(Lukas 6: 46-49)
Baik di dalam Injil Lukas maupun di dalam Matius, kalimat ini menjadi kalimat penutup dari ajaran etika Kristus. Di dalam Matius ajaran etika Kristus itu dikhotbahkan di dalam bagian yang disebut Khotbah di Bukit dan ini adalah khotbah yang begitu dalam secara etika, yang begitu unggul di dalam etika dibandingkan apa pun. Mengapa begitu unggul? Karena memberikan keseimbangan dalam beberapa hal, keseimbangan melihat sesama manusia dan Tuhan, itu hal pertama. Lalu adanya keseimbangan antara kasih dan keadilan, itu hal kedua. Lalu yang ketiga adanya keseimbangan antara keharusan dan kerelaan, adanya keseimbangan antara kewajiban menjalankan dengan perasaan sukacita waktu menjalankan. Jadi dari prinsip etika yang Kristus bagikan dari Taurat, kita bisa melihat keutuhan hidup yang Tuhan mau menjadi cermin dari ajaran ini. Ajaran ini tidak dimaksud hanya untuk mengisi pikiran, ajaran ini tidak dimaksud hanya untuk membuat kita tahu, ajaran ini tidak dimaksud untuk memberikan kita satu pandangan hidup yang baru untuk kita jalani. Ajaran ini diberikan untuk perubahan secara total. Tuhan memberikan FirmanNya supaya ada perubahan total, Tuhan memberikan ajaran etikaNya supaya ada pembaruan yang sejati, ada pernyataan kebenaran yang membuat hidup seseorang tidak sama lagi karena baik di dalam dirinya mau pun tindakan luar itu menjadi sama. Kalimat pengajaran saja belum cukup, kalimat itu harus keluar dari hati seseorang yang benar-benar mencerminkan apa yang dia katakan. Itu sebabnya di dalam Lukas dalam ayat-ayat sebelumnya pasal 6: 43 Tuhan Yesus mengingatkan “apa yang kamu keluarkan dari mulut itu sama dengan yang di hati, itu baru baik”.

Maka di dalam bagian ini dikatakan “apa yang kamu lakukan sama dengan pengertian, itu baru baik”. Jadi baik pengertian maupun tingkah laku, baik hati dan mulut, itu menjadi satu kesatuan. Tuhan tidak mengajarkan etika supaya kita tahu, Tuhan tidak mengajarkan etika supaya kita mempunyai ajaran yang baik, Tuhan tidak mengajarkan etika supaya kita mengetahui pengetahuan bagaimana hidup, tetapi tidak terikat secara intergratif antara semuanya. Tuhan menginginkan manusia mempunyai perubahan yang total di dalam dan di luar, perkataan dan pikiran, tindakan dan pengertian, ini menjadi satu yang mengikat keseluruhan hidup manusia. Kita mesti belajar mempunyai hidup yang menganut sesuatu, bukan ajaran yang keluar dari mulut, bukan pengertian atau pun tingkah bahkan yang tidak lahir dari hati yang murni. Maka Tuhan memberikan perubahan di dalam yang kelihatan keluar, kita tidak bisa melihat hati orang tapi bisa melihat tindakan. Tapi melihat tindakan belum tentu sesuai atau sinkron dengan isi hati seseorang. Itu sebabnya Alkitab mengajarkan untuk kita renungkan “sejauh mana saya memahami Firman, sejauh manakah saya mendengar ajaran Yesus, sejauh mana diri saya berubah. Apakah saya mempunyai perubahan yang total, apakah saya mempunyai perubahan di dalam keseluruhan aspek atau tidak”. Itu sebabnya Alkitab memberikan pengajaran yang beda dari etika mana pun karena Alkitab menawarkan keutuhan di dalam menjadi seorang manusia. Keutuhan di dalam menjadi manusia itu tidak mungkin dilakukan tanpa 2 hal utama.

Hal pertama, manusia menjadi utuh di dalam relasi dengan Tuhan, lalu yang kedua manusia menjadi utuh di dalam relasi dengan sesama. Manusia tidak mungkin menjadi seperti apa dia tanpa ada 2 hal ini, sebab inilah tujuan, inilah sasaran yang Tuhan berikan ada pada manusia pada waktu manusia diciptakan. Manusia dicipta untuk nanti mempunyai relasi dengan Tuhan dan manusia dicipta untuk mempunyai relasi yang bisa dia nikmati dengan sesama. Inilah pengertian yang kita harus pahami dan mesti kita benturkan dengan konsep yang diajarkan di dunia ini. Di dalam dunia ini pun ada ajaran yang menekankan bagaimana teori harus dipraktekan, bagaimana yang kamu tahu dinilai kebenarannya berdasarkan aplikasinya bagaimana. Ini adalah aliran yang namanya pragmatisme dari Amerika sejak abad 19. Orang-orang di dalam pragmatisme mengatakan “saya capek mendengarkan orang berteori-berteori memperdebatkan teori tetapi tidak mau susah payah mengaitkan kebenaran teori itu dengan kemungkinan teori itu diaplikasikan”, maka mereka ambil jalur yang beda, mereka mengatakan “teori itu benar karena waktu saya jalankan teori itu saya mencapai sasaran yang saya mau. Jadi apa yang saya belajar itu membuat saya lebih mungkin mencapai sasaran, itulah teori yang benar”. Sejauh ini kita lihat dua-duanya mirip, Alkitab mengajarkan Tuhan memberikan Firman supaya kita menjadi manusia yang seharusnya, pragmatis mengatakan teori yang kita anut harus membuat kita menjadi orang yang mencapai sasaran. Tapi ini beda, bedanya adalah orang di dalam aliran pragmatis tidak tahu menjadi sasaran manusia itu ada di mana, “saya menjadi manusia untuk menjadi seperti apa, apa yang saya mau tuju” itu tidak pernah menjadi jelas. Maka untuk mencapai tujuan, mereka mesti pinjam pemikiran dari orang Yunani Kuno, salah satunya adalah filsafat yang bersifat hedonis dari kaum Yunani. Orang Yunani mengajarkan bahwa hal paling penting dari manusia adalah menjadi bahagia, kalau jiwamu bahagia, kalau dirimu bahagia, itulah yang menjadi tujuan hidup. Jadi saya hidup supaya saya mendapatkan bahagia, saya hidup supaya memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan penderitaan.

Apakah saya mencari bahagia sebagai tujuan akhir? Kalau benar saya mencari bahagia, bahagia model apa? Kalau ada bahagia, seperti apa saya harus mencapai itu? Apakah dengan hidup beretika saya bisa mencapai itu, atau jangan-jangan hidup beretika hanya bisa membuat saya hidup dengan cara yang baik, tetapi tidak pernah mencapai yang saya kehendaki. Jadi apa itu bahagia? Bagaimana bisa mengerti bahagia? Ini seperti mengemudikan mobil untuk mencapai garis finish, tetapi kita tidak tahu garis finish ada di mana, kita cuma pikir di situ ada garis finish, begitu kita sudah dekat, mobil sudah makin rusak dan garis itu ternyata tidak ada. Ini sepertinya yang menjadi harapan dalam pragmatisme, kamu kerjakan apa yang kamu pikir yang aplikatif yang bisa kamu mendapatkan kebahagiaan secepat mungkin, kamu dan masyarakatmu, itulah kebenaran. Tetapi fakta tidak seindah dengan yang di dalam teori, sehingga teori pragmatis sendiri waktu mau diterapkan ternyata kurang pragmatis, sebab apa yang menjadi sasaran tidak sama dengan kenyataan. Alkitab menyatakan bahwa kesenangan, bahagia dan kesenangan hidup ini pun ditawarkan oleh Tuhan. Tuhan menciptakan manusia bukan untuk kebinasaan, Tuhan tidak menciptakan manusia untuk terus pikul salib tanpa arah dan terus dikutuk dengan salib yang ada di pundak. Bahkan Kristus pun setelah menanggung kutuk di kayu salib, Dia tidak lagi datang kedua kali untuk dihukum, Dia tidak lagi datang kedua kali untuk menderita, kedua kali Dia datang mendapatkan kemuliaan. Demikian juga Tuhan merancangkan kehidupan manusia yang penuh dengan bahagia, penuh dengan kelimpahan sukacita, tapi sukacita yang Tuhan tawarkan beda dengan dunia, karena sukacita yang Tuhan tawarkan adalah sukacita di dalam relasi, bukan sukacita dalam materi. Sukacita yang diberikan dalam relasi jauh lebih besar dari pada sukacita yang diberikan materi. Kalau Saudara ketemu dengan orang yang Saudara cintai, lalu orang itu memberikan hadiah, hadiah itu menjadi berharga bagi Saudara karena ada kenikmatan relasi ini. Itu sebabnya ketika kita mendapatkan hadiah dari orang yang dikasihi, langsung pajang. Saudara menikmati pemberian Tuhan bukan karena pemberian itu dinilai terlepas dari Tuhan tapi karena Saudara sedang menerima sesuatu dari Pribadi yang Saudara kasihi. Keindahan menikmati relasi jauh lebih besar dari kenikmatan menikmati materi. Memang benar materi bisa memberi senang sedikit, tapi relasi memberikan kedalaman sukacita yang tidak pernah bisa digantikan oleh materi. Itu sebabnya yang Yesus tawarkan dalam Yohanes 17 adalah “kamu mengenal Aku dan mengenal Allah. Engkau mengenal satu-satunya Allah yang benar dan Yesus Kristus yang diutus, engkau mengenal dengan berada di dalam sama seperti Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa, demikian kita menjadi satu”, demikian orang-orang yang percaya kepada Yesus menjadi satu. Inilah relasi yang nikmat, yang Tuhan mau berikan, sehingga ketika kita mengenal Dia, mencintai Dia dan dicintai oleh Dia itu ada kenikmatan mendalam yang melampaui apa pun. Bahkan pemberian yang kita terima dari Dia pun kita nikmati karena kita mencintai Dia, dan pemberian kita kepada Dia pun kita berikan dengan penuh dorongan karena kita mencintai Dia.

Dorongan apa yang paling besar? Ada yang mengatakan “dorongan paling besar di dunia ini adalah cinta”, setelah orang mencintai dia kerja mati-matian untuk memberikan sesuatu kepada yang dicintai. Demikian juga dengan relasi kita dengan Tuhan. Tuhan menyatakan bahagia paling besar adalah ketika manusia menikmati relasi dengan Tuhan. Tetapi bagaimana relasi dengan Tuhan itu bisa dicapai dengan kenikmatan penuh? Satu-satunya yang mungkin adalah di dalam Kristus, sebab tidak mungkin kita dicintai dan mencintai Tuhan kecuali kita berada di dalam Sang Anak. Jadi di dalam Kristus kita menjadi pribadi yang mencintai Tuhan dan dicintai Tuhan. Itu sebabnya prinsip-prinsip etika Tuhan Yesus semuanya mengarahkan kita kepada satu tujuan yaitu menyerupai Kristus, dan setelah kita menyerupai Kristus, kita mengambil posisi sebagai anak yang sedang bertumbuh makin menyerupai Kristus dan dengan demikian relasi kita dengan Bapa menjadi semakin limpah. Bagaimana supaya relasi kita dengan Tuhan semakin limpah, semakin besar dan semakin mendalam? Satu-satunya kemungkinan adalah karena Roh Kudus mengubahkan kita lalu membimbing kita mempunyai karakter jiwa, sifat, pribadi yang makin mencerminkan Kristus sendiri, ini yang Tuhan mau. Maka setiap Firman yang Tuhan berikan itu bukan Firman yang hanya membuat kita hidup dan punya keteraturan di dalam etika, tapi lebih dari itu, mempunyai perubahan yang membuat kita secara karakter, secara utuh, perkataan, perasaanm, hati dan semua menjadi semakin mirip Kristus. Dan menjadi semakin mirip Kristus membuat kita berada di dalam Kristus dan membuat kita berada dalam Allah Bapa. Maka ketika Allah mengatakan “Aku mengasihi Sang Anak”, ini juga akan diterapkan kepada kita yang ada di dalam Sang Anak. Di dalam Teologi Reformed kita percaya bahwa ketika Roh Kudus memberikan keselamatan, Dia memberikan kepada kita status yang sama dengan Yesus Kristus yaitu sebagai anak-anak Allah. Yesus Kristus adalah Sang Anak dan kita di dalam Dia menjadi anak-anak Allah. Setelah kita secara status menjadi milik Kristus, menjadi anak-anak Allah, pada waktu itu juga pengudusan kita terus berproses dan berproses di dalam bimbingan Firman, itu sebabnya etika yang diajarkan Kristus beda dengan etika dunia ini, karena etika dunia ini mengarahkan kepada hal yang sifatnya hanya parsial.

Kristen justru membahas apa yang menjadi tujuan harus jelas, etikamu berdasarkan peraturan, peraturan apa harus jelas, karaktermu karakter baik mengapa disebut baik ini pun harus jelas. Maka Kristen menawarkan ada tokoh yang kepada Dialah tujuan dari seluruh kekudusan dan perjuangan kita untuk hidup secara etis. Maka Yesus Kristus mengajarkan seluruh ajaran, kemudian Dia mengatakan “berbahagialah kalau kamu bukan hanya pendengar, tapi juga melakukan”, jadi kita belajar untuk melakukan, karena di dalam melakukan kita akan makin dibentuk oleh Tuhan untuk memiliki sifat-sifat Kristus. Terkadang kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi yang kita tahu adalah kita berada di dalam tangan Tuhan yang penuh kasih. Abraham adalah contoh orang yang sangat taat, dia punya ketaatan yang sangat besar dan karena itu dia disebut bapa orang beriman. Di dalam Kitab Kejadian, ketaatan dan iman tidak dibenturkan, tidak dipisahkan, orang iman adalah orang taat, orang beriman adalah orang yang mempunyai ketaatan, ini tidak bisa dipisah. Maka Abraham taat meskipun dia belum mengertia, bayangkan dia disuruh pindah dari daerah Mesopotamia suruh jalan ke Kanaan, ke tempat yang berlimpah susu dan madunya. Saudara kalau diperintahkan Tuhan seperti ini, kemungkinan besar akan minta sample, “pindahlah kamu”, “pindah kemana, Tuhan?”, “pindah ke tanah yang berlimpah susu dan madunya”, “tanah yang mana ya? Coba ambil sample susu dan madunya, kita cicip dulu. Kalau masih enak di Mesopotamia, untuk apa pindah? Tapi kalau lebih enak di sana, baru kita pindah”, minta sample. Kita masih sample minded, kalau mau taat. “Taatilah Tuhan”, “samplenya mana, Tuhan? Beri sample baru nanti kami pertimbangkan, kami bergumul dulu”. Saudara datang ke supermarket, minta sample, jadi kita teologi supermarket. Tapi ketika Tuhan memanggil Abraham, tidak ada seperti itu. Tuhan cuma mengatakan “pindah”, lalu dia pindah. Sampai Kanaan, hal yang dia temukan adalah kekeringan dan kelaparan, ini sample-nya. Bayangkan baru pertama kali datang sudah kena kelaparan, apakah tidak stress. Kadang-kadang kita baca kisah hidup orang-orang di dalam Perjanjian Lama, apalagi Kitab Kejadian, diberi overview cepat sekali, tapi kalau kita berhenti sebentar lalu renungkan kalau kita jadi dia, kira-kira bagaimana perasaannya. Bahkan ada beberapa bagian yang ditafsirkan oleh seorang penafsir, ketika Abraham sampai, dia akan pilih tempat yang ada pohon cukup banyak, seolah-olah mau menenangkan orang-orang yang ikut dengan mengatakan “lihat, ini tanah yang subur”, maka dia cari tempat yang subur. Tapi ada waktu dimana dia tidak bisa lakukan itu, tidak bertemu pohon, ketika tidak bertemu pohon, apa yang dilakukan? Ada bagian dikatakan Abraham menanam pohon. Luar biasa sekali, Tuhan bilang “Aku akan memberikan tempat yang subur”, waktu datang kurang subur, tanam pohon supaya kelihatan subur. Jadi dia mau beriman kepada Tuhan meskipun dia belum lihat. Nanti ketika Israel masuk baru lihat tanah itu luar biasa limpahnya. Tuhan bisa berikan perubahan yang luar biasa.

Richard Pratt mengatakan mengapa Abraham datang, belum banyak tempat sebaik waktu orang Israel datang? Karena Tuhan belum siapkan untuk satu bangsa, waktu Abraham datang, Tuhan baru siapkan untuk memenuhi Abraham dan orang-orang di sekelilingnya. Maka Tuhan ijinkan masih banyak tempat sepertinya banyak kelaparan. Tapi waktu Israel masuk, tanah itu tetap subur. Jadi Abraham tetap beriman “sudah, kita tetap di sini saja”, “tapi mana buktinya?”, “tidak perlu lihat bukti, tapi Firman Tuhan, kalimat Tuhan itu sudah cukup untuk bukti”, ini ketaatan luar biasa. Tapi ini bukan ketaatan buta. Apa bedanya taat buta dengan taat Abraham? Taat Abraham adalah taat yang jelas apa yang Tuhan perintahkan, taat buta adalah Tuhan tidak perintahkan tapi kita tetap nekat, itu taat buta. Pokoknya taat, tapi esensi dari Tuhan, pengertian dari Alkitab tidak kita pahami sama sekali, ini namanya ketaatan buta. Tetapi hal-hal yang sudah jelas Tuhan perintahkan mungkin kita tidak lihat faedahnya, kita tidak tahu mengapa menjalankan ini bisa menjadi baik. Tapi Tuhan berikan perintah, berikan etika, berikan ajaran supaya hidup kita masuk di dalam kelimpahan yang Tuhan tetapkan sebelumnya yaitu kelimpahan dalam relasi dengan Tuhan. Maka saya senang dengan contoh yang diberikan Penginjil Edward, kita ini sering menuju ke tempat yang Tuhan mau tapi pakai jalan mundur. Karena mau menuju yang Tuhan perintahkan tapi tidak mau berpaling. Lalu kita mau menerapkan Firman Tuhan dengan cara seperti ini, pasti berat. “Berjalanlah ke sini”, “oke”, tapi jalannya mundur, tidak mau berpaling, tidak mau ada pertobatan yang total. Kita tidak bisa jalan mundur, dan Saudara mau praktekan Firman Tuhan, kita mau praktekan Firman Tuhan sambil tidak mau berpaling, maka jadi berat. Yang berat bukan Firmannya, tapi arah hidup kita tidak mau kembali kepada Tuhan. Kita mau arah ke sana, tapi jalan ke Tuhan. Maka kita stress karena terus jalan mundur.

Tapi Tuhan Yesus mengingatkan di sini, “kalau kamu datang kepadaKu berseru “Tuhan”, dengan fondasi yang tepat yaitu menikmati tujuan bahagia sejati dalam relasi dengan Tuhan”, ini akan membuat seluruh ajaran Kristus menjadi sangat-sangat sinkron dengan apa yang kita kerjakan. Seluruh yang diajarkan Kristus adalah untuk membuat karakter kita mirip dia. Dan waktu kita mirip Dia, justru relasi dengan Bapa menjadi begitu kental dan indah, dan sangat penuh dengan bahagia. Maka mari melangkah, Tuhan mau perintahkan apa, kita taat dulu meskipun sepertinya sulit kita jalankan dulu, meskipun sepertinya secara finansial, keuntungan, kenikmatan atau secara kesenangan apa pun yang sifatnya materi dan sementara itu sangat rugi, tetapi Tuhan tidak pernah bermotivasi jelak. Tuhan kita tidak pernah punya motivasi jelek, Tuhan tidak pernah duduk di sorga sambil ketawa-ketawa lihat kita dipermainkan, tidak mungkin. Bahkan Allah rela datang menjadi manusia, Allah Bapa kirimkan AnakNya dan Allah Anak rela menjadi manusia, mati di kayu salib, menunjukan betapa berharganya kita. Kalau Tuhan menunjukan kita begitu berharga, apakah mungkin Dia menjerumuskan kita? Tidak. Maka biarlah kita belajar untuk menjalankan apa yang dikatakan Kristus, menjalankan etika yang diajarkan Kristus, menjalankan perintah yang diberikan Tuhan dengan sekuat-kuatnya sambil bergantung kepada Tuhan, nanti kekuatan Tuhan yang akan topang dan Saudara akan menyadari hidup Saudara makin berlimpah, makin dekat kepada sukacita dalam Kristus seiring dengan langkah yang Saudara ambil mengikuti Tuhan. Kiranya ini boleh menjadi kekuatan yang mendorong kita untuk terus beriman kepada Firman Tuhan. Biarlah tidak ada kalimat yang Tuhan ajarkan, yang kita terima dengan motivasi yang jelek atau pun dengan keraguan untuk jalankan. Tidak mungkin Tuhan perintahkan hal yang kita tidak sanggup lakukan. Karena Tuhan sudah berikan Roh Kudus yang akan tolong kita untuk membuat kita sanggup. Maka tidak ada hal yang Tuhan perintahkan terlalu jauh. Paulus mengutip Perjanjian Lama yang mengatakan yang Tuhan perintahkan kepadamu, Taurat ini, itu bukan di langit sehingga kamu harus kejar ke atas untuk ambil. Juga bukan di dunia orang mati, sehingga engkau harus turun. Tapi faktanya memang benar ini dari langit, lalu kita ada di dunia orang mati. Bagaimana cara bawa Taurat dari langit ke dunia orang mati? Caranya, Paulus menafsirkan ada Kristus yang datang dari tempat di mana Taurat itu diberikan yang sudah turun ke dunia orang mati. Firman Tuhan tidak berat karena kita berada di dalam Kristus.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)