The Church’s One Foundation

Lagu The Church’s One Foundation adalah sebuah lagu hymn yang diciptakan karena adanya desakan dari pengajaran sesat yang berkembang pada zaman itu. Pada tahun 1980, muncul sebuah karya yang sangat kontroversial karena mem-pertanyakan keakuratan sejarah Alkitab. Karya ini memicu seorang uskup Afrika Selatan yang bernama John William Colenso menuliskan sebuah buku yang isinya menolak bahwa Musa adalah penulis the Pentateuch, mengatakan bahwa tokoh Joshua hanyalah sebuah mitos, mengatakan bahwa Kitab Tawarikh hanyalah se-buah karya fiksi dan juga Ia meragukan akurasi akan kalimat Yesus mengenai Musa. Tulisan daripada Colenso sendiri akhirnya menuai pertentangan dari uskup yang lain yang bangkit untuk melawan dan menyatakan bahwa Colenso adalah bidat. Pertentangan ini menimbulkan perpecahan di dalam gereja di Afrika selatan hingga akhir hidup daripada Colenso. Di tengah pertikaian ini, seorang Uskup bernama Samuel John Stone memperhatikan suatu kondisi dimana jemaat mengucapkan pengakuan iman rasuli dengan sikap yang acuh tak acuh, mereka mengucapkan pengakuan ini tanpa pengertian yang jelas akan apa yang mereka ucapkan. Karena hal ini Stone membuat 12 hymn yang menjelaskan setiap bagian dari pada pengakuan Iman rasuli, dan salah satu dari kedua belas hymn tersebut ada lah lagu “The Church’s One Foundation” atau “Di Atas Satu Alas”. Di dalam konteks seperti ini, maka memahami bahwa lagu tersebut memiliki kedalaman theologis didalam teks lagu di setiap baitnya. Hymn ini terdiri dari 5 bait, di mana setiap baitnya mem-iliki prinsip-prinsip doktrin gereja yang kental.
Di bait pertama dijelaskan bahwa dasar daripada gereja adalah Yesus Kristus yang turun dari Surga lalu menebus akan gereja-Nya dengan mengorbankan diri-Nya, sehingga gereja adalah ciptaan yang baru melalui Firman dan air baptisan. Di bait ini kita dapat belajar bahwa dasar gereja bukanlah otoritas dari petinggi, bukan juga orang kaya, tetapi dasar gereja adalah Kristus yang sudah menebus kita. Ge-reja berdiri di tengah dunia dengan Kristus yang menjadi pusatnya. Gereja berada untuk menjalankan akan kehendak Allah bukan ambisi pribadi orang-orang terten-tu. Gereja berdiri untuk memberitakan Kristus bukan ajaran yang menyenangkan hati manusia. Oleh karena itu gereja hadir dengan satu tuntutan untuk memiliki kesetiaan kepada Kristus dan kebenaran.
Di dalam bait yang kedua, dijelaskan bagaimana gereja yang terdiri dari berbagai bangsa tetapi satu di dalam Kristus. Di dalam pengakuan iman rasuli kita mengucapkan “Gereja yang Kudus dan Am”. Kata ‘Am’ yang berarti gereja yang satu. Di dalam teologi reformed, kita mempelajari perbedaan antara gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Gereja yang kelihatan adalah gereja lokal atau denominasi yang banyak tersebar di seluruh dunia. Tetapi gereja yang tidak kelihatan adalah gereja yang satu yaitu tubuh Kristus. Di dalam konteks gereja yang tidak kelihatan inilah kita memahami bait ke dua ini. Tuhan memiliki anggota gereja dari berbagai bangsa bahkan dari berbagai zaman. Tetapi perbedaan tempat dan waktu ini tidak menjadikan gereja terpecah atau terpisah, tetapi semuanya dipersatukan di dalam satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala gereja. Di sini kita dapat belajar untuk melihat bahwa gereja berdiri bukan untuk gereja itu sendiri (sebagai salah satu denominasi) tetapi gereja berdiri untuk meninggikan Kristus sebagai kepala gereja dan menjalankan apa yang menjadi kehendak Allah demi Kemuliaan Allah.
Pada bait ketiga dan keempat digambarkan bagaimana di dalam perjalanan gereja di tengah-tengah dunia ini diwarnai dengan berbagai tantangan baik dari luar oleh pihak yang tidak menyukai gereja dengan segala bentuk penganiayaan terhadap gereja, maupun dari dalam gereja sendiri yaitu dari pihak-pihak yang ada-lah murid Kristus yang palsu atau pengkhianat dengan menyesatkan dan meme-cahkan gereja. Kondisi inilah yang seringkali kita jumpai di sejarah gereja maupun juga kisah-kisah yang terjadi pada zaman ini. Tantangan seperti ini akan menjadi kesulitan yang menjadi kesusahan bagi gereja yang sejati, tetapi dikatakan bahwa malam yang penuh dengan kesedihan akan diganti dengan Fajar yang penuh dengan pujian. Inilah penghiburan bagi gereja, Tuhan berjanji akan selalu menyer-tai dan memberikan kekuatan serta penghiburan. Di dalam waktu-Nya Tuhan akan menyatakan kuasanya dan gereja akan menang karena Allah penguasa seluruh alam semesta menyertai akan gereja-Nya dan pada akhirnya di dalam konsumasi, Gereja Tuhan akan bersukacita dan tenang dalam kedamaian bersama dengan Tu-han.
Pada bait kelima, dijelaskan bahwa gereja yang disatukan bersekutu dengan Allah Tritunggal dan juga seluruh jemmaat Tuhan yang telah menang dan diakhiri dengan satu harapan agar Tuhan membangkitkan dan menyatukan kita juga di dalam terang. Bait ini merupakan cicipan penggambaran daripada titik konsumasi, di mana dari seluruh perjalan-an gereja Tuhan yang penuh dengan dinamika dan tantangan, semuanya akan diakhiri dengan persatuan dalam Allah Tritunggal beserta dengan seluruh jemaat Tuhan yang juga sudah menang. Dari penggambaran ini ktia semua mendapatkan suatu pengharapan akan titik akhir dari segala perjuangan kita dalam kehidupan bergereja. Mungkin seringkali, kita menjumpai akan permasalahan-permasalahan yang sangat mennyedihkan hati dan membebani kehidupan kita dan membuat kita pernah berpikir untuk menyerah dan meninggalkan akan gereja Tuhan. Di dalam kondisi seperti ini, biarlah kita mengingat bahwa kita dipanggil Tuhan untuk bergereja bukan dengan bersandar kepada kekuatan kita sendiri tetapi bersandar kepada Kristus. Ingatlah juga bahwa segala perjuangan kita, jikalau kita perjuangkan dengan penuh ketaatan, kesetiaan dan kemurnian hati kita dihapan Tuhan, bukan suatu perjuangan yang tidak ber-pengharapan tetapi suatu perjuangan yang mengarah kepada satu titik konsumasi yang Tuhan sudah berikan.
Zaman dimana kita hidup saat ini adalah zaman dimana peranan gereja di tengah-tengah dunia ini sedang berada di ujung tanduk. Di satu sisi kita melihat bahwa secara tampak luar gereja berkembang, bahkan pergerakan lembaga-lembaga pelayanan non gereja pun berkembang, tetapi waktu kita menyelidiki dengan seksama mengenai fungsi daripada gereja maupun lembaga non-gereja ini maka kebanyakan yang akan kita jumpai adalah kondisi yang sangat menyedihkan. Prinsip-prinsip mengenai dasar maupun panggilan daripada gereja satu persatu mulai memudar bahkan banyak gereja maupun lembaga pelayanan yang sudah tidak lagi mencerminkan akan tugas dan panggilan gereja. Gereja kehilangan akan identitasnya dan menjadi serupa dengan lembaga sosial atau kemanusiaan yang didirikan oleh dunia, ajaran yang diberikan bukan lagi Firman Tuhan tetapi ajaran yang ‘ inspiratif ’ dan tidak jauh berbeda dengan ajaran para motivator. Tetapi di sisi lain kita melihat bahwa kehadiran gereja di tengah dunia ini semakin crucial, karena zaman ini adalah zaman yang semakin tersesat di dalam ajaran-ajaran yang kosong, banyak orang yang mencari akan makna hidup yang sejati yang dapat membawa mereka kepada kehidupan yang berarti dan sejati. Kehadiran gereja yang sejati seharusnya dapat membawa zaman ini untuk kembali kepada Allah, gereja menjadi pusat dimana kehendak Allah dinyatakan dan menjadi wadah di-mana kebenaran Allah berada. Maka melalui lagu hymn ini kita kembali diingatkan dan diajarkan akan tugas dan panggilan gereja. Biarlah lagu hymn ini menyadarkan dan kembali menggugah hati kita untuk menjadi umat Allah yang berkumpul di dalam gereja dan mengerjakan kembali tugas gereja yang sejati demi kemuliaan Allah dan memperluas kerajaan Allah.

Let All Things Now Living

Hymn “Let All Things Now Living” diciptakan oleh Katherine Davis pada abad ke-19. Katherine K. Davis adalah seorang pianis, organis, dan komponis yang mempelajari piano sejak dini dan mulai membuat lagu-lagu sejak umur 15 tahun. Ia memenangkan Billings Prize untuk komposisi lagunya setelah ia lulus dari SMA St. Joseph. Ia melanjutkan studi musiknya di New England Conservatory of Music, dan kemudian melanjutkan studinya pula di Paris dengan seorang ahli musik terkenal Nadia Boulanger, yang adalah guru dari banyak komposer di abad ke-20.
Melihat latar belakang Katherine Davis yang begitu hebat dalam dunia musik, kita pasti membayangkan lagu yang ia ciptakan adalah lagu yang sulit, rumit, dan megah. Namun ketika kita mendengarkan hymne “Let All Things Now Living”, hymne ini memiliki tempo yang sedang, nada yang tidak sulit dinyanyikan (1 oktaf lebih 1 nada), chord progression yang tidak banyak, dan pola yang sederhana (A – B – A’). Justru dalam kesederhanaan bentuk lagu ini Katherine K. Davis dapat membawa kita mengucap syukur dengan riang!
Lagu sederhana ini dibuat oleh komposer yang mendalami dunia musik, dan memiliki kelimpahan dalam kesederhanaannya.

Kelimpahan tersebut bisa kita lihat dari kata-katanya. Hymne ini mengajak kita untuk mengucap syukur pada Tuhan yang adalah Allah kita, pencipta kita, yang berdiam bersama-sama kita, yang menyertai kita hingga akhir hari-hari kita, dan yang melindungi kita. Lalu setelah menjabarkan siapa Allah kita, pada bagian refrain lagu ini memberitau kita betapa bahagia memiliki Allah yang berada di pihak kita, menerangi jalan kita, bahkan di malam hari.
Bait pertama ditutup dengan nada yang sama dengan nada sebelum refrain, menggambarkan konklusi dari kalimat yang semula kita nyanyikan, “sampai bayang-bayang sudah berlalu, ketakutan hilang, kita berjalan dari terang ke terang”. Bait kedua menggambarkan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya di bumi. Dalam bintang, matahari, bukit dan gunung-gunung, sungai dan air terjun, dan dalamnya lautan, semua itu memproklamasikan kebesaran Tuhan.

Lalu pada bagian refrain-nya mengajak kita untuk menyanyikan lagu memuji kebesaran-Nya, dengan hati penuh sukacita. Kembali ke nada awal, konlusi bait kedua adalah “mari semua yang hidup, bersatu bersyukur bersama. Kepada Tuhan di tempat tinggi, Hosanna dan pujian”.

 

 

 

 

Like a River Glorious

Di tengah-tengah kehidupan kita, terkadang kita merasakan gelisah dan
merasa bingung dalam menjalani kehidupan ini. Sebagai natur alami dari
manusia, manusia pasti mencari kedamaian bagi dirinya. Damai di sini dapat
berupa bebas dari segala sesuatu yang meresahkan seperti peperangan,
perselisihan, ataupun damai yang diinginkan adalah kedamaian secara pikiran
(psychology).

Kemanakah kita mencari “kedamaian” yang kita inginkan
tersebut???

Saat ini kita hidup ditengah dunia yang telah jatuh dalam dosa dan
tidak memiliki pengharapan. Kedatangan Kristus ke dalam dunia untuk menebus
dosa-dosa kita di atas kayu Salib memberikan pengharapan dan pendamaian
hubungan kepada orang percaya dengan sang Bapa. Ini merupakan salah satu
kedamaian yang dimiliki orang percaya, yang diperoleh melalui Kristus.

Lagu baru yang kita nyanyikan pada hari ini, “Like a River Glorious”,
diciptakan oleh Frances R. Havergal (1836-1879), yang merupakan komposer
hymn, poetess (penulis puisi), dan seorang penulis renungan. Frances R.
Havergal hidup sezaman dengan Fanny J. Crosby, yang juga komposer hymn
yang telah menulis lebih dari 8500 hymn, namun mereka sama sekali tidak
pernah bertemu dan berkomunikasi melalui surat. Beliau merupakan anak dari
seorang minister di gereja Inggris. Sejak umur 4, Frances R. Havergal sudah
membaca dan menghafal ayat Alkitab. Tahun 1876, Frances R. Havergal terkena
penyakit yang hampir merenggut nyawanya. Namun ditengah keadaan tersebut,
dia masih dapat berkata, “If I am really going, it is good to be true”. Dia tetap
dapat tenang meskipun dalam kondisi seperti itu. Setelah sembuh dari
penyakitnya dia menulis hymn “Like a River Glorious”, terngiang akan janji
Tuhan yang diberikan kepada kita dalam kitab Yesaya pasal 48:18 (ESV: “Oh that
you had paid attention to my commandments! Then your peace would have
been like a river, and your righteousness like the waves of the sea”), dia juga
menggabungkannya dengan pasal 26:3 (ESV: “You will keep him in perfect peace,
whose mind is stayed on You, because he trust in You”). Lagu “Like a River
Glorious” menggambarkan damai yang diberikan tersebut.

Melodi dalam lagu tersebut menggambarkan suatu melodi layaknya seperti sungai yang alirannya stabil, tenang, dan peacefully. Sewaktu kita menyanyikan lagu ini kita dapat merasakan alunan melodi yang tenang dan tidak memiliki kontras yang terlalu tajam pada setiap perpindahan notnya. Perhatikan not-not yang ada pada masing-masing baris, perpindahan rata-rata antar not satu ke not lainnya (dalam 1 baris tersebut) berkisar 1 dan 2 (Do ke Mi berjarak 2, Do ke Re berjarak 1).
Sebagai contoh, mari kita perhatikan not pada baris pertama:
1 1 2 2 | 3 . 5 . | 4 4 2 2 | 3 . . .
Dimulai dengan Do, kemudian perlahan naik perlahan sampai ke Sol (5) dan turun kembali secara perlahan sampai ke 3. Jika kita perhatikan masing-masing not per-baris (sesuai warta), alunan not tersebut menggambarkan suatu aliran yang stabil dan tidak berubah drastis (misalkan dari Do oktaf bawah ke Do oktaf tinggi, berbeda 1 oktaf). Pada lagu ini masing-masing perpindahannya stabil dan tenang. Secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa note painting pada lagu ini ingin menggambarkan suatu aliran sungai yang tenang dan damai!
Marilah kita menyanyikan lagu ini dengan hati yang penuh dengan damai yang telah Kristus berikan kepada kita orang percaya melalui kematian-Nya di atas kayu Salib. Ditengah kehidupan yang kita jalani dan mengalami banyak masalah, kita harus selalu ingat bahwa hanya Kristus yang memberikan kedamaian bagi kita, seperti halnya Frances R. Havergal, ditengah penyakit yang dideritanya, dia masih bisa merasakan damai sejahtera dari Kristus dalam hidupnya!

Kuheran Juruselamatku ~ Alas! and Did My Saviour Bleed?

Seringkali kita menjalani hidup Kristen yang terpecah: di hari-hari biasa
kita hidup tanpa Kristus, di hari Minggu kita kembali mengingat Kristus. Hidup
yang demikian bukanlah hidup Kristen yang sejati. Hidup Kristen yang sejati
adalah hidup yang dijalani dengan visi Kristus, yakni memberikan diri untuk
menggenapi kehendak Bapa dalam melayani dan mengasihi sesama. Hidup
yang demikian adalah hidup yang didorong oleh cinta kasih, baik kepada Allah
maupun kepada sesama kita yang adalah gambar Allah.
Mungkinkah kita menjalani hidup yang penuh cinta kasih dengan
konsisten? Kita tidak mungkin menjalani hidup sedemikian tanpa selalu
kembali memandang salib Kristus. “Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu
mengasihi kita” (1 Yoh. 4:19). Cinta kasih Kristus adalah mata air cinta kasih
yang tak henti-hentinya mengisi kekosongan hati kita, sehingga kita dapat
mengasihi.
Himne yang ditulis Isaac Watts ini menyatakan keheranannya akan cinta
kasih Kristus:
Alas! and did my Saviour bleed and did my Sovereign die?
Benarkah Juruselamatku berdarah dan Rajaku mati?
Would He devote that sacred head for such a worm as I?
Akankah Dia memberikan kepala kudus itu untuk manusia menjijikan seperti
aku?
Himne ini ditulis dalam bentuk common metre, yang suku kata tiap
barisnya berjumlah 8-6-8-6. Isaac Watts adalah seorang Puritan yang memiliki
talenta yang luar biasa. Ia menguasai bahasa Yunani, Latin, dan Ibrani sejak
lulus sekolah dasar. Sejak kecil, ia sangat suka membuat sajak. Pada waktu ia
berumur 20 tahun, ia menulis banyak himne yang terkumpul dalam buku
“Himne dan Lagu-Lagu Rohani”. Ia dipendetakan pada tahun 1702, ketika ia
berumur 28 tahun. Ia menulis buku-buku teologi, pendidikan, dan lagu rohani
untuk anak-anak. Salah satu pesan yang ia katakan melalui puisinya kepada
anak-anak berbunyi demikian :

In works of labour or of skill
dalam berbagai jenis pekerjaan
I would be busy too:
aku akan menyibukkan diri
For Satan finds some mischief still
karena iblis mencari-cari berbagai kenakalan
For idle hands to do.
untuk dikerjakan oleh tangan yang menganggur
Jika Isaac Watts telah memberikan talentanya dalam bidang bahasa
untuk kemuliaan Allah, apakah hidup kita juga berbuah untuk mengagungkan
nama Yesus Kristus? Semoga cinta kasih Juruselamat kita yang mengherankan
itu terus mendorong kita untuk semakin hidup di dalam kasih.

Kaulah Ya Tuhan Surya Hidupku ~ Be Thou My Vision

Untuk mengenal himne kita harus belajar sedikit proses penciptaan lagu,
biasanya di dalam judul tertera nama judul lagu, pencipta syair/kata-kata dalam
lagu, pencipta musiknya, dan nama tune-nya. Kita akan melihat pembahasan di
minggu-minggu ke depan yang menjelaskan siapa penulis syair dari sebuah lagu.
Semisal Isaac Watts yang seorang pembuat puisi, kita melihat keindahan
literatur dalam lirik dalam himnenya. Atau Mazmur dan ayat alkitab sebagai lirik
himnenya.
Nah lalu di sebelah penulis syair biasa tertera pencipta lagu/musiknya
atau dari mana terciptanya. Seperti William Duane menciptakan musik untuk
Fanny Crosby atau Handel dalam menciptakan musik untuk Isaac Watts.
Tidak jarang juga pencipta lagu sekaligus menuliskan liriknya, kita dapat melihat
lagu-lagu Reginald Heber (Holy, Holy, Holy!) atau Felix Mendelsohnn (Ya Tuhan
Dengarlah Doaku).
Tetapi lagu dan musik yang diciptakan dapat didaur ulang sesuai dengan
kecocokan tema dan isi liriknya, sayangnya di Indonesia kita belum terlalu sering
menyanyikan lagu dengan lirik yang berbeda. Contohnya adalah lagu yang
minggu kemarin kita nyanyikan, “Mulia dan Menang” ada alternatif lirik lain
bernama “Hai Putri Sion”. Contoh lainnya “Blood and Righteousness” (Darah dan
Kebenaran-Mu) ada lirik lainnya yaitu “Where Cross the Crowded Ways of Life”.
Musik tidaklah netral, ia bercerita dengan pergumulan emosi yang dalam
perubahan kunci dan tema bergabung dengan lirik dapat mengafeksi kita dalam
menyanyi. Oleh karena itu lirik yang berbeda dengan musik yang sama dapat
memperlihatkan afeksi yang secara luar biasa beragam. Kalau tidak percaya
coba nyanyikan lagu-lagu di atas.
Nama musik itu kita sebut tune, sering ditulis dengan huruf besar seperti
ANTIOCH atau dalam lagu “Be Thou My Vision” disebut SLANE. Tapi apakah itu
SLANE?

Pada abad ke-3 seorang missionaris yang takut akan Tuhan bernama
Patrick (atau lebih dikenal di barat dengan nama St. Patrick) membawa Injil ke
daratan Irlandia. Kedatangannya membawa Firman Tuhan ke negara yang masih
menganut paganisme, tidak disukai banyak pihak, termasuk Raja Logaire yang
merupakan penguasa setempat. Sang raja menitahkan bahwa sebelum musim
semi tidak diperbolehkan menyalakan api, karena dalam tradisi paganisme
mereka menyalakan api musim semi di bukit bernama SLANE. Namun paskah
dilakukan sebelum musim semi, dan Patrick tidak diperbolehkan menyalakan
lilin paskah.
Namun karena iman kepada Allah dan ketekunannya, sang raja mengalah
kepada Patrick dan membiarkannya mengadakan acara Paskah di tempat itu.
Lalu lilin paskah menyala pertama kali di bukit bernama SLANE, menjadi simbol
atas kekristenan menerangi daratan Irlandia. Secara turun temurun melodi ini
diteruskan dari generasi ke generasi, dan hingga kini diabadikan dalam lagu
bernama “Be Thou My Vision”.
Terlalu mudah bagi kita untuk melupakan hal seperti ini, di dalam
ketidakpedulian (ignorance), kita seringkali tidak mau atau malas untuk belajar
dan mengerti lebih dari sekedar apa yang kita lakukan secara rutin dalam gereja.
Dan di dalam ignorance ini timbul kebosanan, akhirnya kita membuang yang
membosankan itu dengan sesuatu yang baru yang tidak membosankan kita,
namun sayangnya tidak selalu bernilai. Mari kita bersama belajar untuk
mempelajari kesalahan manusia dalam sejarah, dan bagaimana Tuhan menjaga
gerakan yang murni dari zaman ke zaman

Mulia dan Menang ~ Thine is The Glory

Jika kita para pencinta sepakbola Eropa, kita pasti mengetahui Liga champions UEFA dan salah satu yang menarik perhatian adalah lagu reaminya “champions league” yang begitu megah dan indah. Namun sedikit yang mengetahui bahwa lagu itu menyomot satu bagian dari musik koronasi atau penobatan raja di Kerajaan Inggris.

Musik aslinya berjudul “Zadok the Priest”, yang menyatakan imam Zadok menobatkan Salomo sebagai raja Israel dan dimainkan pula dalam penobatkan ratu Elizabeth yang masih bertahta. Lagu dramatis dan begitu agung ini diciptakan oleh seorang komposer besar yang bernama G. F. Handel.

G. F. Handel merupakan salah satu komposer yang paling terkenal di seluruh dunia, salah satu ciptaannya yang paling terkenal adalah oratorio Messiah, Water Music, dan Fireworks Suite. Sebagai seorang Jerman yang belajar musik barok salam gereja Lutheran, belajar opera di Italia, dan belajar musik “court” di Inggris, perpaduan ketiga hal ini membuat Handel memiliki kualitas musik secara dramatis dan pengaruh afeksi yang paling tinggi dalam musik klasik. Mozart, Beethoven, dan Bach memiliki pengakuan yang sangat tinggi tentang Handel.

Handel pun menulis dan menginspirasi beberapa himne, seperti Joy to the World dan himne yang kita nyanyikan “Mulia dan Menang”. Himne ini diambil dari salah satu oratorio Handel berjudul Maccabaeus, menceritakan kisah heroik Judas Maccabaeus untuk pembebasan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Seleucid (penerus Makedonia). Pada bagian “See the conquering hero comes”, yaitu yang dijadikan himne “Mulia dan Menang”, menceritakan kemenangan Judas Maccabaeus yang pulang ke Yerusalem setelah memenangkan pertempuran di Emaus. Handel menarik sebuah paralel kepulangan Judas Maccabaeus ke Yerusalem dalam kemenangan dengan kembalinya Tuhan Yesus dari kuasa maut dalam kemenangan. Lagu ini secara dramatis menggambarkan hal tersebut, di dalam aransemen aslinya terdapat tiupan terompet dan dentuman timpani.

Di dalam momen Paskah ini mari kita bersama merenungkan Tuhan kita yang telah menang dari kuasa maut. Tetapi juga kita tidak boleh lupa, di dalam kemenangannya, yaitu di tubuh-Nya yang baru, badan Tuhan Yesus masih tersisa lubang di tangan, kaki, dan perut-Nya, menandakan kematian-Nya di kayu Salib untuk menjadi korban pengganti dosa-dosa kita.
Lalu melihat hal ini bagaimanakah kita menyanyikannya? Lagu ini memiliki struktur A – B – A ‘. Perhatikan:
A
Mulia dan menang pada Tuhanku, yang bangkit kembali, dari kuasa maut,
B
kubur tak berdaya, t’rus menahan-Nya, malaikat yang mulia, saksi bangkit-Nya
A’
Mulia dan menang pada Tuhanku, yang mutla t’lah menang, atas kuasa maut
Dua baris pertama (A) merupakan statemen pertama tentang Tuhan kita yang telah bangkit kita nyanyikan dengan tegas, kemudian masuk dua baris kedua (B) bahwa menceritakan kubur yang tidak berdaya. Di bagian ini kita menyanyikannya dengan lebih lembut karena walau tak berkuasa tetapi Kristus pernah berada di situ. Lalu diteruskan kepada malaikat yang menjadi saksi, kita nyanyikan awalnya lembut kemudian menjadi makin keras seiring baris kedua (secara cressendo), lalu ditutup dengan dua baris terakhir (A’) yang dinyanyikan dengan keras (forte) sebagai simbol Ia datang dengan kemuliaan-Nya setelah mengalami kubur (B).
Marilah kita menyanyikan lagu ini sesuai dengan niat komposernya. Jika tidak maka himne yang indah ini menjadi kaku dan mati. Sudikah kita menyanyi dengan kaku di hadapan Kristus yang telah menang?

Bila Kupandang Salib-Nya ~ When I Survey the Wondrous Cross

Apa yang senang kita pandangi di dalam hidup keseharian kita? Ada orang-orang yang adalah budak nafsu yang senang memandangi gambar-gambar yang tidak senonoh. Ada orang-orang yang adalah budak uang yang senang memandangi uang atau jumlah rekening di buku ta-bungannya. Ada anak-anak muda yang senang memandangi tokoh idola- nya yang ganteng atau cantik. Ada juga yang senang memandangi produk-produk terbaru dari jenis barang yang disukainya. Dan juga ada yang ge-mar memandangi refleksi dirinya di dalam cermin. Hal-hal yang kita pan-dangi ada yang wajar untuk dipandang dan dinikmati dengan sewajarnya, tapi ada juga yang sama sekali tidak layak untuk dipandang. Namun yang pasti, segala hal yang memikat pandangan kita itu memanifestasikan apa yang menjadi ketertarikan hati kita.
Marilah kita untuk sejenak mengalihkan pandangan kita dari hal-hal tersebut dan memandang Salib Raja kita, Tuhan Yesus Kristus: di sana-lah Sang Anak Allah tersalib. Apakah ini pandangan yang mengenakkan? Di satu sisi, tidak. Siapa yang senang melihat tubuh yang terluka, wajah yang rusak, atau kepala yang berdarah? Tapi jangan tutup matamu! Teta-plah pandangi salib itu! Biarkan pemandangan itu berkata-kata kepada jiwamu. Pemandangan itu sedang mengatakan bahwa terlukanya tubuh Kristus adalah luka-luka borok di dalam hatimu, rusaknya wajah Kristus adalah kerusakan gambar Allah di dalam dirimu, dan darah di kepala Kristus adalah kebobrokan pikiranmu. Jangan kabur dari dirimu sendiri! Tetaplah pandangi salib itu! Di dalam salib itu ada kenyataan yang pahit tentang dirimu yang berdosa, dirimu yang hina, dirimu yang layak dibuang dari hadirat Allah.

Tetaplah pandangi salib itu. Perlahan, kepahitan realita hidup kita yang ditelanjangi oleh salib itu menjadi sesuatu yang manis, bahkan hal termanis di dalam hidupmu. Di dalam salib, engkau diterima se-bagaimana adanya. Di dalam salib, engkau diampuni dari segala dosamu. Di dalam salib, hatimu diobati sehingga gambar Allah di dalam dirimu bisa pulih. Tetaplah pandangi salib itu dan engkau akan tersenyum. Di dalam salib itu engkau sekarang menemukan senyuman Allah. Ada tangan yang terbuka yang menyambut engkau sebagai anak. Ada kesembuhan dari setiap kebiasaan berdosa yang sudah begitu membelenggu hidup kita. Tetaplah pandangi salib itu.
Charles Wesley, pencipta lirik lagu “When I Survey the Wondrous Cross”, sungguh mengerti kuasa transformasi di dalam memandangi salib Kristus. Salib itu akan melepaskan kita dari segala pemandangan yang membelenggu kita di dalam pemberhalaan. Ketika kita memandang salib Kristus, hal yang lain menjadi redup di bawah terang keindahan salib-Nya. Kiranya lagu ini boleh dipakai oleh Roh Kudus untuk mendorong kita un-tuk terus memandangi salib Kristus dan hidup kita boleh terus disem-buhkan oleh cinta kasih Allah

Tema Lagu April 2014 – Kematian dan Kebangkitan Yesus

Dalam rangka merayakan Jumat Agung dan Paskah, tema puji-pujian di kebaktian umum bulan April adalah “Kematian dan Kebangkitan Kristus”. Tidak ada tema lain di dalam sejarah yang mendorong manusia dengan gerakan yang sebegitu kuatnya untuk menciptakan lagu-lagu yang indah, selain daripada cinta kasih Allah yang nyata di dalam Yesus Kristus. Sejak dari masa Perjanjian Lama sampai pada saat ini, umat Allah adalah umat yang bernyanyi, karena kita telah didorong oleh tingginya, da-lamnya, luasnya, dan lebarnya kasih perjanjian yang dicurahkan TUHAN Allah kepada kita. Kasih Allah yang teramat besar ini berpuncak di dalam kematian dan kebangkitan Kristus.
Kematian dan kebangkitan Kristus adalah inti dari berita kesela-matan. Kematian dan kebangkitan Kristus bukanlah sekedar satu hal ajaib yang terjadi di dalam sejarah tanpa ada kaitan dengan kita yang hidup hampir 2000 tahun setelah kejadian tersebut. Pohon yang terkutuk itu menjadi pohon berkat bagi kita. Bukit kematian itu mengalirkan air hidup bagi kita. Di dalam kematian Kristus, kita ikut mati bersama-sama dengan Dia. Di dalam kebangkitan Kristus, kita ikut bangkit bersama-sama dengan Dia. Barangsiapa beriman kepada Kristus, ia dipersatukan dengan Kristus, sehingga apa yang Yesus Kristus kerjakan teraplikasikan di dalam dirinya.
Di dalam bidang teologi sistematika, biasanya para teolog Reformed membagi penebusan menjadi dua bagian: penebusan yang telah digenapi oleh Kristus (redemption accomplished) dan penebusan yang diaplikasi-kan kepada kita (redemption applied). Redemption accomplished biasa dibahas di dalam topik Kristologi, sedangkan redemption applied biasa dibahas di dalam topik soteriologi. Dua hal tersebut bisa dibedakan, na-mun tidak bisa dipisahkan. Apa yang dikerjakan oleh Kristus secara “objektif” di dalam sejarah itu berkait langsung secara “subjektif” di da-lam diri kita melalui karya Roh Kudus yang mempersatukan kita dengan Kristus.

Begitu pula puji-pujian Kristen yang bertemakan kematian dan kebangkitan Kristus dapat dibedakan menjadi dua: yang menekankan ten-tang apa yang Kristus sudah kerjakan di dalam sejarah, dan yang menekankan tentang apa yang terjadi di dalam hidup kita secara nyata pada saat ini. Namun, sekali lagi, kedua hal itu adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketika kita memandang dengan kagum kematian dan kebangkitan Kristus, hidup kita diubahkan. Ketika hidup kita diubahkan oleh Roh Kudus, hidup kita semakin serupa dengan Kristus yang meren-dahkan diri hingga mati di atas kayu salib. Redemption accomplished tidak mungkin tidak teraplikasikan di dalam diri umat pilihan; redemption ap-plied tidak mungkin terjadi tanpa karya Kristus. Kedua hal tersebut ibarat satu koin dengan dua sisinya yang berbeda.
Pembedaan dua hal tersebut berguna untuk membuat kita sadar akan limpahnya keselamatan yang TUHAN Allah berikan kepada kita. Ma-ta kita terlalu terbatas untuk melihat kedua sisi mata uang itu secara sekaligus. Namun ketika kita melihat satu sisi, kita selalu ditarik untuk melihat sisi yang lainnya, hingga kita terhilang di dalam kekaguman kita akan karya Allah di dalam Kristus dan di dalam hidup kita. Kiranya puji-pujian yang kita nyanyikan di bulan April akan membantu kita melihat kelimpahan tersebut.

Ia Meneduhi Jiwaku ~ He Hideth My Soul

Kegelisahan adalah fakta hidup manusia di dalam dunia ini. Ada orang-orang yang gelisah karena kesulitan ekonomi, ada juga yang lain gelisah karena tekanan sosial, dan yang lain lagi gelisah karena rusaknya relasi dengan sesama. Tetapi apakah benar bahwa itu semua adalah sumber permasalahan dari kegelisahan jiwa kita?
Firman Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa sumber permasalahan dari kegelisahan yang melanda seluruh umat manusia sebenarnya adalah rusaknya relasi manusia dengan Allah. Kita diciptakan untuk berteduh di dalam naungan kasih Allah, namun kita memusuhi Allah dan berdosa melawan Dia. Dari rusaknya relasi dengan Allah inilah timbul segala kegelisahan-kegelisahan yang lain.
Marilah kita perhatikan hidup Tuhan Yesus. Ia hidup dalam keterbatasan ekonomi, dipandang hina secara sosial, dan dimusuhi oleh berbagai pihak: baik kaum Farisi, Herodes, Pilatus, bahkan oleh murid-Nya sendiri. Namun, di tengah segala kesesakan hidup tersebut, Tuhan Yesus sangatlah stabil dan penuh dengan damai sejahtera, karena Ia senantiasa berpaut kepada Bapa-Nya yang terkasih dan Ia selalu berteduh di dalam kasih Bapa-Nya. “Aku tinggal di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Aku” (Yohanes 14:11). Apakah hati kita pun bisa mengalami perteduhan yang dialami oleh Yesus Kristus di dalam Bapa?
Lagu “Ia Meneduhi Jiwaku” yang diciptakan oleh Fanny Crosby merupakan pujian kepada Tuhan Yesus Kristus, yang disebut sebagai Juruselamat yang ajaib (A wonderful Saviour), karena Ia meneduhi jiwa kita ibarat batu karang yang besar dan kokoh. Ditengah perjalanan hidup kita yang diibaratkan sebagai perjalanan di gurun dunia, kita berteduh di bawah batu karang tersebut. Terlebih lagi, dari batu karang tersebut memancar air kehidupan, sehingga jiwa kita yang haus bisa mendapatkan kelegaan yang sungguh.

Kita hanya bisa mendapatkan kedamaian jiwa yang sejati di dalam Tuhan Yesus Kristus. Dengan pengorbanan-Nya di atas kayu salib, kita diperdamaikan dengan Allah. Bagi kita yang berteduh di dalam Kristus, Allah bukan lagi musuh kita, melainkan Bapa kita. Roh Kudus memampukan kita, di dalam segala pergumulan hidup kita yang berat, untuk berseru kepada Allah dan memanggil-Nya, “Bapa” (Roma 8:15)! Terlebih lagi, dengan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, kita dimampukan untuk mengalami kesembuhan demi kesembuhan dari kerusakan natur kita di dalam dosa. Dari kebangkitan-Nya, air hidup itu memancar secara berlimpah, sampai kepada kekekalan!
Apa yang menjadi sumber penghiburan terbesar di dalam hidup Saudara? Kemapanan ekonomi, kuasa, atau kebijaksanaan kita sendiri? Itu semua bukanlah mata air hidup yang di dalamnya kita bisa mendapatkan sukacita dan kedamaian yang berkelimpahan. Itu semua bisa menjadi berhala yang menggantikan sumber sukacita kita yang sejati. Kembalilah kepada Yesus Kristus, Gembala jiwa yang Agung itu, yang memanggil hatimu untuk berbalik dan kembali berteduh di dalam Dia

SalibNya ~ Near The Cross

Banyak orang zaman post-modern ini yang menganggap bahwa semua pujian untuk Tuhan itu semua sama saja, diciptakan siapapun juga sama. Bukankah semua orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri untuk Tuhan? Apalagi menciptakan lagu bukankah yang penting niatnya? Asalkan dengan lagu yang dicipta kita dapat merasakan hadirat Tuhan kan?
Bagaimanakah pandangan gerakan Reformed (baca: yang dianggap kolot) mengenai pertanyaan-pertanyaan ini?
Kita perlu menyadari bahwa tidak semua jenis musik sama saja karena dari sisi penciptaannya saja kita dapat melihat bahwa semua penciptaan musik merefleksikan penciptanya baik dari sisi pergumulan hidup, kewarga-negaraannya, roh zaman ketika penciptaan, pengaruh teologisnya, pendidikannya, motivasinya, dan terutama relasi pribadi antara sang pencipta lagu dengan Tuhan. Kita ambil contoh ekstrim saja, bagaimana lagu-lagu coptaan Fanny Crosby tentunya memiliki bobot dan kualitas jauh lebih baik dibandingkan dengan ciptaan “calon” presiden kita, Rhoma Irama.
Bagaimana tidak?! Fanny Crosby adalah seorang yang taat dan takut akan Tuhan, di dalam pergumulannya, di dalam kebutaan fisiknya, ia justru memegang rekor menciptakan lagu Kristen paling banyak, yaitu 8.500 lagu! Jumlah ini pun tidak termasuk himne-himne (puisi) yang belum ditemukan, karena sebagai wanita ia banyak menggunakan nama pena atau nama samaran lainnya. Iman dan relasinya yang intim dengan Tuhan dapat kita simpulkan lewat dialog Fanny Crosby dengan penginjil besar D. L. Moody. Moody bertanya, “Jika engkau hendak dikabulkan doamu oleh Tuhan, akankah engkau meminta agar matamu disembuhkan?”. Tertegun Fanny Crosby menjawab, “Lebih baik aku buta di dunia, karena kerinduanku adalah ketika aku mati dan dipanggil Tuhan, ketika aku membuka mataku, hal yang pertama kulihat adalah Ia yang menebus aku”.

Dalam lagu ciptaannya ini, “Salib-Nya, Salib-Nya, s’lamanya mulia!”, kemuliaan di dalam salib yang hina merupakan rahasia yang begitu besar dan paradoks (1 Korintus 1:31, Galatia 6:14, 2 Korintus 12:9). Pdt. Dr. Stephen Tong berkata bahwa orang pertama yang mempertemukan tema salib sebagai kemuliaan bukan toko teologi besar tetapi seorang nenek tua yang buta bernama Fanny Crosby. Mungkinkah seseorang dapat menciptakan himne dengan kualitas seperti ini tanpa menghidupi arti dan nilai anugerah di balik kemuliaan Salib yang hina? Tanpa kesaksian hidup dan pergumulan yang nyata, musik yang tercipta akan menjadi kosong dan palsu.
Fanny Crosby selama hidupnya tidak pernah menjadi kaya raya, seringkali ia malah berkekurangan karena ia banyak memberikan uangnya kepada yang memerlukan. Ia mungkin tidak menjadi kaya dari ribuan himne dan jutaan manusia yang menyanyikan karya ciptaannya, namun ia dapat bermegah di dalam Salib Kristus yang mulia itu.
Kita sering meremehkan kemurah-hatian Tuhan, kita menganggap dengan hanya niat yang baik saja Tuhan akan menerima semua bentuk persembahan kita. Tuhan punya hak untuk menolaknya jika cara kita tidak sesuai dengan keinginan Tuhan (Kejadian 4:1-6) dan Tuhan tidak mengindahkan kita.
Mari kita belajar pentingnya faktor siapakah composer di dalam musik, lewat Fanny Crosby kita dapat melihat contoh yang baik dalam penciptaan musik yang layak untuk Tuhan, melihat seseorang yang begitu mengenali Penciptanya hingga mampu menjabarkan rahasia Salib yang begitu dalam, namun tetap rendah hati di dalam talenta yang diberikan Tuhan, serta menghubungkan kecacatan fisiknya dengan harapan pertemuan kembalinya dengan Tuhan. Banyak yang kita dapat pelajari dari Fanny Crosby hanya dengan mempelajari dan menyanyikan 20-30 himne yang sering dinyanyikan saja, apalagi jika kita dapat mempelajari dan menyanyikan 8470 himne lainnya bukan?