Pandanglah Pada Yesus (Turn Your Eyes Upon Jesus)

by Hellen Lemmel

Hellen Lemmel adalah putri seorang hamba Tuhan gereja Methodis dari Inggris yang menetap ke daratan Amerika. Sejak kecil Hellen dididik untuk menjadi anak yang takut akan Tuhan dan menjadi anak seorang penginjil. Ia banyak mencontoh teladan orang tuanya di ladang misi di amerika.
Beranjak dewasa Hellen mengembangkan talentanya dalam bidang musik dengan melanjutkan studi di Jerman, hal ini ia lakukan untuk memperlengkapi pelayanannya di Amerika. Setelah pulang dari Jerman Hellen melakukan konser-konser di gereja terasing dan mengajar latih vocal di Moody Institute.
Ketika Hellen berusia paruh baya, ia diceraikan oleh suaminya karena matanya menjadi buta, namun di dalam kesulitan yang begitu besar, pergumulan-pergumulan ini tidak mengurungkan niatnya untuk terus melayani Tuhan. Walaupun dengan hati yang hancur dan mata yang buta, Hellen terus melanjutkan pelayanan musiknya dan menciptakan banyak himne.
Pada waktu Hellen berusia 54 tahun, ia menerima traktat yang berjudul “Which passion will prevail?” yang ditulis oleh Lilias Trotter, seorang misionaris untuk daerah muslim di Algeria. Di dalam traktatnya tercatat, ”… sehingga palingkanlah matamu kepada Dia, pandanglah penuh wajah-Nya, dan anda akan menemukan bahwa segala hal duniawi akan menjadi meredup dengan ajaib”.
Setelah membaca traktat itu, Hellen tersadar bahwa hal ini adalah jawaban doanya. Menjadi seorang yang buta dan hancur hatinya, ia sadar bagaimana seharusnya ia menambatkan mata dan hatinya kepada Tuhan.
Hellen terus menghidupi kata-kata dari himne yang ia ciptakan, ketika ia berumur 98 tahun dan terbaring sakit, di pinggir ranjangnya ada pianika kecil yang menemaninya memuji Tuhan, sembari berkata, ”Satu hari Tuhan akan mengaruniaiku piano surgawi!”. Katanya, ”Saya tak sabar menunggunya Tuhan!”. Ia meninggal pada tahun 1961, di mana penantiannya dengan matanya yang buta itu, dapat bertemu Kristus muka dengan muka.

 

Datang Bersykurlah ( Now Thank We All Our God)

– | Nun Danket Alle Gott –
Saat Luther memakukan 95 thesis ke papan gereja Wittenburg, saat itu pula para reformator memakukan perubahan dan reformasi di jantung kehidupan rakyat Eropa. Perubahan ini bukan saja secara theologis, reformasi pun mendorong perubahan dari aspek politik. Pada saat itu Eropa dikuasai oleh persekongkolan besar antara kerajaan-kerajaan dan Gereja yang korup, mereka sengaja menjadikan rakyat kecil tetap bodoh sehingga dapat diperas untuk membuat Kerajaan-kerajaan dan gereja kaya raya.
Dalam semangat reformasi inilah sistem demokrasi modern terbentuk, menghancurkan kekuasaan monarki dan gereja yang bertendensi korup. Seiring intelektualitas masyarakat yang terbangun, demokrasi berkembang, dan banyak negara mulai meninggalkan sistem kerajaan. Namun segala sesuatu yang mulia terkadang menimbulkan korban, gereja dan kerajaan mulai kehilangan kekuasaan mereka di Eropa, mereka mendeklarasikan perang kepada negara-negara protestan. Lalu pecahlah perang saudara di Eropa antara kubu Protestan dan Katolik, perang ini terjadi selama puluhan tahun dan menelan begitu banyak korban.
Salah satu negara yang terlibat di dalamnya adalah sebuah Negara Protestan kecil bernama Saxony, merekapun tidak luput dari kengerian perang. Termasuk sebuah kota berbenteng bernama Eilenburg, keadaan begitu mencekam dan tidak menentu, karena banyaknya pengungsi, terjadi kelaparan dan wabah, lalu kota ini diserbu beberapa kali hingga berkali-kali jatuh kepada pihak Katolik.
Banyak korban yang jatuh,termasuk dari pihak gereja protestan di Eilenburg, sehingga di dalam seluruh kota tersebut hanya tersisa seorang pendeta saja yang dapat melayani, ia bernama Martin Rinkart. Menjadi seorang pendeta, ia membuka rumahnya untuk dipakai melayani semua pengungsi dan orang yang membutuhkan. Hingga pada saat puncak peperangan di 1637, begitu banyak korban yang jatuh tetapi Martin RInkart dengan setia melayani dan memimpin kebaktian-kebaktian penghiburan, tercatat bahwa dalam setahun ia melakukan kebaktian penghiburan sebanyak 4000 kali, dan salah satu yang ia layani adalah istrinya sendiri.
Di masa sulit itulah Martin Rinkart menulis buku-buku himne memuji Tuhan. Di dalamnya terdapat sebuah himne “Datang Bersyukurlah” yang mengajak kita untuk bersyukur atas Allah penebus kita. Begitu besar kasih Allah yang ia pahami dan rasakan sehingga ketika mata Martin Rinkart melihat kematian di sekelilingnya, Ia justru melihat pemeliharaan Allah kepada umatNya.

Yesus Pengasih Jiwaku ( Jesus, Lover of My Soul)

Charles Wesley adalah seorang penulis himne yang besar, selama hidupnya ia menulis lebih dari 6000 himne,selain menulis himne ia pun mendukung pelayanan kakaknya, John Wesley untuk memberitakan Firman Tuhan kepada orang banyak di Inggris Raya dua ratus tahun yang lalu.

Pemberitaan Firman yang dilakukan dengan masal atau KKR ini banyak ditentang gereja lokal dan masyarakat pada umumnya, karena dianggap “meresahkan” dan “menggiring domba keluar dari gereja”. Namun pemberitaan Firman lewat KKR ini terus berjalan dari Inggris Raya hingga ke koloni-koloni Amerika, dipimpin oleh figur John Wesley dan George Whitefield.

Pada tahun 1740, Charles Wesley sedang melakukan perjalanan misi ke Irlandia, saat itu masyarakat Irlandia kebanyakan adalah penganut Katolik dan tak diayal banyak orang yang tidak setuju dengan pengajaran Charles Wesley. Di tengah-tengah perjalanan misinya, banyak orang yang mencoba untuk mengejar dan menangkap Charles Wesley.

Pada satu ketika di tengah pengejaran, Charles Wesley memacu kudanya dan berhenti di sebuah perternakan untuk bersembunyi, para pengejarnya mengikutinya di belakang. Dengan terburu-buru ia mengetok pintu peternakan itu, tak disangka, pemilik peternakan itu mengenal Charles Wesley dan segera memberi Charles tempat bersembunyi di dekat pepohonan di pintu belakang peternakan tersebut. Lalu ketika para pengejarnya tiba, sang pemilik peternakan mengalihkan perhatian mereka dengan memberikan makanan dan minuman. Charles tidak dapat bergerak dari persembunyiannya, dan ia menunggu.

Ketika menunggu, Charles yang menunggu di luar rumah dapat mendengar musuh-musuhnya merencanakan rencana jahat bagi Charles, suasana begitu mencekam karena jika ia bergerak atau pindah maka ia akan tertangkap dengan mudah. Namun Charles berdiam dan menunggu hingga bahaya lewat, Charles merasakan perlindungan dari Tuhan, dan sebagai respon ia merenungkan dan menciptakan himne ini. Bahaya dan kesulitan merupakan ujian iman, Charles Wesley tidak gentar, ia menaruh kepercayaan seutuhnya kepada Tuhan, himne ini membuktikan hubungan yang begitu intim antara jiwa kita kepada Tuhan.

Alur musik himne ini memperlihatkan perjalanan iman, dimulai dari kunci minor di bagian awal, memperlihatkan kesulitan di dunia ini, namun di tengah lagu kunci ini berubah menjadi mayor, menandakan Tuhan tetap menjaga dan memberi harapan, namun di bagian akhir kembali menjadi minor, memperlihatkan bahwa kesulitan itu tetap ada, namun kita jalani bersama Tuhan. Kiranya ini menjadi doa kita, walaupun di ombak menderu dan badai menerpa kita memiliki iman yang menyatakan Allah sebagai tempat perlindungan kita.

Tuhanku Yesus (Fairest Lord Jesus)

Musik himne ini begitu indah didalam kesederhanaannya, lagu ini

tidak sulit untuk dinyanyikan, namun begitu indah ketika kita

menyanyikannya. Kesederhanaan himne ini mengajak kita untuk bernyanyi

dengan kerendahan hati dan sadar akan posisi kita terhadap Allah. Musik

ini dipadu dengan lirik yang kompleks, hanya dari ayat pertama saja kita

bisa melihat adanya perpaduan tema kekaguman akan Kristus yang indah

dengan Kristus sebagai Allah Pencipta (Raja Alam Raya, King of Creation).

Baris berikutnya mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus yang

menjadi pemelihara seluruh ciptaan itu memiliki sifat Dwinatur, Ia adalah

100% Allah dan 100% manusia. Lalu pada akhir lagu menutup dengan

ajakan untuk mengasihi Kristus, karena Ia yang pencipta begitu mengasihi

kita, hingga rela mengosongkan diri-Nya dan sudah sepatutnya kita

memberikan hati kita kepada-Nya.

Tuhanku Yesus adalah himne yang diciptakan di Silesia, kira-kira

bagian tenggara Jerman modern. Melodi kuno ini konon diwariskan dari

para prajurit yang berperang di dalam perang salib pada abad ke-12 dan

diwariskan turun temurun oleh orang-orang di sebuah desa kecil di Silesia.

Lalu baru pada tahun 1662 lagu ini dibukukan dalam buku nyanyian Katolik

Münster Gesangbuch dan tetap dinyanyikan hingga sekarang.

Uniknya lagu yang indah ini tidak pernah dikenal penciptanya,

namun dikenal hingga kini dengan cara dinyanyikan terus di dalam gereja.

Sejarah membuktikan bahwa kerap kali manusia melupakan tradisi yang

baik, namun meratap ketika tradisi itu telah lenyap. Musik yang baik, indah,

dan berisi kebenaran patut terus kita nyanyikan secara benar, karena umat

Kristen di generasi selanjutnya, anak cucu kita layak untuk mewarisinya.

Fairest Lord Jesus, Ruler of all nation Indahlah Yesus, Raja alam raya,

Son of God and Son of Man Anak Allah dan Anak Manusia

Thee will I cherish, Thee will I honor Kau kukasihi, kau junjunganku

Thou my soul’s glory, joy and crown Kaulah sukacita dan mahkota

(1 Timotius 1:17; 1 Timotius 6:16)

Suci, Suci, Suci (Holy, Holy, Holy)

Hidup di zaman kita sekarang, seringkali kita mendengar lagu-lagu

zaman sekarang yang setelah beberapa lama akan ditelan oleh waktu dan

hilang tidak terdengar lagi. Tetapi musik yang baik, yang walaupun terlupakan

dalam waktunya, memiliki unsur kekekalan yang tidak akan tertelan oleh

zaman, malahan menjadi harta karun bagi orang yang menemukannya kembali.

Butuh seorang Felix Mendelssohn untuk membuka musik Johann Sebastian Bach

kepada dunia setelah musik Bach terkubur selama seratus tahun lebih, dan

lanskap musik dunia berubah sejak itu.

Lagu “Suci, Suci, Suci” pun mengalami peristiwa yang sama. Reginald

Heber (1783-1826) adalah seorang pendeta di gereja Anglikan Inggris, sejak

kecil Heber dikenal sebagai orang yang takut akan Tuhan, jujur, dan murah

hati. Ia pun tekun dalam belajar, tercatat bahwa ketika ia berumur tujuh

tahun, Heber sudah sanggup menerjemahkan filsafat Yunani ke bahasa Inggris.

Serta ia sanggup menebak banyak pasal dan ayat Alkitab ketika banyak orang

mengutipnya.

Ketika Heber beranjak dewasa, ia mengikuti jejak ayahnya untuk

menjadi hamba Tuhan di gereja Anglikan. Gereja Anglikan pada akhir abad 18

masih memiliki liturgis yang hampir serupa dengan gereja katolik Roma, yaitu

dengan menyanyi dengan Mazmur dan tata ibadah yang kaku. TIdak banyak

gereja yang menyanyikan lagu di luar Mazmur, melihat hal ini Heber

menciptakan satu buku yang berisi 70 kidung pujian yang didalamnya terdapat

himne “Suci, Suci, Suci”, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas puji-
pujian dan mendidik jemaatnya.

Namun sayangnya, uskup gerejanya kurang setuju dengan masukan

dari Heber, dan menganggapnya bahwa jemaat gereja mereka pada saat itu

belum siap untuk menyanyikan himne di luar “tradisi” mereka. Berbeda dengan

banyak pemusik gereja zaman sekarang yang memaksakan lagu “nge-trend”

mereka kepada jemaat, Heber tanpa banyak bicara mengurungkan niatnya,

mengesampingkan musiknya dan meneruskan tugasnya sebagai seorang

Pendeta di desa yang kecil itu.

Lalu, tak lama sejak Heber meninggal di India pada tahun 1826, Buku

himne ciptaanya itu ditemukan kembali. Namun karena kualitas musik dan isi

yang sangat baik, gereja Anglikan baru sadar dan akhirnya mengadopsi banyak

himne ke dalam kalender liturgi mereka. Salah satunya adalah himne “Suci,

Suci, Suci”.

Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa Tuhan memberikan musik yang tidak

terbatas banyaknya kepada gereja-Nya, supaya kita dapat mengemba- likan

kemuliaan kepada Dia. Dan mari kita belajar dan menggali himne-himne

berkualitas warisan, kita tidak pernah tahu mungkin ada karya seorang

Reginald Heber lainnya yang masih Tuhan simpan bagi kita semua.

Walau Seribu Lidahku

– O for a Thousand Tongue to Sing – 

Pada tahun 1735 Charles dan John Wesley melakukan perjalanan misi ke Georgia, Amerika untuk membawa berita Injil kepada orang Indian Amerika. Mereka berangkat dari Inggris dengan semangat dan bersukacita. Namun misi tersebut tidak berhasil karena banyak orang Indian menolak Injil, dan sayangnya pemerintah Georgia tidak medukung mereka di dalam pelayanan. Sepulangnya dari Amerika, timbul keraguan dalam hati mereka, “Mengapa banyak yang menolak kasih Tuhan?”. Dan bertanya, “Apakah mereka sendiri pernah merasakan kasih Tuhan itu?”. Lalu mereka berkesimpulan dengan pahit bahwa, ”Kami pergi ke Amerika untuk mempertobatkan orang Indian, tetapi siapakah yang akan mempertobatkan kami?”

Tetapi Tuhan memelihara Charles dan John Wesley karena ketika mereka tiba di Inggris, mereka dijangkau oleh anggota gereja Moravian. Jemaat gereja itu mendorong kedua bersaudara ini untuk ikut dalam kebaktian dan persekutuan di dalam gereja. Pada abad ke-18, gereja Moravian adalah gereja Protestan pertama yang melakukan penginjilan secara masal dan melakukan pengutusan ke banyak tempat. Gereja ini begitu giat memberitakan injil dengan kasih dan dengan secara ketat mempelajari Firman Tuhan.

Peter Bohler, seorang Jerman, adalah pemimpin gereja Moravian dimana kedua bersaudara itu berbakti, ia melihat pergumulan iman Charles dan John Wesley. Lalu di sela-sela pelayanannya Peter Bohler mengundang Charles untuk mengajarkan kepadanya bahasa Inggris. Lalu lewat interaksi yang intensif inilah sedikit demi sedikit Charles dan John mendapatkan pengajaran Firman dan bimbingan dari Peter Bohler.

Pada tahun 1738, Charles Wesley menderita sakit paru-paru yang akut, ia hanya dapat terbaring di atas tempat tidur dan beristirahat. Namun jemaat gereja terus melawat Charles, membacakan Firman Tuhan dan menyanyi bersama. Lewat kehangatan kasih itulah Charles sadar akan kasih Tuhan yang tidak layak ia terima, tetapi tidak bisa ia tolak. Fakta ini menjawab pergumulan pribadinya tentang kegagalan misinya. Lalu beberapa hari kemudian, pada tanggal 21 Mei 1738, ketika ia pulih dari sakit penyakitnya, Charles bertobat dan kembali kepada Tuhan.

Himne “Walau Seribu Lidahku” ini adalah himne yang selalu ada dengan nomor urut pertama dalam setiap buku himne metodis, padahal Charles sendiri menciptakan lebih daru 6000 himne. Himne ini diciptakan satu tahun setelah pertobatannya, di dalamnya ia mengutip kata-kata Peter Bohler, ”Jika aku memiliki ribuan lidah, aku akan memuji-Nya dengan setiap lidahku”, Kita tidak layak, namun kasih Tuhan melayakan kita. Karena itu mari kita gunakan setiap bagian dari kehidupan kita untuk memuji dan memuliakan Tuhan.

 

Mashyurkan Rajamu!

– Rejoice the Lord is King –

 

Himne “Rejoice the Lord is King” ini diciptakan pada abad ke 18 oleh seorang kelahiran Inggris bernama Charles Wesley (1707-1780). Charles Wesley merupakan salah satu pencipta himne terbanyak, tercatat kurang lebih 6500 (enam ribu lima ratus) himne yang ia ciptakan, dan hingga kini masih dinyanyikan di dalam banyak kebaktian di seluruh dunia.

Charles Wesley adalah adik kecil dari pendiri gerakan Methodis John Wesley, dan mereka berdua merupakan salah satu pelopor Gerakan Kebangunan Rohani Besar (The First Great Awakening) di Inggris Raya dan Amerika yang terjadi pada abad 18. John dan Charles Wesley  bersama figure besar lainnya seperti George Whitefield dan Jonathan Edwards, melakukan kebaktian kebangunan rohani secara masal di luar gereja, dan mempertobatkan ribuan orang.

Kebangunan ini mempertobatkan banyak orang dan menyebabkan banyak orang kembali kepada kebenaran Firman Tuhan., Sayangnya, kegiatan-kegiatan semacam ini banyak sekali ditentang oleh banyak pihak. Charles dan John Wesley pun ikut dikejar dan ditentang, rumah dan buku-buku mereka dibakar, tetapi tak ayal, mereka tetap memberitakan injil, mengajar dan melakukan KKR dengan terus bersukacita.

Berkaca kepada kesulitan mereka pada saat itu, himne ini tertulis. DIambil dari Filipi 4:4, yang berisi “Bersukacitala senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah”. Ayat ini ditujukan kepada gereja di Filipi yang sedang mengalami kesulitan yang berat pada saat itu, ironisnya penghiburan itu keluar dari seseorang yang bernama Paulus yang sedang berada di dalam tahanan Kaisar Nero di kota Roma!

Jemaat Filipi hanya bagian kecil dari banyak orang Kristen yang dianiaya dengan berat di jaman itu. Seorang Kristen pada jaman Nero dianggap membangkang kepada Kaisar, dan jika tertangkap, maka Kaisar Nero akan menangkap dan mengeksekusi mereka. Herannya, banyak orang Kristen yang dihukum itu , bukan mengutuk Tuhan, malahan bernyanyi-nyanyi memuji Tuhan ketika mereka di hadapan mereka ada hewan buas dan api yang akan memanggang mereka. Karena mereka menaruh pengharapan di dalam Tuhan dan terus bersukacita.

Himne ini menyadarkan kita bahwa Tuhan kita adalah Raja yang kekal, kita harusnya  menambatkan harapan kita kepada Tuhan yang kekal, sehingga dalam keadaan sesulit apapun, hingga di hadapan kematian, haruslah kita selalu bersukacita di dalam Tuhan, seperti ayat terakhir asli dari lagu ini.

Rejoice in glorious hope! Jesus the judge shall come.

And take His servants up to their eternal home

We soon shall hear the archangel voice;

The trump of God shall sound, rejoice!

Filipi 1:21 “Karena hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”

ALAM SEMESTA MEMULIAKAN ALLAH

– The Spacious Firmanent on High –

Franz Joseph Haydn, (1732-1809) adalah seorang komposer musik pada zaman klasik abad ke-19, lahir di Austria, Haydn dikenal selama hidupnya sebagai Bapak Simfoni dan Bapak String Quartet, sayangnya di zaman ini kepopuleran simfoninya dibayangi oleh muridnya Beethoven dan String Quartetnya oleh sahabat karibnya Mozart.

Ketika Haydn berada di Inggris pada tahun 1791-1795, ia menonton beberapa karya G.F Handel yaitu “Messiah” dan “Israel in Egypt” yang dipentaskan dengan skala besar. Sebagai orang yang takut akan Tuhan, Haydn tergugah dan terinspirasi oleh karya-karya agung Handel yang didedikasikan untuk kemuliaan Tuhan. Lalu Haydn menciptakan satu oratorio besar berjudul The Creation (Die Schöpfung), yang mengisahkan Kisah Penciptaan yang diramu dari Kitab Kejadian dan Mazmur, dan untuk melengkapi narasinya Haydn mengutip dari buku “Paradise Lost” karya John Milton. Karya yang berdurasi kira-kira satu jam setengah ini sarat akan pengaruh dari musikalitas karya-karya Handel yang ia pernah tonton.

Namun dalam proses penciptaan karya ini, Haydn mengalami sedikit kesulitan dalam menciptakan bagian klimaks dan konklusi dari penciptaan alam semesta pada akhir hari ke-4 Penciptaan. Merasa buntu, Haydn berkunjung kepada William Herschel, seorang ilmuwan Kristen yang mendalami ilmu astronomi dan seorang komposer musik pada zaman itu. Herschel pada zaman ini sebagai penemu planet Uranus.

Lewat teleskop dan hasil observasinya, Herschel memperlihatkan adanya keteraturan dalam pergerakan tata surya yang pada zaman itu baru dibuktikan lewat hukum gerak ke-3 Isaac Newton. Setelah mengunjungi Herschel, Hadyn meng- kombinasikan hasil temuannya dengan mengutip Firman Tuhan dari Mazmur 19:1-3, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.”. Lalu Haydn mencatat dalam akhir partitur lagu ini tertulis, “Terpujilah nama Tuhan”. Lalu lagu ini diadaptasikan untuk menjadi sebuah himne “The Spacious Firmament on High (Alam semesta memuliakan Allah)” (KPPK no. 58).

Kita bersyukur kepada Tuhan karena di tengah gelombang musik Kristen zaman ini yang dangkal, kita dapat melihat ke dua abad yang lalu, seorang Joseph Franz Haydn, menciptakan himne yang begitu indah, yang lewat musik dapat melukiskan keteraturan alam semesta, yang berjalan dalam gerakan yang tertib secara matematis, di dalam kebijaksanaan yang Mahakuasa, yang ciptaan-Nya memperlihatkan kepatuhan kepada Allah Pencipta.

Di Atas Satu Alas

“Di Atas Satu Alas”

( The Church’s One Foundation )

Samuel J. Stone, 1866

Samuel J. Stone, dilahirkan di Whitmore, Strattfordshire, tahun1839.

Ia anak dari Pdt. William Stone. Samuel menempuh pendidikan di

Pembroke College, Oxford. Tahun 1874, ia meneruskan pelayanan ayahnya

di Gereja St. Paul’s, Haggerston.

St. Paul’s Haggerston berada di kawasan kumuh di London.

Stone membuka gerejanya pada pukul 6.30 pagi sehingga para pekerja bisa

mampir ke gereja untuk bersekutu, berdoa, membaca dan sebagainya.

Kemudian ia membangun beberapa gereja, ia beranggapan bahwa

masyarakat bawah sekali pun berhak untuk beribadah di gereja yang indah.

Di kemudian hari, ia dijuluki sebagai “pendeta kaum miskin”.

Stone menulis banyak puisi dan hymne. Ia juga adalah anggota dari sebuah

lembaga musik Hymns, Ancient and Modern.

Stone menuliskan hymne ini ketika Gereja berada dalam situasi perpecahan.

Ia kembali merenungkan tentang apa itu Gereja.

Yaitu Kristus lah yang menjadi dasarnya yang kuat.

Gereja adalah umat pilihan dari bangsa-bangsa di seluruh dunia

yang disatukan oleh Allah sendiri. Dan kiranya Gereja terus berdoa.

Gereja Tuhan yang sejati tidak akan pernah binasa.

http://songsandhymns.org/people/detail/samuel-stone

Ku Tahu Siapa Yang Kupercaya

“Ku Tahu Siapa Yang Kupercaya”

( I Know Whom I Have Believed )

El Nathan / Daniel W. Whittle, 1883

Pengarang lagu ini biasanya menggunakan nama samaran El Nathan atau Elias Nathan. Nama sebenarnya ialah Daniel Webster Whittle. Dalam perang sipil, Whittle kehilangan tangan kanannya, lalu harus mendekam di kamp penjara perang. Setelah sembuh dari luka-lukanya, ia mencari-cari sesuatu untuk dibaca kemudian ia temukan Alkitab Perjanjian Baru. Walaupun kata-kata dalam Alkitab itu begitu menggema di hatinya, ia belum siap menerima Kristus. Tidak lama setelah itu, seorang perawat rumah sakit membangunkannya dan berkata bahwa ada seorang tahanan yang sedang sekarat yang meminta seseorang berdoa untuknya. Whittle sebenarnya keberatan mendoakan tahanan itu, tapi perawat itu berkata, “Saya kira Anda seorang Kristen karena saya lihat Anda membaca Alkitab”. Akhirnya, Whittle bersedia mendoakan tahanan itu dan mencatat demikian :

…saya berlutut dan menggenggam tangan anak muda itu. Dengan terbata-bata saya mengakui dosa-dosa saya dan memohon Kristus mengampuni dosa saya. Saya percaya bahwa saat itu juga DIA sudah mengampuni saya. Kemudian dengan sungguh-sungguh saya mendoakan anak muda itu. Anak muda itu menjadi tenang dan memegang tangan saya erat-erat sementara saya mendoakan dia dan mengatakan janji – janji Tuhan kepadanya. Ketika saya berdiri, ia meninggal. Wajahnya yang semula sangat menderita berubah menjadi penuh sukacita dan damai. Saya hampir tidak dapat mempercayai kalau Tuhan sudah memakai anak muda itu untuk membawa saya kepada Juru Selamat, dan memakai saya untuk membawa anak muda itu untuk mempercayakan hidupnya pada darah Kristus yang begitu berharga dan menemukan pengampunan. Saya berharap bertemu lagi dengan anak muda itu di sorga kelak….”

Setelah perang selesai, Whittle bekerja bagi Elgin Watch Company di Chicage, Illionis. Selama kurang dari 10 tahun, ia akhirnya menekuni ladang penginjilan. Selama masa itu, ia bekerja dengan musisi terkenal, Philip Bliss dan James McGranahan. Whittle yang lahir pada tanggal 22 November 1840 di Massachusetts ini dimakamkan juga di tempat kelahirannya pada tanggal 4 Maret 1901. Keputusannya untuk menyerahkan seluruh hidup kepada Injil tersirat dalam pernyataannya: “…dalam keheningan, saya telah serahkan seluruh hidup saya kepada Bapa Sorgawi untuk IA pakai sesuai kehandak-Nya…”