Banyak orang zaman post-modern ini yang menganggap bahwa semua pujian untuk Tuhan itu semua sama saja, diciptakan siapapun juga sama. Bukankah semua orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri untuk Tuhan? Apalagi menciptakan lagu bukankah yang penting niatnya? Asalkan dengan lagu yang dicipta kita dapat merasakan hadirat Tuhan kan?
Bagaimanakah pandangan gerakan Reformed (baca: yang dianggap kolot) mengenai pertanyaan-pertanyaan ini?
Kita perlu menyadari bahwa tidak semua jenis musik sama saja karena dari sisi penciptaannya saja kita dapat melihat bahwa semua penciptaan musik merefleksikan penciptanya baik dari sisi pergumulan hidup, kewarga-negaraannya, roh zaman ketika penciptaan, pengaruh teologisnya, pendidikannya, motivasinya, dan terutama relasi pribadi antara sang pencipta lagu dengan Tuhan. Kita ambil contoh ekstrim saja, bagaimana lagu-lagu coptaan Fanny Crosby tentunya memiliki bobot dan kualitas jauh lebih baik dibandingkan dengan ciptaan “calon” presiden kita, Rhoma Irama.
Bagaimana tidak?! Fanny Crosby adalah seorang yang taat dan takut akan Tuhan, di dalam pergumulannya, di dalam kebutaan fisiknya, ia justru memegang rekor menciptakan lagu Kristen paling banyak, yaitu 8.500 lagu! Jumlah ini pun tidak termasuk himne-himne (puisi) yang belum ditemukan, karena sebagai wanita ia banyak menggunakan nama pena atau nama samaran lainnya. Iman dan relasinya yang intim dengan Tuhan dapat kita simpulkan lewat dialog Fanny Crosby dengan penginjil besar D. L. Moody. Moody bertanya, “Jika engkau hendak dikabulkan doamu oleh Tuhan, akankah engkau meminta agar matamu disembuhkan?”. Tertegun Fanny Crosby menjawab, “Lebih baik aku buta di dunia, karena kerinduanku adalah ketika aku mati dan dipanggil Tuhan, ketika aku membuka mataku, hal yang pertama kulihat adalah Ia yang menebus aku”.

Dalam lagu ciptaannya ini, “Salib-Nya, Salib-Nya, s’lamanya mulia!”, kemuliaan di dalam salib yang hina merupakan rahasia yang begitu besar dan paradoks (1 Korintus 1:31, Galatia 6:14, 2 Korintus 12:9). Pdt. Dr. Stephen Tong berkata bahwa orang pertama yang mempertemukan tema salib sebagai kemuliaan bukan toko teologi besar tetapi seorang nenek tua yang buta bernama Fanny Crosby. Mungkinkah seseorang dapat menciptakan himne dengan kualitas seperti ini tanpa menghidupi arti dan nilai anugerah di balik kemuliaan Salib yang hina? Tanpa kesaksian hidup dan pergumulan yang nyata, musik yang tercipta akan menjadi kosong dan palsu.
Fanny Crosby selama hidupnya tidak pernah menjadi kaya raya, seringkali ia malah berkekurangan karena ia banyak memberikan uangnya kepada yang memerlukan. Ia mungkin tidak menjadi kaya dari ribuan himne dan jutaan manusia yang menyanyikan karya ciptaannya, namun ia dapat bermegah di dalam Salib Kristus yang mulia itu.
Kita sering meremehkan kemurah-hatian Tuhan, kita menganggap dengan hanya niat yang baik saja Tuhan akan menerima semua bentuk persembahan kita. Tuhan punya hak untuk menolaknya jika cara kita tidak sesuai dengan keinginan Tuhan (Kejadian 4:1-6) dan Tuhan tidak mengindahkan kita.
Mari kita belajar pentingnya faktor siapakah composer di dalam musik, lewat Fanny Crosby kita dapat melihat contoh yang baik dalam penciptaan musik yang layak untuk Tuhan, melihat seseorang yang begitu mengenali Penciptanya hingga mampu menjabarkan rahasia Salib yang begitu dalam, namun tetap rendah hati di dalam talenta yang diberikan Tuhan, serta menghubungkan kecacatan fisiknya dengan harapan pertemuan kembalinya dengan Tuhan. Banyak yang kita dapat pelajari dari Fanny Crosby hanya dengan mempelajari dan menyanyikan 20-30 himne yang sering dinyanyikan saja, apalagi jika kita dapat mempelajari dan menyanyikan 8470 himne lainnya bukan?