Hidup di zaman kita sekarang, seringkali kita mendengar lagu-lagu

zaman sekarang yang setelah beberapa lama akan ditelan oleh waktu dan

hilang tidak terdengar lagi. Tetapi musik yang baik, yang walaupun terlupakan

dalam waktunya, memiliki unsur kekekalan yang tidak akan tertelan oleh

zaman, malahan menjadi harta karun bagi orang yang menemukannya kembali.

Butuh seorang Felix Mendelssohn untuk membuka musik Johann Sebastian Bach

kepada dunia setelah musik Bach terkubur selama seratus tahun lebih, dan

lanskap musik dunia berubah sejak itu.

Lagu “Suci, Suci, Suci” pun mengalami peristiwa yang sama. Reginald

Heber (1783-1826) adalah seorang pendeta di gereja Anglikan Inggris, sejak

kecil Heber dikenal sebagai orang yang takut akan Tuhan, jujur, dan murah

hati. Ia pun tekun dalam belajar, tercatat bahwa ketika ia berumur tujuh

tahun, Heber sudah sanggup menerjemahkan filsafat Yunani ke bahasa Inggris.

Serta ia sanggup menebak banyak pasal dan ayat Alkitab ketika banyak orang

mengutipnya.

Ketika Heber beranjak dewasa, ia mengikuti jejak ayahnya untuk

menjadi hamba Tuhan di gereja Anglikan. Gereja Anglikan pada akhir abad 18

masih memiliki liturgis yang hampir serupa dengan gereja katolik Roma, yaitu

dengan menyanyi dengan Mazmur dan tata ibadah yang kaku. TIdak banyak

gereja yang menyanyikan lagu di luar Mazmur, melihat hal ini Heber

menciptakan satu buku yang berisi 70 kidung pujian yang didalamnya terdapat

himne “Suci, Suci, Suci”, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas puji-
pujian dan mendidik jemaatnya.

Namun sayangnya, uskup gerejanya kurang setuju dengan masukan

dari Heber, dan menganggapnya bahwa jemaat gereja mereka pada saat itu

belum siap untuk menyanyikan himne di luar “tradisi” mereka. Berbeda dengan

banyak pemusik gereja zaman sekarang yang memaksakan lagu “nge-trend”

mereka kepada jemaat, Heber tanpa banyak bicara mengurungkan niatnya,

mengesampingkan musiknya dan meneruskan tugasnya sebagai seorang

Pendeta di desa yang kecil itu.

Lalu, tak lama sejak Heber meninggal di India pada tahun 1826, Buku

himne ciptaanya itu ditemukan kembali. Namun karena kualitas musik dan isi

yang sangat baik, gereja Anglikan baru sadar dan akhirnya mengadopsi banyak

himne ke dalam kalender liturgi mereka. Salah satunya adalah himne “Suci,

Suci, Suci”.

Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa Tuhan memberikan musik yang tidak

terbatas banyaknya kepada gereja-Nya, supaya kita dapat mengemba- likan

kemuliaan kepada Dia. Dan mari kita belajar dan menggali himne-himne

berkualitas warisan, kita tidak pernah tahu mungkin ada karya seorang

Reginald Heber lainnya yang masih Tuhan simpan bagi kita semua.