematian Kristus sama dengan kematian hidup lama kita. Ini satu pemaparan, salah satu cara memparalelkan yang sangat unik, Yesus mati demikian juga saya yang lama. Lalu Yesus bangkit, memastikan bahwa saya mempunyai pengharapan kemenangan di dalam hidup yang baru. Dia bangkit duduk di sebelah kanan Allah yang mulia dan Dia sebagai Anak memastikan tempat kita sebagai anak-anak Tuhan juga, ini pengertian kedua yang kita bahas. Lalu kita membahas pengertian kematian dan kebangkitan Kristus yang Paulus identikan dengan perjamuan dalam 1 Korintus 11, ini identik dengan pernyataan pembenaran yang Tuhan berikan tiap hari secara baru. Tiap hari kita menerima anugerah itu, ini dikatakan oleh Yohanes Calvin dalam buku ke-4 Institutio, mengenai Perjamuan Kudus. Bagi Paulus kematian dan kebangkitan Kristus yang sudah terjadi 2000 tahun yang lalu, itu secara baru terus diaplikasikan kepada kita oleh Roh Kudus. Sekarang kita akan melihat yang ke-4 di dalam Filipi. Dan konteks di Filipi ini sangat unik karena di dalam jemaat Filipi ada orang-orang yang memperebutkan pengaruh, ada orang yang mau hidup dengan cara yang sama orang Yahudi dulu hidup. Mereka mau menjadi identik karena ada pengertian yang sebenarnya tidak sama dengan yang diajarkan para rasul, tapi mulai muncul ajaran yang mengatakan “kalau Yesus adalah orang Yahudi, kalau Kekristenan adalah penggenapan janji Tuhan kepada Abraham, Ishak dan Yakub, maka sebenarnya engkau harus hidup dengan cara yang sama dengan tradisi orang Yahudi. Itu sebabnya orang Kristen yang bukan Yahudi mulai ragu “benarkah saya benar-benar umat Tuhan? Atau saya masih kurang diterima sebagai umat Tuhan karena saya belum sunat. Karena saya belum menjalankan apa yang Tuhan perintahkan di dalam tradisi Yahudi”. Ini yang dengan tegas ditentang oleh Paulus. Paulus mengingatkan untuk menjadi Kristen, untuk menjadi umat Tuhan jalannya adalah melalui Kristus. Kristuslah yang membawa kita menjadi bagian dari tubuhNya, menjadi bagian dari umat Tuhan, menjadi bagian dari milik Allah sendiri. Bukan karena kita menjalankan sesuatu atau hidup dalam tradisi tertentu.

Maka Paulus menjelaskan kepada jemaat Filipi “kalau engkau mau hidup dengan cara Yahudi, aku yang paling Yahudi dari semua”. Paulus sedang menyatakan bahwa hidupnya yang lama adalah hidup yang diidam-idamkan oleh para pemimpin Yahudi. Dia menyatakan dia adalah keturunan Benyamin, dan salah satu kebanggaan keturunan Benyamin adalah bahwa dari suku inilah Tuhan bangkitkan raja Israel yang pertama. Maka puji-pujian perang mereka tidak pernah berubah generasi demi generasi yaitu “majulah hai Benyamin, majulah hai raja Israel”. Ini menjadi kebanggaan bagi orang-orang yang hidup, meskipun mereka hidup di dalam suku yang kecil yaitu Benyamin, tetapi mereka memiliki kemuliaan, raja pertama Israel adalah dari mereka. Lalu dalam ayat 5 dikatakan “aku orang Ibrani asli”, Ibrani asli tidak ada kaitan dengan keturunan murni, Ibrani asli artinya orang yang hidup dengan cara Yahudi. Waktu Yesus melihat Natanel, Yesus mengatakan “engkau adalah Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya”. Ini sedang menyatakan bahwa Paulus adalah orang Israel sejati. Dia Israel sejati identitas dan Israel sejati secara gaya hidupnya. Maka dia bukan Israel yang hanya mewarisi Israel hanya karena keturunan Israel tetapi yang tidak hidup dengan cara yang sama dengan Israel sejati hidup. Maka ini sebenarnya pujian yang tinggi “kamulah Israel yang sejati, engkau ada orang Yahudi yang benar-benar Yahudi”. Lalu dikatakan dia adalah Ahli Taurat di dalam golongan Farisi. Golongan Farisi adalah golongan yang mau memurnikan kembali orang Yahudi yang tradisinya mulai goyah karena dipengaruhi oleh orang-orang Helenis. Orang-orang Yunani menyebarkan pengaruhnya dan mulai banyak orang Yahudi goyah, lalu mulai adopsi budaya-budaya luar. Orang Farisi dengan tegas mengatakan “tidak, kami punya tradisi sendiri. Kami umat Tuhan, kami harus hidup dengan cara yang Tuhan mau”. Dan menjadi Farisi itu sangat ketat dan keras. Jangan bilang orang lain yang rajin belajar itu seperti orang Farisi, karena saya yakin di seluruh GRII tidak ada satu atau belum ada satu yang layak dipanggil orang Farisi. Orang Farisi hafal seluruh Taurat sampai benar-benar hafal. Orang Farisi tidak tafsirkan Taurat berdasarkan kemampuan mereka sendiri, mereka harus mengambil tradisi yang ada. Dan mereka menafsirkan, menghafalkan tafsiran-tafsiran dari tradisi yang begitu besar dan dengan giat menjalankan hidup yang sesuai dengan Taurat. Itu sebabnya kata Farisi adalah kata yang mulia, tidak sembarang orang bisa disebut dengan Farisi. Mereka tidak bersalah dalam hal itu, bahkan mereka tidak bersalah dalam tindakan hidup yang benar. Mereka bersalah waktu mereka mulai anggap rendah orang lain. Kami bangga dengan identitas kami sebagai orang Yahudi”, ini yang membuat mereka populer di kalangan masyarakat. Paulus mengatakan “hai orang Filipi, engkau ingin coba hidup seperti orang Farisi hidup? Saya sudah melakukan itu. Engkau mau lakukan? Belajar baik-baik, ikuti tradisi seketat mungkin, kerjakan semua yang dituntut tradisi rabi dari dulu sampai sekarang. Lalu ketika engkau jalankan, engkau ingat baik-baik bahwa saya sudah lalui”.

Maka Paulus menyatakan bahwa apa yang dulu dianggap kemuliaan, sekarang dianggap sampah. Inilah cara Paulus untuk membandingkan hidup yang baru dia miliki dengan yang lama. Dia mengatakan “apa yang dulu saya lakukan, saya sangat hebat dalam melakukannya. Inilah yang ada, maka Paulus mengatakan “tahu tidak, yang kamu cari itu sampah. Saya dari dulu menganggap itu hanya sampah, tidak penting, yang penting bagiku sekarang Kristus, yang lama ku anggap sampah”. Inilah yang dilakukan Paulus, dia buang yang lama itu tidak berarti, padahal yang dia buang dikejar-kejar oleh seluruh orang Filipi pada waktu itu. Banyak orang membuang masa lalu, tapi masa lalunya memang sampah. Tapi ada orang-orang tertentu yang mengatakan “yang dulu saya anggap mulia, saya anggap tidak mulia lagi. Yang dulu diinginkan semua orang, sekarang saya anggap sebagai sesuatu yang tidak penting lagi”. Maka Paulus mengatakan “aku menganggap semuanya sampah, yang aku inginkan sekarang adalah untuk mengenal Kristus, kuasa kebangkitanNya. Dan sebelum mengalami kuasa kebangkitanNya, aku ingin tahu dulu bagaimana menjadi satu dengan kematianNya”. Maka di sinilah pengertian yang makin dalam kita bahas tentang pengertian konsep bersatu dengan kematian Kristus, bersatu dengan kebangkitanNya. Ini merupakan ajaran yang sangat sulit kita mengerti dari Paulus, bukan karena ajaran ini rumit secara kata-kata. Ajaran ini mudah dimengerti secara bahasa, tetapi sulit dimengerti secara konsep. Paulus mengatakan “aku rindu menjadi satu dengan Kristus, satu di dalam kematian, satu di dalam kebangkitan”, bagaimana caranya? Kita hidup sekarang, Kristus mati 2.000 tahun yang lalu, bagaimana menjadi satu dengan Kristus yang sudah mati ini? Bagi orang Yahudi, mengenal Tuhan itu bukan dari otak, mengenal Tuhan adalah lewat menjalani hidup yang Tuhan mau, baru kita makin kenal siapa Tuhan. Bagaimana mungkin kenal Tuhan? Apakah mengenal Tuhan dengan kalimat-kalimat pengertian yang masuk di dalam otak? Tidak. Apakah kenal Tuhan dengan mengikuti aturan-aturan tanpa mengaitkan aturan itu dengan Tuhan? Juga tidak. Bagaimana aku bisa kenal Tuhan? Bagi orang Yahudi yang mempunyai iman sejati, dia mengatakan “satu-satunya cara aku makin bisa mengenal Tuhan adalah kalau aku “menjalani hidupNya Tuhan”. Bagaimana bisa menjalani hidupNya Tuhan? Maksudnya adalah kita menjalani sesuai dengan apa yang Dia Firmankan. Inilah aspek yang luar biasa dari kehidupan orang Yahudi “aku mau kenal Tuhan, jalani hidup dengan cara yang hikmat dan penuh kebenaran dan aku akan kenal Tuhan”. Maka mereka mau mencicipi seperti apa mengenal Tuhan itu, caranya adalah hidup dengan cara yang Tuhan mau. Jalani hidup dalam kekudusan, jalani hidup dalam moralitas yang baik, jalani di dalam kecintaan kepada Tuhan dan sesama, ini membuat pelan-pelan makin mengenal Tuhan.

Ada orang bertanya bagaimana kenal Tuhan? Harus berbuat apa untuk kenal Tuhan? Kadang-kadang jawabannya “untuk kenal Tuhan, dengar khotbah yang bagus-bagus. Kalau sudah dengar khotbah bagus pasti lumayan kenal Tuhan”. Tapi saya katakan dengar khotbah itu adalah separuh bagian, separuh bagian lagi adalah saya mengikuti, “waktu aku sudah jalani baru aku mengerti Tuhan itu seperti ini”. Saudara tidak akan tahu bagaimana kehidupan nelayan kalau Saudara tidak melaut. Waktu saya jalani langkah demi langkah saya akan mempunyai sedikit pengertian “ternyata begini, seperti inikah yang Tuhan mau?”, maka menjadi mengenal Tuhan. Inilah yang ada pada Paulus, mengenal Kristus itu yang aku mau”. Dan jalan yang Kristus jalani ternyata adalah jalan menuju salib. Maka Paulus mengatakan “kalau begitu yang aku rindukan adalah menjadi satu dengan kematianNya”. Karena kematian adalah sasaran akhir dari kehidupan Kristus. Waku ada di dunia saya mau ikut, mau tahu apa yang Kristus jalani dan ternyata karena Kristus jalan menuju salib, aku pun akan jalan menuju salib. Ini pengertian yang dalamnya bukan main. Paulus bilang “yang dulu saya anggap penting, sekarang tidak penting lagi. Yang penting adalah berjalan menuju salib, berjalan menuju kematian, berjalan untuk mengabaikan diri dan mementingkan Tuhan”. Orang tidak akan mengenal Kristus, kalau terus berpusat pada diri.

Paulus mengatakan engkau yang ada dalam dunia, engkau akan mengatakan kematian merupakan satu bagian akhir di mana kita habis. Tetapi siapa di dalam Kristus mengetahui bahwa kematian merupakan sasaran yang mau dicapai oleh Kristus. Maka Paulus sedang mengatakan “kalau saya ingin memahami jalan hidup, maka saya harus menjadi satu dengan kematian Kristus, karena Kristus datang ke dunia untuk menggenapi kehendak Allah sampai mati”. Apakah hanya Kristus? Paulus mengatakan “tidak, tetapi semua orang di dalam Kristus harus mempunyai sasaran yang sama yaitu aku ingin menggenapi panggilan Tuhan sampai mati”. Berarti kematian menjadi tujuan akhir, kematian menjadi sasaran akhir terus yang saya mau kejar dalam melayani Tuhan. Tuhan mau saya lakukan apa, saya kerjakan, sampai akhirnya saya mencapai titik itu. Maka perbedaan orang Kristen dan bukan Kristen, bukan pada kita mau mati atau tidak, semua pasti mati. Tapi perbedaannya adalah bagaimana kita melihat kematian. Waktu Paulus mengatakan “aku tidak menganggap aku sudah mencpai kesempurnaan pengenalan akan Tuhan”. Karena untuk mengenal Kristus harus jalani hidupNya Kristus dan jalan hidup Kristus adalah jalan menuju salib dan mati. Paulus mengatakan “untuk jalani hidup, saya harus jalani sampai mati baru bisa mengatakan aku sudah kenal Kristus”. Maka dia mengatakan “aku rindu menjadi satu dengan kematian Kristus, waktu aku mati di dalam pengenalan di dalam Kristus, aku mencapai apa yang Kristus lakukan waktu mati di kayu salib”. Ini teologi kematian paling agung, paling besar, paling penuh kemenangan dan paling indah yang pernah didengar.Saudara tidak setuju ini, akan tetap mati. Tapi Paulus memberikan pandangan bagaimana melihat kematian. Bahkan dia mengatakan di bagian lain “sebentar lagi aku akan mengakhiri pertandingan dan tersedia mahkota bagiku”. Menurut Saudara mahkota itu apa? Ada yang mengatakan mahkota itu emas dan berliannya ditaruh di sorga. Kalau Saudara rajin pelayanan, berliannya tambah banyak, rajin KKR Regional berliannya tambah lagi, rajin ikut humas berliannya tambah banyak lagi. Tapi kalau malas, berliannya dikurangi, pahalanya sedikit. Benarkah di sorga nanti diberi mahkota? Alkitab mengatakan kalau pun diberi itu diberi untuk dilemparkan ke kaki Kristus. Jadi Saudara dapat mahkota hanya untuk dilihat sebentar, begitu dilihat kurang mulia dibandingkan kemuliaan Kristus, langsung dibuang ke kaki Kristus, “aku tidak layak terima kemuliaan apa pun”, itu nanti di sorga. Jadi sangat aneh kalau kita masuk sorga dan minta pahala. Itu konsep yang salah tentang sorga.

Waktu Paulus mengatakan “mahkota sudah tersedia” itu bukan mahkota yang ditaruh di kepala, maksud dia adalah kematian. Ini tema yang mengerikan. Saudara mau berteriak seperti Paulus? “sekarang tersedia mahkota”, apa mahkotanya? Kematian. Paulus di dalam 2 Korintus mengatakan “darahku mulai tercurah dan aku sekarang sudah garis akhir, sekarang tersedia mahkota bagi ku”. Bagi Paulus mahkota itu kematian, karena dia melihat kematian itu garis akhir pelayanan dia. Kalau kita sampai di garis akhir dalam iman kepada Yesus Kristus, itu kemenangan. Sampai garis akhir dimana kita akhirnya boleh beristirahat dari jerih lelah kita, itulah kemenangan. Karena Kristus pun lakukan itu, Dia hidup di dalam dunia bukan untuk memperpanjang hidup, Dia hidup di dalam dunia untuk setia sampai mati. Itu sebabnya kalau Kierkegaard menulis Sickness Unto Death, sakit yang menuju kematian, itu milik orang dunia. Milik orang Kristen adalah faithfull unto death, setia sampai mati dan ketika kematian tiba di situ lah mahkota kita. Ini yang Tuhan mau nyatakan melalui Paulus. Paulus mengatakan makna kematian Kristus adalah teladan bagiku untuk melihat hidupku. Hidupku aku jalani sampai nanti aku mengalami kematianku dan disitulah aku mengalami mahkota tersedia. Bukan pada mahkota yang akan diberikan nanti, tapi pada titik akhir hidup dimana aku dengan setia menjalaninya bagi Tuhan. Maka yang Paulus sedang bagikan adalah apakah kita setia pada panggilan kita? Yesus setia pada panggilanNya sebagai Wakil dari seluruh umat manusia, menjalani dunia dengan ketaatan dan menjalaninya sampai mati. Kita pun diperintahkan Tuhan untuk mengerjakan hal yang sama, jalani sampai mati. Kita hidup bukan untuk memperpanjang hidup, kita hidup bukan untuk membuat hidup sedikit lebih panjang, tidak ada yang bisa melakukan itu. Uang Saudara tidak bisa membuat hidup Saudara bertambah. Pangkat Saudara juga tidak bisa membuat hidup Saudara bertambah. Saudara kerjakan apa pun, mati ya tetap mati. Masalahnya adalah yang saya lihat di dalam kematian itu apa. Apakah kita menjadikan kematian itu sebagai satu kemuliaan “aku sudah mengakhiri hidup dengan penuh kemenangan”. Atau kita sama dengan dunia yang mengatakan “mengapa saya harus mati? saya mesti meninggalkan semuanya ini, kasihan sekali saya”. Karena itu Luther mengingatkan sebelum kita dipanggil biarlah kita menjadi berkat sampai saat kematian, biar kalimat terakhir kita pun menjadi kekuatan yang luar biasa. Luther sendiri saat terakhir mengucapkan Yohanes 3:16 sebanyak 3 kali, alu teman-temannya mengatakan “saya ingin tanya apakah engkau masih yakin dengan ajaran reformasi sampai detik ini? Tolong katakan untuk menguatkan kami”. Jadi orang ini bertemu dengan Luther yang sudah mau mati, minta dia dikuatkan, bukan menguatkan Luther. Luther genggam tangan temannya itu, lalu dia bicara dengan suara tegas tapi lemah karena sudah mau mati, dia mengatakan “iya” lalu dia mati. Ini seruan kemenangan. Paulus mengatakan “saat ku dicurahkan darahNya sudah dekat, itulah kemuliaanku”. Sama seperti Kristus menuju salib, tidak pernah satu kalimat pun membuat kita menjadi ragu dengan iman kita. Yesus jalan disalib dengan tegas, meskipun lemah. Dia waktu di paku di kayu salib tidak pernah ada kalimat menyesali apa pun. Pernahkah di kayu salib Dia mengatakan “andaikan Aku tidak pernah pilih Yudas”, pernahkah Dia di kayu salib mengatakan “andaikan khotbahKu tidak terlalu keras” tidak ada. Semua seruan Kristus di salib adalah seruan kemenangan, ini luar biasa aneh. Seruan pertama adalah seruan yang lebih agung dari pada orang lain yang menyiksa Dia, dengan mengatakan “ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan”. Yesus sedang tidak di dalam posisi dikasihani, Yesus dalam posisi mengasihani. Orang-orang Kristen tidak boleh minta dikasihani dengan mengatakan “kami harus dibantu”, tidak ada itu. Yesus di kayu salib pun mengasihani orang lain, bukan minta dikasihani. Saudara adalah pengikut Kristus, di mana pun engkau berada, engkau memberikan belas kasihan, bukan minta belas kasihan. Ini gerakan Reformed Injili, tidak pernah minta sumbangan apa pun, tidak pernah minta belas kasihan. Karena Kristus disalib dan mengatakan ”Aku kasihan kepadamu, Aku doakan supaya kamu diampuni”. Kalimat berikutnya terus menyatakan kemenangan, Dia mengatakan pada bagian akhir “saudah selesai”. Lalu mengatakan “ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” tidak ada kalimat seagung Kristus ketika menjelang kematian. Itu sebabnya waktu Paulus melihat salib, dia tidak melihat kekalahan, dia melihat kemenangan. Itu sebabnya waktu dia melihat kematian, dia mengatakan “ini akan menjadi titik puncak hidupku, dimana aku selesai melayani Tuhan di dalam hidup ini”. Bisakah kita pandang kematian kita dengan mengatakan seperti itu, “aku akan melayani Tuhan sampai pada hari akhirnya aku selesai melayani di sini, jabatan tugasku berakhir, aku boleh pulang kepada Bapa di sorga”. Inilah makna salib di dalam pengertian Paulus. Dia mengatakan “dulu yang saya anggap penting, saya anggap sampah. Sekarang yang mau saya kejar adalah bagaimana kematian akhirku mengingatkan orang akan kematian Kristus”. Inilah kesatuan di dalam kematian Kristus supaya memperoleh kebangkitan sama seperti Kristus bangkit. Kiranya Tuhan memelihara hidup kita dan mempermuliakan namaNya di dalam hidup kita.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)